Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Pilihan

Belajar dari Ibu Susi tentang Human Development

1 November 2014   20:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:35 310 0

Tanggapan masyarakat luas yang menghubungkan pendidikan dan jabatan Ibu Susi sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia yang baru ini sudah membuat pusing banyak pengajar dari guru SD sampai dosen di perguruan tinggi. Pasalnya, sejak ramai dibicarakan bahwa Susi hanya tamat SMP namun bisa menjabat jadi menteri, banyak dari pelajar membuat generalisasi bahwa tidak perlu belajar, tidak perlu sekolah, toh ada contoh Ibu Susi yang ternyata jadi menteri. Perdebatan seru dengan mahasiswa dan kebingungan kini melanda para pengajar bagaimana meluruskan dengan bahasa yang mudah dan simple bagi mereka yang beranggapan Ibu Susi contoh ideal untuk tidak perlu bersusah payah mengejar ijazah.

Inilah yang mengingatkan saya pada sebuah mega-project di Kementerian Pendidikan Nasional (nama lama pada tahun 2010), yaitu Penyelarasan Dunia Kerja dan Dunia Pendidikan yang digarap sejak 2010 hingga sekarang. Saya yang saat itu bekerja di kementerian tersebut, bekerja bersama para profesor dan para ahli di bidangnya, mengadakan dialog lintas kementerian, bertemu dengan banyak pakar, mengundang semua pihak dari institusi pendidikan dan dunia kerja menginisiasi ini, dari nol.

Tujuan dari program ini adalah menyelaraskan permintaan (demand) dari dunia kerja dan pasokan (supply) dari dunia pendidikan, untuk mengurangi pengangguran dan masalah ketenagakerjaan lainnya. Sementara itu, tujuan besarnya adalah membangun Indonesia lebih baik melalui kualitas sumber daya manusianya. Nah dalam proyek ini suatu kerangka kualifikasi nasional indonesia (KKNI) atau Indonesian Qualification Framework (IQF) dirasa penting untuk dirumuskan, dimana kualifikasi manusia Indonesia tidak akan diukur dan dikuantifikasi hanya dari ijazah PENDIDIKAN FORMAL, karena pengalaman kerjapun bisa meningkatkan kualifikasi kita sebagai manusia. Yang terjadi selama ini, pendidikan formal masih menjadi syarat untuk hampir semua perekrutan kerja. Akibatnya, mereka yang tidak mempunyai ijasah akan sulit untuk dapat bekerja di perusahaan dan umumnya menjadi buruh atau pekerja rendahan. Akibatnya sangat kompleks, dan salah satunya banyaknya praktik jual beli ijasah dan juga bully mengenai pendidikan formal seperti yang dialami oleh Ibu Susi. Sesungguhnya di negara maju, contohnya Australia mereka tidak merekrut pekerja berdasarkan ijasah, melainkan dari level kualifikasi. Maksudnya?

 

Ada empat jalur utama pembangunan manusia (human development): 1. Pendidikan formal, 2. Pendidikan Non-formal (seperti kursus, training dsb), 3. Pendidikan Informal (seperti homeschooling), 4. Pengalaman yang didapat dari dunia industri dan pekerjaan. Di Indonesia popularitas masih diduduki oleh pendidikan FORMAL dimana jalur lain tidak dianggap penting atau bahkan tidak dianggap "ada". Akhirnya seolah-olah yang paling "hebat" adalah mereka yang punya pendidikan tertinggi. Banyak dari mereka yang mempunyai pengalaman di bidangnya namun tidak memiliki ijasah akhirnya sulit bersaing di dunia kerja, atau memperoleh gaji yang sangat kecil (karena ranking gaji hanya berdasarkan pendidikan formal) dan akhirnya banyak dari mereka tidak bisa memperbaiki kualitas hidupnya. Banyak juga dari mereka yang mencoba berwirausaha untuk menyambung hidup atau semata-mata untuk mengaktualisasikan passion dan keterampilan mereka.

Jika Indonesian Qualification Framework (IQF) sudah diimplementasikan, maka semua pembelajar dari semua jalur (termasuk para SELF LEARNERS atau pembelajar mandiri) bisa disetarakan kualifikasinya dengan mereka yang menempuh jalur pendidikan formal (lihat gambar draft IQF oleh Ibu Mega Team Leader IQF). Dalam gambar ada sisi pendidikan formal dimana tingkatannya dari SMP, SMA, S1, dan seterusnya hingga S3. Mengapa dari SMP? Karena kita mempunyai program wajib belajar 9 tahun yang berarti semua anak Indonesia wajib bersekolah minimal SD. Kembali ke gambar di atas, di sisi yang lain ada Self learner atau pembelajar pribadi yang belajar dari pengalaman, yang mempunyai tingkatan dari operator, teknisi, hingga ahli. Di tengahnya ada angka 1 sampai 9 yang menunjukkan level kualifikasi yang disetarakan antara pembelajar pendidikan formal dan pembelajar self learning. Kualifikasi ini akan memberikan kesempatan bagi semua orang untuk memperoleh kesempatan bekerja yang sama baik mempunyai ijasah formal ataupun non-formal. Contoh, seorang penari tradisional yang sudah mempunyai pengalaman intensif di bidangnya tanpa mengantongi gelar di jalur formal, bisa saja kualifikasinya setara dengan seorang lulusan S1 jurusan seni tari. Saat IQF sudah diimplementasikan, jika ada dua kandidat dengan kualifikasi yang sama namun mempunyai latar belakang berbeda (A adalah lulusan pendidikan formal dan B adalah self-learner) dan memperebutkan satu posisi, maka pemberi kerja dapat mempertimbangkan mana yang dipentingkan untuk posisi tersebut, apakah pengetahuan dari teori akademik atau skill yang didapat dari pengalaman.

Di Australia, kerangka kualifikasi (AQF) semacam ini sudah digunakan sebagai bagian dari kebijakan nasional untuk mengatur sistem pendidikan dan training di Australia. AQF dikenalkan pertama kali pada tahun 1995 dan mempunyai 10 level. Sebagai gambaran, level 10 mayoritas diduduki oleh para lulusan S3 (doctoral degree by research). Namun bukan tidak mungkin mereka yang mengembangkan diri dari jalur lain bisa mempunyai kualifikasi sama dengan para lulusan pendidikan formal tersebut. Mereka dengan kualifikasi setara lulusan S3 akan dilabeli doctoral degree by professional. Jika ingin tahu lebih jelas tentang kerangka kualifikasi dan penerapannya, bisa dilihat contoh milik Australian Qualification Framework (www.aqf.edu.au). Jika ingin melihat deskripsi kualifikasi tertinggi di negara kangguru ini, silakan klik: http://www.aqf.edu.au/wp-content/uploads/2013/05/14AQF_Doctoral-Degree.pdf.

Kembali ke cerita Ibu Susi, terlepas dari masalah politik, masalah pribadi Ibu Susi ataupun sentimen kubu-kubu tertentu, tanggapan masyarakat tentang background pendidikan dan jabatannya sekarang sebagai menteri menegaskan bagaimana pendidikan formal masih digunakan sebagai alat ukur dalam menilai kualifikasi seseorang, dan menafikkan ketiga jalur human development lainnya. Ini tantangan dan pertanyaan besar untuk pendidikan di negara kita, apakah dengan adanya kerangka kualifikasi ini akan membuat masyarakat atau para generasi muda berpikir sama seperti saat melihat Ibu Susi saat ini? Tentu saja kerangka kualifikasi ini tidak berarti pendidikan formal tidak lagi penting, namun bagi yang berminat menjadi seorang profesional pada skill-based jobs atau mereka yang tidak berkesempatan mengenyam bangku sekolah formal, bisa tetap mendapatkan pengakuan kualifikasi mereka secara nasional. Seperti yang banyak kita lihat, pembelajar mandiri biasanya senang dengan pekerjaan mandiri dan tidak menjadi karyawan sehingga mereka bisa berkreasi sendiri dan menjadi wirausahawan, namun bukan berarti mereka tidak qualified.

Pada satu wawancara dengan Rhenald Khasali (RK) saat Ibu Susi belum menjadi menteri, ada beberapa cuplikan perbincangan menarik mengenai pendidikan:

Susi: "SD dan SMP saya selalu rangking 1. SMA malah mogok..."

RK: "Padahal semua cukup? Biaya ada?"

Susi: "Semua cukup."

RK: "Kenapa anda sampai senekat itu?"

Susi: "Saya pikir jika saya teruskan saya tidak akan sampai kemana-mana. Saya pikir saya ingin mengerjakan yang saya bisa. Independent."

.......

RK: "Ibu memutuskan tidak melanjutkan sekolah... karena sistem pendidikan kita ini memang seperti mencetak produk dalam pabrik?... Semua orang dibikin sama?...Distandarkan..?"

Susi: "Saya tidak ingin menyalahkan sistem pendidikan kita pak. Saya lihat orang berhasil dari pendidikan juga banyak. Hanya waktu itu bukan tempat yang pas buat saya."

......

Susi: "Saya sekolah di Jogja. SMA 1..."

RK: "Oh SMA 1. Sekolah bagus.."

Susi: "Iya. Semua teman-teman jadi insinyur, dokter, hanya saya yang drop-out."

.......

Susi: "Saya bersyukur ayah saya sangat demokratis. Sejak kecil saya diperbolehkan membaca apa saja... dari komik, sampai buku pengadilan yang tebal dan bukunya sudah rusak-rusak. Saya baca Eksistensialisme, buku Iwan Simatupang, Confucius, Mahabharata... Saya suka baca dan itu mempengaruhi cara saya melihat sesuatu."

.......

Susi: "Kita bisa belajar manajemen dari siapa saja tidak selalu dari orang yang berpendidikan, atau bergelar sarjana, bisa dari siapa saja. Saya contohkan saya belajar persiapan dan strategi manajemen dari pembantu saya yang ngga berpendidikan, SD pun ndak selesai. Ceritanya, satu hari saya lihat ada tisu, rokok, air putih di setiap meja di rumah saya.. di sebelah tempat tidur, kamar mandi, ruang tamu, di ruang kerja...di..pokoknya di mana tempat yang saya kira-kira ke sana dia tarohin pak. Lha saya tanya sama dia. Kenapa kamu taruh gitu kan banyak? Katanya lha nek mboten rak njenengan nyeluki kulo mawon (arti: kalau tidak begitu anda akan sebentar-sebentar memanggili saya) katanya gitu pak. Saya gak bisa kerja, katanya. Saya nyiapin ini taruh sana-sini lima menit pun ngga nyampe. Jadi sehari saya ngga ganggu dia, katanya."

RK: "hahaha.. pinter ya orang itu."

Susi: "Iya.. smart itu pak. Preparation itu. Jadi prepare biar ngga dipanggil, tidak diganggu. Dia kerja juga lebih tenang."

Dari cuplikan-cuplikan ini kita bisa lihat bahwa ia pun mengakui bahwa bangku sekolah itu tetap penting terutama untuk mereka yang memang ingin berkarya dan berkarir dan bidang yang membutuhkan teori akademik disamping skill juga dan pengalaman. Ia memutuskan tidak melanjutkan sekolah karena faktor dirinya sendiri yang ingin mandiri. Dan, yang terpenting, ia tetap belajar dari membaca buku dan mengambil pelajaran dari siapapun selama ini.

Dalam perbincangan tersebut Ibu Susi juga menceritakan bagaimanan kehidupan ia setelah berhenti sekolah. Setelah berhenti sekolah, Susi muda mulai berjualan sprei dan bed cover keliling pangandaran naik vespa. Ia menjualnya dengan sistem cicilan 3 bulan. Di situ ia belajar bagaimana meyakinkan pembeli. Lalu ia mulai berjualan ikan asin yang ia beli dari nelayan di Pangandaran. Melihat peluang yang lebih baik untuk bisnisnya, ia pun pindah ke Cirebon untuk membeli ikan dari nelayan di sana dan menjualnya ke kota-kota besar dengan menaiki truk melewati jalur Pantura. Terus demikian ia berjualan melalui level demi level produk perikanan selama bertahun-tahun dengan modal kreativitas, kedisiplinan dan integritas tinggi hingga sampai ke level pengekspor. Jatuh bangun pun dirasakan sampai akhirnya ia mendapat tantangan untuk dapat mengekspor ikan hidup. Ini adalah level tertinggi dari bisnis perikanan dimana dalam waktu 24 jam setelah ditangkap, ikan harus sampai ke customer di manca negara. Hingga akhirnya ia mulai berpikir untuk membeli pesawat dengan mengajukan kredit. Namun tidak ada satu bank pun yang mau memberikan kredit pinjaman karena satu pesawat harganya sekitar 2 juta US dollar, dengan profilnya yang sebagai pedagang ikan. Ia pun sempat berkelakar bahwa ia paham apa yang bank pikirkan, "masa ada ikan mau beli pesawat?" Dua tahun berselang hingga ada bank yang mau "membeli mimpinya"  dengan memberikannya pinjaman 4,7 juta US dollar untuk membeli 2 pesawat sekaligus. Sungguh perjuangan yang tidak mudah hingga pinjaman bank tersebut lunas dalam waktu 7 tahun dan sekarang ia mempunyai 45 pesawat dan sekitar 300 pegawai.

Apa yang dialami Ibu Susi tidak semudah orang melihat dia yang seolah-olah dan tiba-tiba muncul di televisi dan dikenalkan sebagai menteri. Tidak juga semudah anak sekarang bilang sekolah tidak penting dan berharap dalam sekejap bisa jadi saudagar. Setiap orang mempunyai alasan sendiri sampai akhirnya memilih atau terpaksa memilih jalur pengembangan tertentu dengan segala konsekuensinya. Yang terpenting sebagai manusia kita harus terus mengembangkan diri dan tidak berhenti belajar. Memang Ibu Susi lulusan SMP, dan di usianya yang hampir 50 ia didapuk menjadi menteri. Namun bukan berarti sejak lulus SMP sampai kemarin ia tidak belajar. Ia belajar selama ini secara mandiri lewat pekerjaannya, lewat pengalamannya, lewat siapa saja, namun tidak melalui pendidikan formal. Tanpa adanya KKNI/ IQF, maka di negara kita, pendidikan non-formal, informal dan self-learning masih akan terus dipandang sebelah mata untuk diakui secara luas kualifikasinya oleh masyarakat, untuk setara dengan pendidikan formal.

Median

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun