Setiap sore di gang depan rumahku penuh anak-anak kecil bermain. Berbagai permainan anak kampung biasa, semacam petak-umpet, lompat-karet, dan yang sedang trend kini “bal-balan”. Kalau permainan itu beregu (seperti permainan bola) anak usia SD itu membagi tim jadi dua dengan hom-pim-pah (kini hom-pim-pah mereka agak berbeda, karena diiringi “lagu dolanan” yang bersyair: Ling-ling-ling.., yang kalah jadi maling..sia..!).
Setelah hom-pim-pah berhasil membagi tim jadi dua, maka tim dari kelompok yang kalah hom-pim-pah itu disebut “tim maling” melawan “tim endonesa”.
Anehnya, hampir semua anak-anak (dari kedua tim) itu memakai kaos tim bernomor 9 dengan tulisan “Gonzales”. Jika terjadi gol (dimasukkan oleh anggota tim yang mana-pun) para bocah itu akan berteriak, “Gool... endonesa..., endonesa..!”
Hal yang menarik, adalah “syair lagu dolanan” tadi (entah siapa yang mengajarkan kepada mereka?). Yang jelas, anak-anak sekitar usia 5-10 tahun itu kini memahami bahwa Malaysia adalah “musuh”, adalah “pihak mereka”, Malaysia adalah “pihak lawan”.
Ttampaknya sebagian dari kita telah sukses, mewariskan kebencian dan permusuhan kepada generasi mendatang. Mudah-mudahan hal ini cuma kekhawatiranku saja, toh anak-anak itu masih menjadi penggemar Serial Ipin dan Upin, bukan?
Kita memang punya banyak masalah dalam hubungan antar bangsa, namun berhak-kah kita mewariskan segala sentimen kecurigaan dan kebencian pada generasi muda yang suci itu? Padahal mereka berhak punya masa-depan sendiri, dengan persoalan mereka sendiri, yang harusnya mereka hadapi lebih bijak daripada kita sekarang ini.
Bagaimanapun juga, kita layak berharap agar pemimpin kedua bangsa, menyadari bahwa berbagai persoalan yang ada bukan sekadar masalah masa-kini. Di masa-depan, boleh jadi hubungan tetangga ini dipenuhi masalah yang makin memperburuk keadaan (jika berbagai soal yang ada kini, tidak dijawab dengan baik). Sementara itu kecurigaan dan kebencian terwariskan kepada generasi mendatang.