Bumi bercerita, “Hai pemilik tanah merah basah. Liang ini bergetar karena goncangan bahu Hurina, menahan ratap impian hari mendatang. Itulah permata yang menjelijih dari sepasang mata Hurina setiap ia memejamkannya.
Kala itu ada seberkas do’a naik menembus langit dunia. Ada bahasa jiwa yang didengar.
Hurina berkata, “Duhai Pemilik bumi yang mendekap hatiku padanya, Sang Pencipta orang yang menyanyikan lagu-lagu kebahagiaan di kemarin malam untukku, yang kini lelap di pangkuan sunyi… Dengarlah bebutiran mutiara yang berjatuhan ini bercerita tentang aku, seorang janda lemah yang mendengar gema suara ayah anakku, yang kemarin masih bisa membelai sutera hitam di kepala ini, yang masih mendendangkan tembang-tembang impian buat menidurkan Namus Al-Bagana yang masih berupa sepotong dagingku dari darahnya terpancar. Aku tak menyesali terlalu cepat kepergiannya. Yang aku tangiskan mengapa terlalu lama menerima cintanya. Nyaris terlambat dan menjadikan penyesalan di sepanjang hayatku.”
Lantas kepada dirinya Hurina meratap, “Oh, Bunga tunggal taman hatiku. Cepatlah lahir dan besar agar ibu bisa melihat ayahmu di dalam dirimu. Jadilah kau pilar-pilar perkasa dari puing-puing istana milik ayahmu. Ayahmu yang pandai menghibur diri dengan huruf-huruf hidup. Ayahmu yang suka menjerit dalam kebisuan. Ayahmu yang pandai menyemat keluh dan tangis di dalam senyum pahit dan tawa hambar. Ayahmu yang pandai menukar kata cinta dengan kasih sayang.”
Senja pun beranjak pulang. Bumi pun berhenti bercerita. Desahan berat pun hilang seketika.
Pinang Lombang - Labuhan Batu, 27 Agustus 1995
Dari Kumpulan Puisi Jufri Bulian Ababil: Penutup Segala Do’a (1995-1996)