Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Benang Kusut Perlindungan BMI di Hong Kong

21 Mei 2013   12:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:15 175 1
Benang Kusut Perlindungan BMI di Hong Kong

Oleh Mega Vristian

Perlindungan buruh migran Indonesia (BMI) di Hong Kong hingga saat ini masih menjadi benang kusut yang belum jelas kapan bisa terurai. Karena kondisi tersebut, Jurubicara Asian Migrants' Coordinating Body (AMCB), Eni Lestari, Selasa (30/4) lalu dalam sebuah acara menyambut Hari Buruh Sedunia, menilai tidak ada bedanya pembantu rumah tangga (PRT) de­ngan perbudakan.

Ada sejumlah poin yang memperlihatkan bahwa ma­sa­lah perlindungan BMI perlu penanganan yang serius dari pihak-pihak terkait. Sejumlah poin tersebut antara lain terkait dengan soal mandatory live-in, jam kerja yang panjang, UU NO. 9/2004 PPTKILN, KTKLN, upah, pelarangan pindah agen, dan permanent recident.

Selama ini, para BMI di Hong Kong diwajibkan untuk tinggal bersama dengan majikan (mandatory live-in). Namun, kewajiban tersebut ternyata hingga saat ini justru menjadi sumber masalah yang memperlihatkan kurangnya perlindungan bagi BMI.

Hasil penelitian Mission for Migran Workers menunjukkan bahwa sebanyak 30 persen domestic helpers ternyata tidak mendapatkan akomodasi yang layak ketika tinggal di rumah majikan. Ada yang harus tidur di kursi, lantai, bahkan berbagi ruangan dengan anggota keluarga lainnya. Ada pula yang tidur di atas lemari, ruang tamu, atau tempat-tempat lain yang tidak layak dihuni.

Beberapa fakta menunjukkan bahwa domestic helpers harus berbagi tempat tidur dengan anggota keluarga majikan yang laki-laki dan sudah beranjak dewasa. Tentu, kenyataan ini menempatkan domestic helpers sebagai pihak yang rentan terhadap pelecehan seksual.

Adanya banyak domestic helpers yang tidak mendapat akomodasi yang layak ini berakibat banyak BMI tidak memiliki privasi yang melindungi hak-hak mereka, bahkan rawan menjadi korban pelecehan seksual.

Kebijakan mandatory live-in yang tanpa didukung dengan akomodasi yang layak bagi BMI tersebut mengakibatkan munculnya masalah lain terkait dengan perlindungan BMI. Hasil penelitian yang diungkapkan oleh jurubicara Mission for Migran Workers, Cynthia Abdon T, memperlihatkan sebanyak 46 persen domestic helpers bekerja dengan waktu yang sangat panjang. Bahkan, sebanyak 37 persen di antaranya bekerja hingga mencapai 16 jam, sedangkan 9 persen di antaranya bisa bekerja sampai 19 jam.

Fakta tersebut memperlihatkan domestic helpers benar-benar seperti budak, tidak terlindungi dari segi jam kerja.

Sudah demikian, lewat UU NO. 9/2004 PPTKILN, pemerintah Indonesia terkesan kurang serius mengupayakan perlindingan bagi BMI yang bekerja di luar negeri. Koordinator LIPMi, Sringatin, bahkan menilai banyak dari produk UU NO. 9/2004 PPTKILN yang 'melepaskan' tanggung jawab negara untuk melindungi rakyatnya di luar negeri. Padahal, perlindungan untuk BMI mutlak dilakukan oleh negara, bukan oleh PJTKI dan agensi.

Rendahnya perlindungan terhadap BMI di Hong Kong juga tampak dalam komponen upah. Seperti diungkapkan Sringatin, upah BMI lebih rendah dibandingkan upah buruh migran dari negarta lain, bahkan BMI kadang tidak ada libur, hak-hak lainnya ditiadakan, dan TKI kerap tidak tahu ke mana harus minta bantuan jika terkena masalah.

KTKLN juga memperlihatkan lemahnya perlindungan terhadap BMI. Pemberlakuan KTKLN dimaksudkan pemerintah untuk memperkuat perlindungan terhadap BMI. Namun, kenyataannya selain proses pembuatannya membingungkan banyak BMI, KTKLN justru menjadi ladang pungli baru. Dengan demikian, tampak bahwa KTKLN justru menambah panjang masalah perlindungan terhadap BMI.

Pelarangan BMI pindah agen juga merampas hak-hak BMI. Hal ini sekaligus memperlihatkan peran pemerintah hamir tidak ada dalam perlindungan terhadap BMI. BMI tidak bisa pindah agen sebelum kontrak selesai (finish), tetapi banyak agen yang tidak memberikan servis baik kepada BMI.

Sudah demikian, domestic helpers m didiskriminasi oleh pemerinta Hong Kong. Pekerja asing sektor rumah tangga di Hong Kong dibedakan dengan pekerja asing sektor lain dan pekerja rumah tangga di pihak yang kurang diuntngkan dalam hal ini. Pasalnya, pekerja rumah tangga asing tidak diberi kesempatan menjadi penduduk tetap Hong Kong.

Perlindungan BMI di Hong Kong terus menjadi masalah dari tahun ke tahun, seolah-olah tanpa ada dari pihak-pihak yang berkewenangan yang berusaha mengurai benang kusut perlindungan BMI tersebut. Para aktivis BMI terus memperjuangkannya, tetapi perjuangan itu seolah-olah selalu membentur tembok dan perlindungan terhadap BMI hingga kini masih jauh panggang dari api.

Pemerintah Indonesia dan pemerintah Hong Kong tentu sebetulnya sudah paham belaka dengan berbagai masalah perlindungan BMI tersebut. Agaknya, yang masih kurang dari negara pengirim dan penerima BMI tersebut adalah political will untuk benar-benar memberikan perlindungan terhadap BMI. Jika political will itu ada, agaknya tidak perlu banyak BMI menjadi korban ketidakadilan, pelecehan, dan terampas hak-haknya. (*)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun