Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Gelang Giok Mama

2 Mei 2013   13:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:15 197 1
Gelang Giok Mama

Oleh Mega Vristian

kutulis untuk si Kecil Ken Shu

Musim dingin di Hong Kong kali ini cukup panjang. Aku terpaksa memakai baju kaos berlapis-lapis. Di apartemen tempatku berkerja, tidak dipasang mesin penghangat. Mungkin majikanku ingin menghemat listerik. Mestinya menjelang Tahun Baru China, cuaca sudah mulai sedikit hangat. Aku sendiri sibuk merapikan seisi rumah majikan. Bersih-bersih rumah, memang sudah menjadi tradisi orang-orang Hong Kong dalam menghadapi pergantian tahun China. Tahun dengan shio Ayam sekarang ini akan berganti menjadi shio Anjing. Menurut kepercayaan orang China pada umumnya, siapa yang lahir dengan shio Anjing biasanya loyal dan baik hati.

Aku sendiri tidak begitu percaya, tapi dasar manusia rasa ingin tahunya selalu muncul, kubaca juga ramalan buatku yang ber-shio naga. Akhirnya aku menjadi was-was sendiri, ketika ramalan mengatakan shio naga di tahun anjing ini akan bernasib kurang baik. Namanya juga ramalan, akan berdosa jika aku terlalu mempercayainya. Bagiku, yang terpenting pekerjaan bersih-bersih rumah ini bisa kuselesaikan dengan cepat dan syukur-syukur dapat ang pao (amplop isi duit) dari majikan dengan jumlah yang lumayan. Bagi-bagi duit juga merupakan tradisi orang China saat tahun baru. Merupakan bentuk amal, agar segala rejeki selalu mengalir ke diri kita. Begitu kepercayaan yang berkembang.
Sekarang, pukul 2 siang aku sedang membersihkan kamar majikan. Pintu kamar tidur yang berukuran 8 kali 6 meter itu, kebetulan terbuka. Fiona sedang berbaring malas sambil menonton TV di situ.

“Kamu ada di sini, Fiona? Koq nggak siap-siap berangkat kursus?,” aku menyapanya basa-basi.

“Idih. Kamu kok lupa. Seminggu sebelum tahun baru, semuanya kan libur. Tidak hanya sekolahan saja. Kursus pun juga,” jawab Fiona yang berbaju kaos bergambar Mickey Mouse, yang dibeli di Disney Land saat baru buka, tidak berlapis-lapis seperti aku. Majikanku dan anak tunggalnya, Fiona, sangat tahan dengan udara dingin. Ia masih santai tidur-tiduran dengan pandangannya tetap lurus ke TV. Ia rupanya asyik menonton filem hantu yang disiarkan stasiun Star TV HK.

“Ooo… gitu. Fiona, aku ingin bersihkan kamar ini. Kamu pindah di ruang TV sana saja.”

“Ya, udah bersihkan aja. Aku kan nggak menghalangi pekerjaanmu.” Fiona terlalu asyik bermalas-malasan di atas kasur Papa dan Mamanya.

Aku tahu betul watak Fiona, kalau sudah datang malasnya, sedikit pun tidak ingin diganggu. Lalu kumulai saja membersihkan rak buku. Beberapa buku tergeletak di meja baca kecil yang terletak di depannya. Ada buku “Da Vinci Code”, buku karangan Dan Brown dengan terjemahan bahasa Mandarin. Aku tidak paham tulisan China, tapi sebagian tulisannya menggunakan huruf Latin dengan bahasa Inggris. Majikan perempuanku memang menggemari novel karangan dunia Barat. Berbeda dengan suaminya. Hanya suka membaca koran dan buku teknik Kung Fu. Maklum majikan laki-lakiku adalah pelatih Kung Fu.

Saat kuangkat buku tebal itu, ada sebuah gelang Giok cantik di baliknya. Hiasan naga warna keemasan, melingkar dan membalut warna hijau batu giok. Warnanya berkilau. Tentunya mahal sekali. Hanya orang-orang kaya di Hong Kong yang bisa membeli gelang Giok ini. Aku sungguh heran, mengapa majikanku tidak menyimpannya rapi dalam kotak perhiasan. Aku tidak berani menyentuhnya. Takut lecet atau pun rusak.

“Fiona, kamu lihat gelang ini? Koq ada di sini?,” aku bertanya pada Fiona, sambil menunjuk ke gelang giok itu.

“Pe Ngok Dhai-a! Pe Ngok Dhai-a…! (Lihat! Lihat..!)” Tiba-tiba Fiona sudah berdiri di sampingku.

“Ooo.ni ko hai..Sau lin yuk Mama, (ini kan, gelang giok Mama).” Fiona suka sekali melihatnya. Dipegang dan langsung dikenakannya ke pergelangan tangan kirinya yang kecil.

“Lihat tuh. Bagus kan, Yiyi (tante)… !” Fiona tertawa riang. Gelang yang terlalu besar bagi Fiona itu sudah menghiasi indah di tangannya. Tapi aku lebih kuatir dari pada mengagumi keindahannya. Kuatir gelang itu jatuh ke lantai. Bila pecah, retak atau lecet, aku yang akan disalahkan majikan. Lebih gawat lagi aku bahkan bisa kehilangan pekerjaan.

“Fiona..sudah. Sudah. Taruh saja di laci meja rias mama kamu. Nanti jatuh!” Aku mengingatkan dengan suara setengah berteriak. Fiona tidak menggubrisku sama sekali.

“Aku mau mengaca dulu, ah. Aku kan ingin kelihatan cantik seperti mama!!” Ia malah berlari keluar ke ruang makan tempat cermin besar digantungkan. Tidak beberapa jauh ia berlari dari kamar majikanku, tiba-tiba aku mendengar suara barang pecah.

Trang!!!!

“Fiona! Kamu kenapa?” aku segera meninggalkan pekerjaanku dan berlari keluar menuju Fiona. Kulihat ia sedang jongkok sambil memungut benda yang pecah. Ia terdiam dan wajahnya merah menahan air agar tidak jatuh dari matanya. Ada ketakutan dan rasa bersalah. Kurangkul gadis usia sepuluh tahun itu. Seumur dengan masa kerjaku menjadi pembantunya kedua orang tua Fiona. Benda yang kutakutkan akan rusak itu, telah pecah menjadi tiga bagian.

Lukisan naga emas yang melingkar di sekeliling gelang, terbagi menjadi tiga pecahan. Kepala, badan dan ekornya terpisah. Walau bukan aku yang memecahkan gelang giok, ketakutan dan kecemasan menghinggapi juga. Aku hanya pasrah saja. Kutepis rasa takut dan cemasku. Bila kedekatanku dengan majikan dan anaknya yang sudah seperti keluarga sendiri, harus berakhir dengan pemecatan, aku akan terima kini. Aku mencoba berpikir tenang. Hingga terlintas pikiran untuk merekatnya dengan putih telur ayam.

“Sudahlah, Fiona. Ini sudah terjadi. Gelang itu terlalu besar. Nanti aku belikan yang cocok denganmu,” aku berkata lembut sambil mengusap air matanya yang mulai menetes dan menjanjikannya gelang giok untuknya. Aku sudah terbiasa membelikan barang yang mudah kujangkau harganya, sekedar menghibur Fiona. Ia sudah kuanggap seperti anakku sendiri. Maklum sejak bayi sampai besar, aku yang mengasuhnya.

Lalu kembali kualihkan pandangan pada gelang giok yang telah pecah itu dan kupungut seluruhnya dengan hati-hati. Aku segera bangkit dan berjalan menuju lemari es di ruang dapur. Aku ambil sebutir telur ayam, kupecahkan dan menampung putih telurnya dalam mangkok kecil. Pecahan gelang itu kubalurkan cairan putih telur. Aku gabungkan satu-satu. Kini terlihat utuh. Tapi tidak sempurna, karena bekas pecahan itu menjadi garis retak di tiga tempat.

Gelang Giok perkawinan yang pecah itu, walau sudah tersambung rapi dan kuletakkan kembali di bawah buku “Da Vinci Code” seperti semula, tetap juga mereka ketahui. Awalnya adalah majikan laki-lakiku yang kebetulan pulang lebih dulu. Tanpa sengaja mengangkat buku yang tergeletak itu, lalu menemukan gelang hadiah perkawinan ibunya untuk Mamanya Fiona yang telah bergaris retak di tiga tempat yang berbeda.

Tuan majikan menjadi marah kepada isterinya yang pulang belakangan. Ia marah karena si isteri tidak bisa memelihara dengan baik hadiah perkawinan dari ibunya itu. Majikan perempuanku merasa bersalah juga, karena tidak menyimpan perhiasan istimewa itu dengan hati-hati dan tetapi ada rasa penasaran kenapa bisa rusak. Saat majikan perempuanku menanyakan kerusakan itu kepadaku dan Fiona, kami menjawab tidak tahu. Aku tidak ingin berkata jujur kali ini, karena aku ingin melindungi Fiona yang selalu ketakutan dan murung, diliputi perasaan bersalah.

Akhirnya dengan kebohongan kami ini, aku selamat dari pemecatan dan Fiona pun aman dari kemarahan mama dan papanya, walau dalam hati, aku merasa bersalah karena menyimpan dusta.

****
Sudah tiga hari ini, kedua majikan terlihat jarang bertegur sapa walau mereka masih tidur sekamar. Setiap percakapan muncul, selalu berakhir dengan pertengkaran kecil. Sebetulnya majikan laki-laki sudah menerima pecahnya gelang giok pemberian ibu tercintanya ini. Tetapi sejak isterinya menemukan lipatan kertas kecil, bertuliskan nama perempuan, Mei Hwa dan sebuah alamat di kota Shenzhen, di saku baju Papanya Fiona, pertengkaran selalu saja terjadi.

Maklum Shenzhen bagi masyarakat Hong Kong, adalah kota yang punya citra buruk. Setiap laki-laki yang pergi ke sana, hampir bisa dikatakan hanya untuk bersenang-senang bersama pelacur. Banyak sekali rumah bordil di kota itu. Saat kudengar majikan perempuan setengah berteriak menanyakan siapa Mei Hwa dan Shenzhen kepada suaminya, aku ikut terkejut. Apakah mungkin majikan laki-laki yang begitu mencintai isterinya diam-diam suka pergi ke Shenzhen?

( Bersambung)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun