"Ya, Sinta, ada apa?" tanyaku cepat.
Hening, tiada sahutan hanya ada terdengar napas yang ditahan serta isakkan lirih.
"Berantem lagi?" Aku bertanya padanya penuh antusias.
"Vi, aku tak tahan lagi dengan sikap Mas Aldi, ia sudah memiliki wanita lain," jelas Sinta masih sambil menangis.
"Tunggu, aku meluncur ke situ," ujarku seraya mematikan sambungan telepon dan meraih kunci mobil.
Sinta adalah sahabatku sejak SMA, ia lebih awal menikah karena setelah tamat sekolah ia dipinang oleh pacarnya Aldi yang sudah usia matang dan mapan.
Dibanding denganku, kami sangat jauh berbeda, terkadang ada rasa iri dengan apa yang Sinta miliki. Sinta berwajah cantik jelita, senyuman manis dihiasi lesung pipi. Memiliki tatapan mata yang teduh ditunjang dengan tubuh yang indah. wajar jika Aldi cepat melamarnya takut di tikung pria lain.
Kehidupan rumah tangga mereka semula manis dan harmonis, tetapi ditahun ketiga pernikahan mereka, mulai muncul percikan masalah mendera. Belum memiliki keturunan serta tuntutan dari mertua Sinta, yang ingin cepat memiliki cucu untuk penerus usaha mereka. Maklum Aldi anak tunggal. Sebenarnya mereka sudah melakukan berbagai usaha pengobatan promil bahkan sampai ke Melaka. Namun, belum membuahkan hasil. Mungkin Tuhan belum memberikan rezekinya.
Sebagai sahabat dekatnya, Sinta selalu berbagi cerita melalui telepon maupun langsung, yang lebih sering aku memutuskan yang bertandang ke rumahnya, agar lebih detail. Seperti kali ini yang aku lakukan, karena jika melalui telepon merasa tak puas mengobrol.
Terkadang terbersit rasa bosan juga dengan curhatannya. Tetapi, bagaimana lagi? Azas manfaat masih ada dalam rumusku. Mendengar keluh kesah tentang kehidupan rumah tangganya, baik masalah Sinta dan Aldi serta perlakuan mertua Sinta yang tak begitu menyukainya.
Sampai di rumah Sinta, terlihat pemandangan yang berantakan. Terpampang di depanku sepertinya mereka siap bertengkar hebat, aku lihat Sinta terduduk menunduk bersimpuh, menangis tersedu sambil tangannya memegangi pipi. Mungkin bekas tamparan.
Segera setengah berlari memeluk dirinya.
"Menangislah," ucapku singkat.
Sinta bertambah menangis lebih nyaring, tersedu sedan. Bahunya sampai berguncang-guncang. Aku hanya memeluknya semakin erat, biarlah memberi waktu untuk melepaskan segala kedukaannya yang menderanya.
Setelah agak terlihat tenang, melonggarkan pelukan. Memandangnya sambil mengusap airmatanya.
"Apa kau tau wanita yang kini bersamanya?" tanyaku.
"Entahlah, aku belum sempat menyelidikinya tapi pengakuannya tadi cukup lebih dari bukti apapun." Sambil mengusap air matanya ia berkata.
"Dan kau percaya pengakuannya?" ucapku sambil memandangi dengan intens.
"Ya, akhir-akhir ini dia sangat banyak berubah, aku sudah curiga," jawab Sinta sambil menarik hidungnya yang meler akibat menangis.
"Tadi, ia marah besar karena aku melarangnya menjual vila kami yang di puncak, entah untuk apa uang penjualan vila tersebut mungkin untuk wanita itu," jelas Sinta.
"Jika rasanya tak ada lagi yang perlu dipertahankan, maka lepaskanlah! Perpisahan mungkin yang akan membuat kalian masing-masing bahagia," tandasku.
"Tapi...," lirih Sinta berucap. Mata sembabnya memandang lekat.
"Tapi apa? sampai kapan dirimu sanggup bertahan dengan Mas Aldi dan mertuamu itu?" pungkasku agak ketus.
Mata Sinta yang basah airmata membesar memandangiku.
"Layangkan gugatan cerai dan tenangkan dirimu di kampung, bersama keluarga tercinta itu akan membuatmu cepat memulihkan hati, ingat dirimu masih muda, cantik dan berhak untuk bahagia!" paparku lagi dengan meyakinkannya serta mengengam tangannya menguatkan.
Sinta hanya terdiam, mungkin mencerna dan mempertimbangkan perkataanku.
Sepulang dari rumah Sinta, aku pergi ke kampus sebentar mengurus pengajuan proposal penelitian akhirku. Lanjut pulang ke tempat kos. Pintu kos telah terbuka, terlihat pria yang beberapa waktu ini dekat denganku lagi asyik dengan handphonenya.
"Sudah lama di sini?" tanyaku padanya.
"Lumayanlah," jawabnya sambil meletakkan ponselnya.
"Selesai kalian bertengkar, seperti biasa, Sinta mengabariku, dan Mas Aldi tau? Aku berhasil membujuknya agar segera mengugatmu, selesaikan sidang perceraian dengan cepat dan pembagian gono gini kalian dan jangan lupa uang hasil penjualan vila untukku sesuai janjimu ya Mas." Senyuman manis aku terbitkan.
Mas Aldi hanya mengganguk setuju serta berdiri menghampiriku. Memeluk erat.
Maaf Sinta, kau salah pilih sahabat.
~