Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Kelompok Rentan Menolak Pasrah

10 Desember 2012   01:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:55 314 0

Diskusi & Bedah Buku:

“Mengapa buku ini ditulis? Sebetulnya buku ini merupakan rangkuman pengalaman kami, saya pribadi dan juga Aksara dalam pergulatan dengan komunitas-komunitas ketika ada bencana. Ada tiga konteks bencana atau studi kasus, yakni bencana gempa bumi di Yogyakarta 2006, kemudian gempa bumi di Sumatera Barat 30 September 2009, dan terakhir bencana erupsi Gunung Merapi 2010 lalu,” ujar Dati.

Kajian yang dilakukan kemudian menguatkan pendapat, bencana dan kerentanan dalam bencana bukanlah sesuatu yang bersifat natural, melainkan dikonstruksikan secara sosial. Dati mengatakan, dampak akan ditentukan oleh posisi, akses seseorang atau satu kelompok terhadap berbagai sumber daya yang ada di sekitarnya.

“Jadi orang bisa saja menghadapi bencana gempa yang sama. Pertanyaannya kemudian, kenapa data-data bencana itu mengkonfirmasi bahwa kelompok rentan menghadapi dampak bencana yang lebih? Ini menjadi perhatian tidak hanya di Indonesia tetapi juga di tingkat global, bagaimana kerentanan berbasis gender itu menjadi suatu penjelas. Kelompok-kelompok rentan seperti anak, lansia, perempuan hamil, serta difabel dihadapkan pada dampak bencana yang lebih berat,” jelas Dati.

Pengalaman pendampingan serta advokasi di kawasan bencana menunjukkan situasi banyak perempuan lansia meninggal karena terlambat menyelamatkan diri. Begitu pula dengan difabel akibat keterbatasan kemampuan fisik. Dati bercerita, di beberapa dusun, banyak perempuan tidak bisa menyelamatkan diri dan menjadi korban. Di saat itu mereka dihadapkan dengan tugas sebagai ibu yang harus memastikan keselamatan anak, bayi, lansia atau orang tua yang menjadi tanggung jawab mereka.

Meski begitu, pengalaman bencana juga menunjukkan, kelompok rentan memiliki berbagai bentuk daya hidup. Mereka tangguh meski berhadapan dengan beragam keterbatasan. “Ternyata mereka tidak pasrah. Mereka melakukan sesuatu untuk membuat hidupnya bisa terus berjalan. Itulah mengapa buku ini kami beri judul ‘Menolak Pasrah’,” ujar Dati lagi.

Ketika terjadi bencana, skema yang biasanya pertama kali dibuat adalah mendirikan dapur umum. Tidak sedikit laki-laki yang terlibat di dapur umum meski demikian, dapur umum tidak bisa dilepaskan dari peran serta kontribusi perempuan. Dati menjelaskan, di tengah keterbatasan yang dimiliki, perempuan masih mampu melakukan sesuatu untuk memobilisasi sumber daya, melakukan upaya-upaya edukasi dan penyelamatan baik untuk dirinya sendiri, keluarganya, maupun komunitasnya. Lebih jauh, buku ini menampilkan bagaimana kelompok rentan yang sering dianggap pasif justru mampu mentransformasikan diri dan kelompoknya. Mereka bahkan menjadi agen perubahan dalam berbagai bentuk.

Selain penulis, acara bedah buku juga menghadirkan Dr. Rahmawati Husein (MDMC Muhammadiyah Yogyakarta), dan Rany Hapsari (Yakkum Emergency Unit) selaku pembicara. Sementara Aris Sustiyono, Direktur Yayasan Lestari Indonesia didaulat sebagai moderator untuk mengatur jalannya diskusi. Acara ini berlangsung atas kerjasama Aksara, Gender Working Group (GWK) Yogyakarta, PSKK UGM, Jaringan Perempuan Yogyakarta (JPY), serta Forum Pengurangan Risiko Bencana (PRB) DIY. [] Ina Florencys – Media Center PSKK UGM.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun