Memang sekarang ini, dua kesuksesan yang sedang dicari manusia. Pertama adalah sukses dalam ekonomi. Ini jelas karena indikator orang sukses sekarang ini terlihat dari seberapa besar rumahnya dan seberapa mewah mobilnya. Rasanya sudah sukses apabila naik alphard atau punya apartemen di wilayah prestisius. Kemudian indikator sukses kedua adalah derajat. Derajat ini dapat berupa derajat pendidikan, koneksi, atau jabatan. Rasanya sukses apabila menjadi jabatan tertentu misalnya kepala desa atau mengaku sebagai anak pejabat tinggi negeri ini. Derajat ini pun tidak lepas dari ekonomi, karena derajat secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi ekonomi. Sehingga wajar, manusia sekarang menjadi manusia yang bertindak secara motif ekonomi. Namun jangan sampai, motif ekonomi membuat kita menjadi "labil ekonomi". Karena labil ekonomi membuat kita menjadi labil segalanya, (dan ujung-ujungnya bisa penjara).
Kasus semacam mantan calon suami ini sudah dua kali saya temui di teman saya. Anggap saja namanya si A dan si B. Keduanya menunjukkan perbuatan "labil ekonomi".
Teman saya si A, awalnya bekerja di institusi yang cukup prestisius. Dia  terobsesi menjadi orang kaya dan memang terlihat (sok) kaya dengan berbagai gadget yang selalu up to date. Namun ternyata besar pasak daripada tiang karena ternyata posisi kerjanya bukan yang bagus dan gajinya rendah , akhirnya dia berusaha menutupi dengan berutang ke sana ke sini, ke bank sana, bank sini, ke orang sana ke orang sini, (bahkan termasuk ke saya) atas pengeluarannya. Hutang itu katanya untuk usaha dia yang sudah berkembang pesat dalam bidang transportasi. Nyatanya usaha transportasi itu bangkrut dan tidak sebesar yang dia bilang. Dia pun ngemplang utang dan kabur. Celakanya, laptop kantor yang dia pinjam juga ikut dibawa kabur. Makin muak lagi ketika dicari ke rumahnya, tidak ketemu, dan rumahnya sudah dijual. Parahnya dia bilang rumahnya dibangun dan habis 1 milyar rupiah, namun ketika didatangi, letaknya di bantaran sungai dan mungkin harganya 100 juta tidak ada. Total hutangnya yang diketahui lebih dari 1 milyar, dan tak diketahui kemana rimbanya.
Lain lagi teman saya si B. Dia terobsesi dengan derajat dan jabatan. Awalnya dia jadi PNS, namun dipecat karena berbagai kasus, salah satunya menerbitkan surat dan mengaku sebagai pejabat walaupun dia hanya seorang staf. Â Setelah dipecat, dia mengaku sebagai konsultan dan bekerja di perusahaan ternama dan memasang foto-foto di media sosial tentang kerjanya. Lucunya beberapa saat kemudian selalu gonta ganti pekerjaan, dari perusahaan asing dan dalam negeri, dan gonta ganti jabatan, macam auditor, analis, enterpreneur, dsb. Dia pun mengaku lulusan dari PTN X, padahal dia tidak pernah bersekolah di situ. Saya ingat ketika dia memberi ucapan selamat ulang tahun kepada saya, dia menuliskan gelarnya MBA. Saya gak habis pikir, jangankan kuliah, riwayat ke luar negeri saja gak ada, kok bisa punya gelar MBA? Â Kalau di dalam negeri kan MM. Dan entah kenapa, profilnya di media sosial sekarang menghilang, seiring dengan menghilangnya orangnya.
Dari kedua teman saya tadi, saya menyadari bahwa sekarang banyak orang yang mungkin berpikirnya instan, sehingga menghalalkan segala cara untuk menggapai obsesinya. Termasuk obsesi terhadap kekayaan dan derajat itu. Dan fenomena mantan calon suami artis dangdut itu, bisa menjadi pelajaran bagi kita, bahwa bersyukur apa adanya lebih baik daripada mengada-adakan apa yang tidak ada. Karena bersyukur sebenarnya membuat kita merasa makmur, sehingga tidak perlu "statusisasi kemakmuran" dan tidak akan terjadi "labil ekonomi" yang menyebabkan labilnya jiwa. Bersyukur tidak akan "mempertakut" atau "mengkudeta" apalagi sampai terjadi "kontroversi hati". Bersyukur adalah obat paling mujarab untuk mengatasi obsesi manusia yang kadang tanpa henti.