Tingkat fertilitas di masa depan amat ditentukan persepsi remaja tentang fertilitas dan keberadaan anak. Jumlah kelahiran akan naik manakala remaja berpersepsi positif terhadap anak, namun sebaliknya ketika persepsi terhadap anak negatif maka angka kelahiran akan kian tertekan.
UNFPA (2005) memperkirakan sekitar 1,8 miliar atau 27% penduduk dunia adalah kelompok umur 10-24 tahun. Sebanyak 850 juta ada di Asia dan Pasifik. Badan Pusat Statistik (2010) menyatakan jumlah remaja (15-24 tahun) di Indonesia secara umum mengalami peningkatan yaitu 2.488.544 jiwa pada tahun 1971 meningkat menjadi 3.457.591 jiwa pada tahun 2010.
Peningkatan jumlah remaja akan menimbulkan persoalan fertilitas yang cukup berarti manakala perilaku seksual remaja tidak menjadi perhatian. BPS (2008), dalam publikasi data SDKI 2007, menyatakan dari 14.343 orang remaja Indonesia yang berpacaran, 5,4% telah melakukan hubungan seks pranikah. Dari jumlah itu, 11,2% di antaranya berakhir dengan kehamilan. Lebih khusus lagi, 67,8% remaja hamil tidak meneruskan kehamilannya dengan cara pengguguran kandungan.
Data di atas menunjukkan remaja merupakan pelaku seks aktif, namun masih memiliki pemahaman tentang kesehatan reproduksi yang rendah. Hasil Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) tahun 2002-2003 menunjukkan pengetahuan remaja terhadap ciri-ciri akil baligh laki-laki masih terpaku pada perubahan fisik. Persentase remaja yang mengetahui mimpi basah sebagai ciri akil baligh hanya 13,8% (perempuan) dan 26,8% (laki-laki).
Ciri akil baligh pada perempuan yang menonjol adalah menstruasi. Persentase remaja yang menyebutkan menstruasi sebagai ciri akil baligh perempuan yaitu 69,9% (perempuan) dan 36,5% (laki-laki). Pengetahuan remaja terhadap masa subur juga masih sangat rendah, hanya sekitar 10% remaja laki-laki yang mengetahui secara tepat, sedangkan remaja perempuan sekitar 15% (BKKBN,2005).
Hasil Survey Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (2007) menunjukkan persepsi remaja terhadap usia kawin pertama secara nasional cukup tinggi yaitu antara 22 sampai 23 tahun. Namun demikian, pada kenyataannya masih dijumpai pernikahan dibawah umur. Data BPS tentang perkembangan Indikator Utama Sosial ekonomi Indonesia tahun 2010 menunjukkan perkawinan anak masih menjadi persoalan serius karena masih terdapat anak yang menikah pada usia 10-15 tahun (13,40%). Perkawinan anak usia 16-18 tahun mencapai 33,41% dan perkawinan di usia 19-24 tahun mencapai 41,33%.
Berdasarkan data yang sama juga dapat diperoleh informasi remaja perkotaan menghendaki jumlah anak ideal yang diharapkan 2 orang terdiri dari satu orang laki-laki dan satu orang perempuan. Kelengkapan jenis kelamin dalam keluarga masih menjadi pertimbangan.
Optimisme fertilitas rendah semakin jelas dengan melihat fenomena di atas dan determinan social ekonomi yang ada. Peningkatan pertisipasi sekolah dan bekerja perempuan merupakan determinan yang cukup siginifikan untuk menekan angka kelahiran. []