Dan kemudian, ruang diskusi di situ hanyalah ilusi...
Bukan maksudku, mendiskreditkan cara menulis (dan cara berpikir) yang berpatok kuat pada metanarasi. Hanya rasanya tidak fair (bagiku) merilis (tulisan atau ide) kepada khalayak yang miliki beraneka rupa level gagasan, tanpa memberi kesempatan kepada pembaca (atau audien) untuk "menyerang balik".
Rasanya, di jaman yang komunikasi interaktif sekarang, tidaklah efektif lagi, merilis doktrin tentang segala sesuatu yang kaku-baku, kedap-kesalahan, dan terjabar-total sebagai satu-satunya kebenaran sakral.
Tradisi diskusi (termasuk menulis) mungkin saja tampak hidup, di banyak kalangan dan kelompok (akademis, politis dan sebagian kelompok agama yang nampak progresif). Berbagai risalah, jurnal telah bertumpuk diterbitkan. TAPI..., tradisi menulis yang diawali dan diakhiri dengan metanarasi sebenarnya telah membunuh penulis. Penulis telah diubah menjadi "juru tulis". Dalam dirinya penulis tidak lagi memiliki "nafsu, temperamen, perasaan, maupun impresi". Hanya kamus raksasa metanarasi yang menjadi sumber kegiatan menulisnya yang tidak pernah berhenti.
Nah.., bahkan jika kebenaran menjadi tirani, dia tetap tirani...