Jika saja ditanya perihal cemburu, orang yang memiliki kecemburuan yang misterius adalah Kaka. Saat aku melihat dan mengakui bahwa keadilan itu memang benar-benar tidak ada di dalam keluarga ini, dan kami hanya diam. Serta-merta berusaha mengakui ketidaksangupan kami menyaingi apa yang telah mereka berikan.
Kami hanya bisa bercermin dan berusaha membalik cermin itu agar tampak semua menjadi baik-baik saja. Jika orang membeli sesuatu dengan uang, kami hanya berusaha membeli keadilan di dalam rumah ini dengan kasih sayang. Jika mencintai masih juga di sakiti, itu sudah menjadi rahasia untuk Tuhan membalasnya dengan sesuatu yang setimpal dikemudian hari.
Namun, adakalanya dengan apa yang kami miliki meskipun sedikit. Setiap rejeki yang singgah ke kantong Kaka selalu secara tidak langsung kuoperkan secara diam-diam ke gentong persediaan beras, air, dan juga kuali sayur. Tidak seperti orang lain, aku tidak membenci wajah-wajah yang menatap kami secara asing. Karena kami cukup benci jika melihat wajah kami yang tidak cukup memberi.
Sementara ini, kemarahan, kekecewaan cukup mengelora di dada kami saja. Semua kembali berjalan sebagaimana kami bisa melampahinya. Rumah ini tetap berwarna merah, papan nama hanya bertulis nama mereka yang berjaya. Bapak, ibu, dan juga adik lelakinya, Zainul. Desember tetap dengan hujannya. Kaka tetap menjadi kuli panggul di pabrik kayu, aku masih bergelut dengan malam dan aroma rokok dari mulut para pecinta perempuan. Siang hari, aku memilih menjadi perempuan biasa yang tunduk dengan ketidakadilan keluarga. Saat malam, mencoba mencium fatamorgana sorga dalam cerita-cerita Kaka.
Persoalan baru muncul, yaitu saat Ibu sakit. Kaka yang tidak berdaya dicerca habis-habisan hingga menembus ulu jantungnya. Tidak siang, tidak malam di rumah ini hanyalah rumah tungku berapi, yang terus membara. Jika angin kencang bertiup sedikit saja, menyala dan terus menyala. Seperti siang ini, kedatangan Tante Marlin adik perempuan dari ibu tidak hanya membawa sekeranjang buah, melaikan juga membawa segerobak kata sampah. Sepertinya tungku di rumah ini memang benar-benar masih menyala, setelahnya cukup ampuh menghadirkan api.
"Coba saja Kaka dulu tidak terburu menikah, mungkin saat ini kau tidak hanya rebahan di ranjang sederhana dan makan obat-obatan dari dokter sekelas Puskesmas, Yuk," katanya culas.
"Belum lagi kebutuhan-kebutuhan dapurmu tentu saja selalu tercukupi."
Perempuan berambut keriting sebahu itu terus saja memasukan sampah keperapian. Ibu cukup diam, tetapi dapat kupastikan kata-kata itu telah singgah dipikirannya.
"Nasi sudah jadi bubur, Mar." Ibu duduk memposisikan tubuh sejajar dengan kepala adiknya.
"Emang dasar perempuan kegatelan itu saja yang sudah menjampi-jampi ponakanmu itu, hingga terkintil-kintil," bisiknya dengan suara sedikit ditekan. Mungkin ibu menyadari aku masih berada di dapur memasak air untuk minum adiknya itu.
Pusing aku mencari cara untuk bisa menjadi bagian dari keluarga ini. Sampai berbagai pekerjaan rumah kulakukan. Memandikan ibu, memasak, mencuci pakaian seluruh anggota keluarga. Namun, tetap saja yang tampak hanya kegelapan. Tak ada bagus-bagusnya aku di mata mereka.
Lambat waktu, secara pasti Kaka semakin menarik diri. Tak ada lagi semangat mengebu, dan harapan yang manis untuk terus melihat dan menjaga sorga yang ada di dalam rumah ini. Mulanya aku berpura-pura tidak menyadari. Melihatnya duduk malas di bangku depan kamar atas, menghabiskan waktu setiap sorenya.
Sementara aku sibuk mengecek kalau-kalau ada ketidakberesan dengan kesehatan ibu sebelum aku tinggal pergi bekerja di cafe ujung jalan komplek tempat tinggal kami. Yang ada hanya tatapan kekecewaan semakin menggunung setiap harinya di kedua mata Kaka. Agar lebih meyakinkan atas penilainku, seperti burung camar di atas langit senja ini. Aku mengelus ujung pipi luar dan menanyakan sesuatu yang membuat dada bergemuruh gelisah akhir-akhir ini.
"Kenapa akhir-akhir ini tak tampak lagi senyum di wajahmu setiap kali menapakkan kaki di rumah, Ka."
Setelah yakin pertanyaanku tidak mengusiknya, aku menatap lekat-lekat wajah yang tertunduk dan sendu itu.
"Padahal dari awal aku berada di rumah ini, cahaya senyum dari wajahmu itulah yang membuatku mampu menaiki satu persatu tangga rumah," lanjutku.
Dengan perasaan tegang dan dipenuhi kekhawatiran aku menunggu jawaban dari lelaki penyabar di sebelahku.
"Senyum yang coba kupaksakan hadir setiap melewati pintu rumah telah dihabisi mata dari tungku yang setiap hari diembuskan angin-angin kemarau. Meskipun saat ini belum waktunya bermusim." Kaka menghembuskan napas kuat-kuat seakan ingin membuang sesak dari dadanya.
Lalu katanya lirih, "dan membakar hatiku sendiri, Nda."
Aku diam saja kalau kujawab, aku memahami perasaannya. Kaka pasti mengantaiku kalau sok bijak. Bukankah selama ini justru aku lah yang belajar darinya perihal memahami semua yang terjadi di rumah ini. Namun sebagai seseorang yang pada awalnya membangkitkan kegelisahan di hatinya lalu merubahnya untuk sekedar bersuara. Kumasukan satu kalimat penguat untuknya.
"Itu bukan berarti kau menjadi tidak peduli dengan Ibumu, Ka." Aku berkata sangat hati-hati, takut kalau nantinya benar melukai lelaki berperasaan lembut ini.
"Bagaimanapun Ibu tak akan mengerti, yang tampak hanyalah keacuhan. Jika diam masih menjadi satu-satunya kehormatan yang kau pegang, Ka. Aku akan bicara malam ini."
Kutinggalkan lelaki penyayangku sendiri merukuni sepi. Terpesona aku dengan kesabaran yang dimilikinya. Hingga saat kemarahan menjarah seluruh kekuatan, ia masih bisa duduk dengan tenang.
"Sungguh banyak permata yang bisa diberikan olehnya, untuk menyinari rumah ini," pikirku.
Begitulah perbincangan malam ini. Kegamangan Kaka telah menjadi cambuk untukku berteriak. Sudah saatnya bersuara, sudah waktunya kami didengar.
Hampir tidak percaya, Ibu selalu memanggilku untuk sekedar meminta menuntun ke kamar mandi. Meskipun Bapak ada di sampingnya, dan Zainul sedang asyik bermain dengan telepon pintar di kamar depan.
"Setelah mengantar ke kamar mandi, aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu, Bu." Kududukan perempuan bertubuh kurus itu di sandaran tempat tidur. Semenjak serangan jantung yang nyaris merenggut nyawanya beberapa bulan lalu, secara otomatis berat badannya berangsur-angsur menyusut. Namun, tidak dengan kebenciannya kepadaku. Inilah saatnya pikiran itu harus dibebaskan dari api-api yang masih bergoyang-goyang.
"Alangkah lebih kuatnya tenaga Mas Kaka yang memapah ke kamar mandi, Bu."
"Kenapa? Apa kamu keberatan?" Ibu berkata ketus. Sungguh aku tidak menyangka kalau kecemburuan dari anak lelakinya selama ini masih juga tidak diketahuinya.
"Punya anak lelaki besar tapi tidak berguna. Seperti manusia tanpa hati," lanjutnya.
"Kalau Ibu ingin tahu kenapa Mas Kaka begitu, kenapa tak Ibu tanyakan?"
Ibu masih juga diam, namun terselip sedikit senyum kecut di bibirnya.
"Rupanya tumpukan kecemburuan anak lelaki sendiri saja Ibu tidak mengetahuinya. Sebab materi tidak mampu sekali saja menyingkir dari pikiran dan mata batin ibu."
"Apa maksudmu," geramnya.
"Lelaki penyayang itu saat ini sedang kehilangan keyakinan, apakah masih bisa menukar kasih sayang dengan sorga. Sementara harta berlian tak pernah sampai di genggamanya. Dan ibulah sorganya."
Kutinggalkan Ibu dengan kata-kata yang menggantung, jika ia masih punya kemampuan untuk mencerna kata-kataku, adalah berkah. Besok akan hancur kecemburuan dan patah hati yang telah beberapa waktu ini menghabisi setiap sendi Kaka. Lelaki terkasihku.
Pergiku ke tempat kerja sore ini, langit-langit di atas sana tampak gelap. Namun, bintang mulai samar-samar tersenyum, juga angin-angin kecil mengerak-gerakkan rambut kecil-kecil. Kurasakan seperti elusan tangan Kaka yang hangat, sehangat selimut Ibu pertama kali menyelimuti tubuh kekasihku itu.