Langkahnya sedikit gontai, mungkin lelah berkeliling. Sedari pulang sekolah, perutnya belum terisi.
Di gubuk reot pada gang sempit tempat tinggalnya. Nek Sum menunggu. Tiada sanggup lagi menyediakan makanan untuk si Paijo. Wanita sepuh itu kini hanya bisa terbaring, ia pensiun memulung. Ia hanya menunggu detik-detik kematian menjemput. Sebenarnya Paijo tak tahu, apa Nek Sum adalah neneknya asli. Bocah itu tak pernah mendengar cerita tentang orang tua.
Anak lelaki yang sebenarnya berwajah tampan itu hanya pernah mendengar sekilas tetangga berkerumun berucap ia ditemukan oleh Nek Sum di tumpukan sampah, dalam plastik yang dikerubuni semut dan lalat. Ia tak peduli, baginya Nek Sum lah yang selama ini mengasuhnya dan keluarganya.
Sementara azan Asar pun telah berkumandang. Perut Paijo sudah meronta. Beberapa kali ia membasahi bibirnya yang kering serta berkerak mengelupas itu dengan saliva. Dahaga pun menyertai.
Ia harus bagaimana, sepersen uang ia tak punya. Hasil pungutan mengais sampah belum seberapa. Pada simpang lampu merah langkahnya berhenti.
Mata sendu itu memerhatikan sekeliling. Saat lampu merah banyak anak-anak lainnya laki-laki dan perempuan mengamen. Mereka beralih ke jendela-jendela mobil satu ke satunya lagi. Ada yang beruntung mendapat uang kecil sebelum lampu hijau menyala.
Ia memutuskan akan ikut melakukan hal serupa. Ia mulai mendatangi mobil-mobil yang berhenti. Ia berusaha menyanyikan lagu apa yang ia ingat. Pikirnya hal itu mudah, nyatanya dari beberapa pengamen lainnya datang dan mengusirnya.
"Ini wilayah kami, pergi sana, sebelum bang Tarno datang. Jika tidak habislah kau nanti!" Bentakan seorang anak lelaki jangkung dengan mata memelotot. Hanya matanya yang jelas terlihat karena semua tubuh anak muda itu bercat warna perak. Dua anak kecil yang berdiri di sisinya dan pun berpenampilan burik menganggukkan kepala.
Paijo pun memutuskan pergi dari situ. Wajah nan tirus dan pucat itu terus meringis serta memegangi perutnya. Setelah beberapa langkah berjalan. Ia coba mengais di tong sampah. Berharap ada sisa makanan yang bisa mengganjal perut yang terus menagih untuk diisi.
"Nak, mari makan sama bapak," Seseorang menepuk pundaknya.
Ia menoleh dan menatap bapak tersebut dari atas sampai kaki. Lelaki memakai dasi serta jas hitam. Sepatu pantofel yang ia kenakan sangat mengkilap. Di belakang ia berdiri sebuah mobil hitam Pajer* Sport terparkir.
Sorot mata pria itu sangat lembut dan segera mengandeng si Paijo mempersilahkannya duduk di samping kemudi.Paijo tidak berkata apa-apa. Tiada penolakan atau mengiakan sebagai keputusan. Sedangkan Paijo sebenarnya syok atau sudah terlalu lemas tiada energi lagi untuk berucap. Ia menunduk melihat kedua kakinya yang kucel hitam. Mobil pun segera berjalan di bawah kendali si bapak tersebut.
"Panggil saya Pak Sardi, siapa nama kamu? Saya dulu punya anak sebaya kamu, tetapi Tuhan telah memanggilnya," ucap Pak Sardi dengan suara bergetar.
Paijo menaikkan kepala dan melihat ke arah si Pak Sardi. Sedangkan Pak Sardi fokus memandang ke arah depan.
"Paijo, Pak," jawabnya pelan.
"Ok, kita cari tempat makan dulu ya, biar kamu bertenaga." Selesai Pak P
Sardi berucap ia membelokkan kemudi mobil ke arah rumah makan nasi Padang bercat dominasi merah.
"Karung kamu tinggal saja di mobil ya," titah Pak Sardi ketika akan turun dari mobil. Ia melepas sabuk pengaman. Lalu turun mengitari depan mobilnya dan membukakan pintu mobil pada sisi Paijo.
Pemandangan yang sangat kontras dan mereka menjadi pusat perhatian. Ketika Pak Sardi menggandeng Paijo masuk pintu dan mencari tempat duduk makan di sudut ruangan. Banyak orang yang menarik kesimpulan sendiri dan akhirnya menimbulkan tatapan salut dan kagum dari orang sekeliling Pak Sardi. Pak Sardi tersenyum mengembang dan tampak bahagia.
Mata lelaki berumur setengah abad itu begitu berbinar melihat Paijo makan dengan lahap. Paijo sepertinya begitu bahagia menemukan berbagai jenis masakan yang selama ini tidak pernah ia nikmati. Paha ayam goreng ia gigit dengan menunduk. Sesekali ia menoleh ke Pak Sardi yang masih tersenyum. Anak yang tak pernah makan enak itu bahkan hampir tersedak jika saja Pak Sardi terlambat menyodorkan gelas berisi air es teh manis padanya.
Paijo telah kenyang, beberapa kali ia mengucapkan terima kasih dan pamit untuk melanjutkan memulung. Namun, lelaki yang telah memberinya makan itu melarang dan mengajaknya naik mobil lagi.
Percakapan di mulai oleh Pak Sardi ketika mereka melanjutkan perjalanan.
"Kita menuju ke rumah bapak ya, Paijo, oke."
"Tapi, Pak, saya harus jumpa nenek saya dulu."
"Nenekmu nanti dijemput saja oleh asisten bapak. Di rumah bapak banyak baju bekas anak bapak, sepertinya itu muat sama kamu. Belum lagi ibuk di rumah pasti senang liat kamu. Mau ya ke rumah, bapak," bujuknya.
Paijo tak mampu menolak.Ia mengangguk cangung.
Tak sampai setengah jam mereka sampai ke jalanan pinggir kota yang sepi. Mobil yang melaju dengan kecepatan sedang itu pun masuk ke parkiran rumah yang berpagar terali setinggi dua meter dan di penuhi ukiran. Penampakan rumah bertingkat di kelilingi tembok tinggi itu membuat Paijo menganga. Matanya penuh takjub melihat taman serta pepohonan yang menghiasi halaman, dalam hatinya ia seakan mimpi.
Hati anak yang tak pernah makan enak itu sedang bergembira membayangkan keberuntungannya hari ini yang akan beruntun. Makan enak, dikasih baju, apa lagi pikirnya. Akankah ia akan diambil menjadi anak asuh mereka. Hidup bergelimang harta dan merasakan kekayaan.
Anak yang tak pernah merasakan makan enak itu mulai mengkhayal ia nantinya akan membalas teman-teman sekolahnya yang suka menghina dan mengejeknya. Lalu, juga ia akan membantu para tetangga serta anak yang bernasib sepertinya.
Sungguh mulia cita-cita anak tersebut. Walau itu belum terlaksana. Senyumnya tak pudar sejak ia turun dari mobil dan memandang pintu gerbang rumah besar tersebut.
Tak lama kemudian, dua orang berpakaian dan berkaca mata hitam dengan tubuh tegap membukakan pintu. Serta menyapa ramah.
"Bos, dapat umbi di mana?"
"Wah, ini lumayan juga dieksekusi." yang satunya ikut berucap.
Pak Sardi si Bos tersenyum mengembang mengandeng Paijo masuk. Lalu berbalik badan menghadap kedua pengawalnya tersebut.
"Siapkan ruangan, serta hubungi tim eksekutor, kita harus cepat. Stok organ sudah tipis. Tau, kan sebagai penguasa pasar gelap kita harus taktis." Ia menyeringai penuh kepuasan lalu melirik Paijo yang masih toleh sana-sini. Takjub melihat ruangan mewah.