Poin kelima, bagaimana kalau kita mendefinisi ulang kata ‘mayoritas’ dan ‘minoritas’? WNI ya WNI, semua dilindungi Undang-Undang. Lagipula jumlah Tionghoa bukan yang paling sedikit, di Indonesia Betawi dan Batak lebih sedikit dibandingkan Tionghoa.Selama ini ‘mayoritas’ dan ‘minoritas’ dikaitkan dengan ras dan agama. Bagaimana kalau kedua istilah itu dikaitkan saja dengan respons atau keterlibatan kita dalam isu atau dunia politik ? Banyak yang tak peduli:”Ngapain sih ngurus Ahok ? Kenapa marah saat pengamat ngomongnya ngaco? Lha yang diomongin bukan bapak gue, ngapain peduli ? Gue aja kerja sampe lembur ngapain ngurus kerjaan orang ?” Nah, kita sebut saja mereka silent majority. Yang mencoba untuk memberi sumbangsih aksi atau pemikiran, entah dalam skala besar atau mungkin hanya bisa berkontribusi kecil-kecilan karena dikungkung oleh berbagai keterbatasan, kita sebut saja active minority. Bisa juga dibalik: Kalau yang aktif banyak ya disebut active majority. Bagaimana pendapat Bapak ?
Sekarang masuk poin terakhir, apa yang sebaiknya kita lakukan? Pak, lebih baik Bapak dan saya mengajak rakyat mendobrak status quo. Daripada menyebar benih ketakutan dan pesimisme, mari kita didik generasi selanjutnya agar tak betah mendekam di zona nyaman. Buka mata mereka untuk melihat jauh ke depan bahwa orang Bali bukan hanya bisa jadi pemahat tapi juga bisa jadi pemimpin, orang Padang bukan hanya bisa buka lapak, orang Tionghoa bukan hanya bisa jualan…Siapapun bisa jadi apapun asal mau dan mampu. Terkesan utopis ? Untuk jadi pemimpin orang memang harus jadi pemimpi terlebih dahulu,Pak. Dreams are what the future made of.
Bapak juga pandai menulis. Cobalah ajak pembaca untuk memahami konteks dan substansi kalimat Pak Ahok. Saya tak suka denga kata-kata itu namun harus diakui bahwa sebagian orang biasa melontarkannya sambil ketawa-ketawa. Sementara, belum pernah ada cerita tentang uang dijarah dan pemiliknya bisa ketawa-ketawa. Jadi, lebih baik Bapak meributkan 40 trilyun uang rakyat yang dijarah hanya dalam 3 tahunan. Mintalah mereka berhenti menjarah, baru lalu urus pilihan kata Pak Ahok. Minimal, tunjukkanlah kepedulian kita terhadap cara bicara Pak Ahok seraya juga mengutuk kejahatan lawan-lawannya.
Pak, kita sama-sama minoritas namun mari kita keluar dari golongan silent majority. Kita hidup bukan hanya untuk hari ini, kita punya tanggung jawab mempersiapkan hidup generasi selanjutnya. Ibu saya taruhan nyawa agar anak cucunya lepas dari cengkraman Orde Baru. Saya kini bebas mengkritik pemimpin tanpa takut diculik. Kebebasan saya dibangun di atas butiran keringat yang mengalir saat Ibu kelelahan serta di atas darah pejuang lainnya. Kita mah enak Pak. Tak perlu taruhan apa-apa untuk membuat generasi sesudah kita terbiasa mendukung pemimpin tanpa ada pertimbangan berbau SARA. Cukup dukung Pak Ahok. Kalau dompet kita dicuri dan teman kita memaki perampoknya, siapa yang akan kita dukung ? Kalau jawabannya ‘Saya dukung si perampok, karena teman saya neriakin perampoknya dengan kata-kata yang sangat menyinggung perasaan, kasar banget”….Yah, silahkan dukung DPRD deh.
Pak Jaya, marilah kita tersinggung saat melihat ketidakadilan, mari kita marah ketika melihat rakyat ditindas, ayo kita kecam mereka yang menjarah. Berharap Pak Ahok bisa mengurangi ngamuknya saat berhadapan dengan koruptor ? Berharap Pak Ahok bisa rela berkata manis kepada mereka yang piawai menjarah dengan santun ? Haduhhh...Percuma. Ahok gitu loh, kayak ngga tau die aje:-).