Sampai saat ini aku hanya punya mimpi-mimpi. Semua itu hanya sebuah peralihan dari kehidupan nyata yang tidak beres. Gejala-gejala ketidakbaikan itu sampai saat ini masih membangkitkan kecemasan hingga mengharuskan untukku mengikhlaskan yang namanya perpisahan.
Dua minggu setelah kepulangan Zainul, adik satu-satunya suamiku. Rupanya harapan bahwa hidup ini akan kembali baik-baik saja tidak sepenuhnya menjadi kenyataan. Ia telah kembali pergi dan berangkat ke tengah samudera tanpa sekalipun melihat lambaian tangan dariku, kakaknya, serta keponakan-keponakannya. Hampir bersamaan dengan itu, datang pula mimpi-mimpi. Ia tak selamannya baik.
"Tak selamannya yang tampak baik-baik saja itu tidak menghasilkan luka, Ka!" Aku berdiri di samping lelaki penyayang yang saat ini masih menyimpan rindu pada tawa adik kecilnya itu.
"Rupanya sampai saat ini aku masih harus belajar menjadi asing untuknya," katanya lirih.
Aku lihat bulan mengambang di langit-langit matanya. Laki-laki penyayang itu kembali melihat mimpi buruk yang berbulan-bulan lalu selalu mengoloknya datang kembali. Akhirnya mimpi itu menang lagi, cukup menyedihkan bagiku melihat lelaki yang memiliki banyak doa-doa baik harus sekali lagi diperolok oleh mimpi buruk.
'Semoga lautan menengelamkannya. Aku hanya ingin melihat apakah darah yang sama(merah) mampu menolongnya agar tak menyatu dengan asin air lautan. Lautan kesedihan dari mata kami yang berulang kali di tusuk perpisahan sepihak'.
***
Memori di kepalaku seperti sebuah slide film hadir berlompatan ke tahun-tahun silam.
Barangkali hanya seorang perempuan yang memiliki memori sangat kuat melekat pada otak di kepalanya. Barangkali lantara Kaka bukan penyuka kemandirian, sehingga sampai saat ini pergi menjauh masih menjadi satu-satunya luka yang dihindarinya.
Tak ada yang betah tinggal di dalam rumah, dan makin terasa sesak karena setiap gerak dan laku mulia diukur dengan materi, kehormatan, dan jabatan. Adakalanya pengabdian seorang anak tak lebih seperti sebuah debu di ujung mata, serta merta dihalau dengan air meskipun perih menjadi efek satu-satunya yang tertinggal.
Namun tak pernah kami risau, karena kami punya keyakinan bahwasanya surga berada di telapak kaki ibu, serta dielusan tangan bapak. Tak ada suatu apapun yang dapat menandingi keyakinan kami itu. Sebabnya sampai saat karena masalah sepele sebuah kayu palang pintu di rumah ini tidak kututup dengan benar. Lelaki tua itu menghardik kami kasar. Seperti pada rumah orang jawa di jaman dulu, di rumah ini setiap pintu disediakan dua kunci sebagai penutup. Kunci besi seperti kebanyakan rumah modern saat ini, dan juga kunci berupa kayu selebar sepuluh senti dengan panjang semeter diletakan melintang di sisi dalam pintu.
"Jika tidak menuruti aturan di rumah ini, pergi ...."
Kulihat lelaki penyayang itu masih berusaha menjelaskan dan memberi pembelaan atas kesalahanku. Namun bagi bapak sekecil apapun kesalahan tetaplah kesalahan, khususnya mengenai peraturan yang ada di rumah ini.
Kulihat gurat di kening kekasihku itu, gigi yang gemeretak terdengar di telinga. Namun, tak sedikitpun kemarahan keluar dari mulutnya, mungkin saja saat gigi geraham itu saling beradu, telah habislah kemarahan-kemarahan dikunyahnya.
Puncak-puncaknya kami hanya saling bersedu-sedan. Ia di sampingku yang telah mati keberanian. Ia mengangkat kepalaku dan membawa ke pundaknya untuk bersandar. Sementara tangannya masih asyik mengelus wajahku yang pias. Aku mendekap lelaki sabar itu kuat-kuat. Sementara meratap cukup hanya di dalam hati kami saja.
***
Pulang ke rumah, aku heran melihat wajah Kaka masih saja bersinar terang. Mengalahkan sinar rembulan tanggal lima belas, sementara aku melihat wajah-wajah asing yang hanya mengenal materi dan kejayaan seperti Gerhana bulan total--pekat dan mencekam.
Magrib menjelang. Kaka dan aku melangkahkan kaki satu-satu di tangga depan pintu. Mata anak-beranak yang ada di dalam rumah itu seperti menyimpan kerikil merah yang siap untuk dilemparkan ketika ada sedikit kegaduhan yang tak disengaja, sebagai bentuk kewaspadaan. Kami saling mengumpulkan keberanian, kasih sayang yang nyaris terkikis kami rapatkan demi menghadapi dinginnya kehidupan yang akan datang. Tak dapat terbayangkan bagaimana gigilnya.
Malam agaknya menjadi satu-satunya kebebasan. Ketika kamar 3x4 meter menjadi milik kami sepenuhnya. Pintu penghubung antara lantai bawah dengan kamar di atasnya telah terkunci ganda. Ya, sekali lagi ganda. Aku tak ingin nantinya menjadi permasalahan kembali, yang akan membuat lelaki penyayangku itu menahan dera sebab terpasungnya kebebasan guna melakukan pembelaan. Aku baru sadar, sebab apa kami mengikat amarah kuat-kuat? Kami duduk dan memandangi langit-langit di teras depan kamar, dan sesekali mengusap air mata agar pandangan surga di atas sana tidak terhalang.