"Kau sudah berumur, Heni. Bukannya Emak memaksakan kehendak. Tapi Mak harap, mengertilah kau Heni, Emak kau ini dan Bu Dahlia itu sudah bersahabat lama, bahkan kami sudah seperti saudara. Janganlah kau kecewakan Emak, Nak! Penuhilah hajat mereka untuk mempersuntingmu. Apa kata orang nanti bila cakap Emak sudah tak didengar anak sendiri. Siapa lagi yang mau mendengar kata Emak ini. Emak khawatir, Henni. Rusak nanti hubungan persahabatan Emak dan Bu Dahlia itu bila maksud hati keluarganya kita tolak. Mungkin, andai ayahmu masih hidup, tentu dia pun akan bahagia bila melihat kau dapat dipersunting Andi yang masih bersangkut keluarga, berpaut tutur dengan Mendiang ayahmu," terangnya.
"Tapi Mak. Bagaimana mungkin Heni hendak menikah dengan lelaki yang tak Heni kenal. Bukannya Heni mau mendurhakai Emak. Tapi Heni rasa-rasa, kalau memang Heni hendak dikawinkan, tentulah Heni mesti selidiki dulu perihal tabia't bakal suami Heni. Emak kan tahu, bukan mudah 'ndak cari lelaki baik-baik zaman sekarang ini. Lagi pula, membina rumah tangga itu bukannya cukup sehari dua. Tapi untuk seumur hidup, Mak," tandasku meyakinkan Ibu.
"Terserah engkaulah, Heni. Kalau pun hendak kau selidiki, Mak pun tak bisa cakap apa-apa lagi. Tapi Mak yakin, manalah mungkin Bu Dahlia mencarikan jodoh untuk anak laki-lakinya perempuan yang 'tak berbudi', tentu anak sahabatlah yang lebih diutamakan," tukas Ibu.
Aku takut menolak permohonan ibu dan menyakitinya bila menolak. Aku takut mendurhakainya. Namun kuharap, sebelum bertunangan aku dapat bisa melihat calon suamiku.
Namun, di hari yang ditunggu-tunggu, hari pertunangan itu, entah kenapa aku yang sebelumnya begitu menggebu-gebu ingin menyelidiki bagaimana bentuk, sifat dan perakalan calon suamiku itu, kini bagai sudah ditenung. Jangankan menyelidik, melihat batang hidung calon lakiku itu pun aku tak teringat. Sedikitpun suaraku tak terdengar dalam menanyakan pada ibu, mana di antara tamu-tamu yang hadir itu calon suamiku. Sampai tamu-tamu berpulangan, yang katanya bernama Andi itu yang mana pun aku belum tahu.
Begitu teringat kealpaanku, aku jadi kesal. Kenapa tadinya aku sok lugu, pura-pura malu-lalu. Kenapa tadi kepalaku kutundukkan terus menerus. Aku bisa lupa keinginanku untuk melihat seolah-olah mataku sudah terdinding. Apa ini yang namanya jodoh? Malah saat ditanyakan padaku apa aku menerima lamaran keluarganya, lidahku secara tak diduga-duga menyetujui pinangan itu.
Di hari pernikahan, ibu tampak bahagia sekali menyaksikan aku dan anak sahabatnya Bu Dahlia bersanding. Saking bahagianya, ibu sendiri ikut mengarak dan memayungiku sepanjang jalan. Payung pengantin itu berwarna kuning. Cantik sekali. Dipenuhi perhiasan manik-manik berwarna perak membuatnya ketika mengarak kami berdua yang sedang jadi sepasang pengantin baru berkilauan diterpa sinar matahari.
Sebulan setelah menikah, suatu hari Ibu berkata kepadaku, "Nak… Janganlah kau punya anak dulu."
"Kenapa Mak?" tanyaku. "Mak yang menjodohkanku, tapi kenapa Mak Pula yang melarangku untuk punya anak," sambungku pula.
Ibuku hanya menjawab, "Entahlah Nak. Ibu pun tak tahu. Tapi hati ibu berkata. Ada waktunya kelak kau akan punya anak."
Hatiku tak tenteram oleh kata-kata ibu. Selain merasa aneh aku juga tak mengerti maksud ibu mengatakan itu. Rupanya itulah hari terakhir ibu berbicara padaku. Tiga hari setelah mengatakan itu ibu sakit, radang tenggorokan. Hari demi hari sakitnya semakin parah. Tiga rumah sakit sudah ditempati ibu untuk mencoba mengurangi penderitaannya, namun ketentuannya sudah sampai, ibuku meninggal.
Beberapa bulan kemudian baru kutahu banyak tentang Andi dan aku merasa dikhianati. Sahabat tinggal sahabat, saudara tinggal saudara. Apa yang diinginkan ibu demi kebahagiaanku ternyata jauh, jauh dari yang ia harapkan. Rupanya, keluarga Andi tak terbuka pada keluarga kami. Mereka menyembunyikan banyak hal tentang Andi, tentang kebiasaannya, tentang penyakit yang diidapnya. Andi pemabuk, tak pandai cari nafkah dan lebih parah lagi, Andi ternyata mengidap kelainan jantung.
Satu setengah tahun menikah dengan Andi bagiku bagai perang melawan takdir. Selain harus menerima keadaan Andi yang pemabuk dan penyakitan, aku juga harus berusaha memenuhi nafkah demi menghidupi kami berdua dan belajar untuk mencintai Andi. Sebab biar bagaimanapun, dia tetap suamiku, titipan ibuku. Semua ini kulakukan demi almarhumah ibu. Namun hingga hari ini nasibku belum beruntung tak dikaruniai anak. Akhirnya, kuasuh anak adikku yang ditinggal ibunya saat baru berusia 6 hari, karena cerai dengan suaminya.
Waktu telah membuatku lupa bahwa ia sebenarnya hanya keponakanku, aku tak pernah menghamilkannya atau melahirkannya, namun sudah menganggapnya bagai anak sendiri. Semua kasih sayangku bak ibu sendiri tumbuh seiring berjalannya waktu.
Setahun aku sempat hidup bersamanya. Lagi pula ia sudah menganggapku ibunya dan suamiku adalah ayahnya.Sedangkan ibu kandungnya sendiri sekalipun tak pernah melihatnya.
Hatiku hancur saat malam hari raya Idul Fitri. Di tengah-tengah gema takbir malam ini, ibu kandungnya datang meminta anaknya. Baju hari rayanya telah kubelikan. Aku tak kuasa menahannya. Ibunya telah menghinaku. Katanya, aku mandul tak bisa beranak. Sehingga telah merampas anak yang telah dibuangnya dari tangannya. Bukannya aku tidak berobat, bukannya suamiku tidak berobat. Kami berdua hampir putus asa demi bisa dikaruniai anak.
Saat bertemu keponakanku, anak abangku tertua, semula aku tak percaya bahwa ia bisa membantuku. Sebab setahuku di keluarga kami keponakanku itu dikenal bukan seorang yang bisa mengobati. Namun, ada baiknya kucoba siapa tahu. Di tengah-tengah keraguanku, tiga bulan kemudian aku merasakan mual-mual. Kata orang aku hamil. Tapi aku tak percaya. Barangkali ini hanya sakit atau masuk angin. Ternyata setelah aku mengadukan berita ini, terjadi lagi perubahan. Aku memang perempuan perokok. Dan saat itu aku merasa sesuatu yang lain bila merokok. Mengetahui aku Hamil, Andi, suamiku bagai ketiban bulan. Ia merasa bagai mendapat mukjizat. Rasa percaya dirinya tumbuh. Ternyata dia bukan seperti yang dituduhkan orang dalam gosip mereka, "Andi, suami Heni yang idiot itu impoten." Singkatnya, Andi mulai menunjukkan tanggung jawab, mencintaiku dan aku pun bangga padanya.
Saat pertama-tama hamil aku memang banyak permintaan. Minta belikan ini-itu dan mengalami banyak hal. Selain sering sakit-sakitan meskipun sudah sering memeriksakan kesehatan ke dokter, aku juga pernah jatuh sakit, tekanan darah rendahku kumat. Aku terhempas di kamar mandi.
Khawatir dengan kandunganku aku memeriksakannya lagi ke dokter spesialis. Kata dokter kandunganku tak apa-apa. Memasuki bulan keenam kehamilanku aku jatuh lagi, perutku terhempas di tengah keramaian pasar. Orang-orang membopong tubuhku ke klinik terdekat.
Ada tanda-tanda aneh menjelang akhir-akhir kehamilan, bulan ke delapan usia kehamilanku. Saat makan malam di dapur, seekor kucing melompat ke arahku dan mengencingi perutku. Aku berang.
"Sudah capek-cepek membersihkan badan, kucing celaka itu mengencingi pula!", batinku.
Suatu hari, Andi menyiram seekor tikus dengan air mendidih di dapur. Maklum, di rumah kami banyak tikus. Pada suatu malam, saat tidur, dua ekor kelabang menjalari perutku membuatku tersentak bangun karena merasakan sesuatu. Aku menjerit. Suara jeritanku membangunkan Andi. Ia pun membunuh sepasang kelabang itu.
Setahuku, sembilan bulan sepuluh hari adalah masa ideal usia kehamilan. Sebab, lebih atau kurang dari masa itu biasanya orang hamil akan melahirkan. Maka Andi membawaku ke rumah sakit untuk bersalin. Sepuluh hari di rumah sakit tak ada reaksi apa-apa. Ditanya dokter, dokter hanya menjawab kandunganku baik-baik saja, sementara biaya rawat inap terus membengkak. Memikirkan hal itu aku minta pulang dengan dokternya. "Pak, saya sudah sehat," laporku pada dokter sambil menjinjing dua tas plastik yang sejak tadi malam sudah kukemas-kemasi.
Dokter tetap belum mengizinkan, katanya kondisiku masih lemah. Aku terus mendesaknya sampai dokter itu berkata, "Fikirkan kandungan Ibu! "
Aku terdiam, tertunduk sambil mengelus perutku, "Anakku", cetus jiwaku. Fikiranku berubah. Aku kembali ke ruangan inap.
Dokter datang 3 hari kemudian. Sambil tersenyum ia terangkan, aku boleh pulang. Nanti, tambahnya, bila ada tanda-tanda melahirkan aku boleh menghubunginya. Kutanyakan lagi apakah janinku sehat. Dokter memastikan, "Ya!"
Seminggu kembali ke rumah baru kurasakan perutku sakit sekali. Seperti ada yang menolak dari dalam. Jam menunjukkan pukul dua dini hari. Tak ada siapa-siapa di rumah. Andi, suamiku tiga hari lalu pergi berpuluh-puluh mil dari rumah, pergi ke kota mencoba meminjam uang demi membayar hutang biaya rawat inapku di rumah sakit selama 2 minggu.
Dengan penuh was-was kupanggil tetangga. Salah seorang di antara mereka berusaha mencari bidan kampung malam itu juga. Yang lainnya dengan penuh setia menungguku yang sedang merintih kesakitan. Beberapa saat lamanya aku menunggu sampai bidan yang dijemput datang.
Dikelilingi bidan kampung, dibantu beberapa orang tetangga dan kakakku yang baru sampai, aku berusaha melahirkan bayiku, tapi tak berdaya. Semangatku tak mampu mengalahkan kelelahanku. Aku pingsan. Mereka harap-harap cemas melihatku. Tubuhku basah oleh keringat, tapi bayiku belum juga keluar. Tak lama berselang aku kembali siuman, sadar dan memandang ke sekeliling. Batinku berkata, "Aku harus kuat. Anakku harus terlahir dini hari ini juga meski tanpa Andi, cintaku."
Aku memanggil-manggil ibu dalam kesakitan yang kurasakan. Entah mengapa tiba-tiba aku teringat dia. Mungkin seperti inilah yang dirasakannya sewaktu melahirkanku dulu.
Kak Vina memegang kuat tanganku dan meremas jariku seolah memberiku dukungan semangat. "Heni, kau harus kuat!"
Maka kucoba sekali lagi. Entah kapan pingsan lagi aku pun tak tahu, sekarang tiba-tiba saja aku merasa perutku sudah mengecil. Batinku berkata, "Puji syukurku pada Mu, anakku sudah lahir."
Tapi, saat fikiranku mulai bekerja dan kesadaranku mulai pulih, hatiku bertanya-tanya. Kenapa tak ada suara tangisan bayi. Biasanya ada orang yang melahirkan, ada suara tangisan bayi. Kucoba buka dua mata dan pandang sekeliling, ke kiri dan kanan. Tiada bayi.
"Mana anakku?!!!!" Seruku menyerupai rintihan. Semua membungkam. Dan kulihat bidan menghampiri dan berkata, "Sabar ya Heni, anakmu dibawa keluar sebentar. Anakmu sehat."
Dia berkata seperti itu sambil tersenyum, tapi senyumnya pahit. Jam sudah menunjukkan pukul 5 subuh. Lelah aku menunggu, anakku tak kunjung dibawa ke dalam kamar tapi ditaruh di luar. Batinku berontak.
"Aku yang melahirkan! Kenapa mereka tidak menaruhnya di sampingku. Ke mana perasaan semua orang. Apa mereka tak merasa, aku ingin sekali melihat buah hatiku".
Kegelisahanku bertambah-tambah ketika orang-orang makin ramai memenuhi rumah. "Ada apa? Ada apa?" batinku kian bertanya-tanya. "Banyak orang melahirkan tapi tak seramai ini."
Sebentar-bentar mereka melongok (meninjau) ke dalam kamar, ke arahku. Seolah melihatku dengan penuh kasihan, seolah menyampaikan rasa duka cita.
Kupanggil Kak Ervina kakakku. "Kak, anakku Kak. Aku ingin melihatnya, bawa dia kemari, Kak. Kumohon," harapku.
Kak Vina orangnya rapuh. Dia tak pandai menahan diri, tak bisa menahan hati. Ia merengkuhku, memelukku sambil menjerit pilu.
"Sabarlah engkau hai adikku…!!!" Lalu ia menangis sejadi-jadinya.
Melihat Kak Vina menangis yang lain ikut menangis, karena merasa tak perlu lagi ada yang harus disembunyikan. Kutanya Kak Vina, "Anakku mati ya, Kak?".
Kak Vina semakin memperkuat tangisnya. Bidan itu menimpali sambil menyapu kepalaku, "Sabarlah kau ya, Nak?" Kata bidan kampung itu.
Aku tak menangis sedikitpun. Tak setetespun air mata keluar dari kelopak mataku. Hanya hati hancur sehancur-hancurnya, Jiwa perih tak tertahankan. Seolah tak lagi berada lagi di bumi. Jiwa melayang-layang mencari ke mana harus menggantung lara ini. Kupejamkan mata beberapa saat. Batinku berkata dalam do'a.
"Ya Allah, ternyata Engkau tak berkenan padaku untuk mencurahkan kasih sayang pada anakku. Kenapa engkau setega ini? Atau Engkau hendak mengujiku apakah aku rela dengan apapun yang kau gariskan dalam hidupku. Hampir saja aku merasa tak bertuhan bila tak sadar akan kelemahan."
Orang-orang makin ramai. Rumah semakin sesak, karena mereka berdesakan ingin melihat apa yang terjadi. Tak memikirkan keadaan yang lemah aku bangkit dari tempat tidur. Beberapa orang berusaha mencegah, tapi aku tetap bersikeras.
"Biarkan aku melihat anakku!" Teriakku marah sekali. Anakku ditaruh dalam bedungan persis di sudut kiri ruangan tengah rumah itu di atas kasur kecil berkelambu kecil layaknya bayi yang sedang tidur.
Aku berjalan tertatih tatih seraya tangan menelekan ke dinding agar tidak jatuh. Setapak demi setapak lantai kulalui dan anakku sudah semakin dekat. Beberapa langkah lagi anakku terhampiri, tiba-tiba seorang tetangga membawanya pergi menuju dapur seolah hendak menghindarkannya dari belaianku.
Tanganku menggapai-gapai hendak memanggilnya tapi suaraku tak keluar, seolah tercekat di tenggorokan. "Sebentar ya, Bu! Anak ibu mau dimandikan," katanya merasa tak berdosa.
Aku duduk dekat kasur kecil itu, menyelunjurkan kedua kaki sambil menengadahkan kedua tangan dan menaruhnya di atas kedua paha seperti hendak menyambut sesuatu. Aku ingin memangkunya.
Sejurus kemudian terdengar suara bertengkar di dapur. Mereka bertengkar apa aku boleh melihat anakku atau tidak. Sayup-sayup kudengar ada yang ngotot agar aku harus melihat anakku, sebab aku ibunya; yang lainnya ngotot agar tidak melihat sebab aku tak akan kuat.
Hatiku bertanya-tanya kenapa aku tak kuat melihatnya. Semula kufikir hendak menyusul anakku saat dibawa ke arah dapur. Katanya mau dimandikan. Tapi tiba-tiba fikiranku kuurungkan sebab melihat bercak-bercak darah di kasur anakku.
"Apa yang terjadi terhadapmu, Nak?" batinku.
Hatiku semakin kuat demi ingin melihatnya. Kutarik nafas dalam dalam seperti hendak menyiapkan diri melihat segala kemungkinan yang bakal terjadi. Tak lama berselang, kak Ervina datang membawa anakku yang sudah dibalut kain kafan, ia langsung kupanggil.
"Kak! Aku ingin menggendong anakku…Tolonglah, Kak, ku mohon."
Ia tak sampai hati memutuskan harapanku. Anakku diangsurkannya seraya membuka kain kafan yang menutupi wajahnya, aku pun bersiap-siap menyambutnya dengan segala harapan. Begitu wajah terbuka. Tanganku tanpa sadar kutarik lagi seperti mengurungkan niat. Lagi-lagi aku membatin.
"Nak. Bukan ibu tak ingin menyentuhmu. Tidak Nak. Ibu ingin sekali menggendong dan membelaimu, tapi tak sampai hati melihat keadaanmu seperti ini. Sebab, ibu terlalu egois hendak menyentuhmu, memangku dan menciummu sementara kau sendiri kesakitan saat ibu melakukannya. Tentu mereka-mereka ini telah membuatmu kesakitan sejak kau terlahir tadi, sampai engkau mengeluarkan darah. Ibu tahu itu karena melihat bercak-bercak darah di sepanjang lantai rumah kita. Demi kasih sayang ibu, ibu tak akan menyentuhmu, agar engkau tak merasa kesakitan oleh kedua tangan ini".
Baru saat ini aku bisa menangis. Betapa tidak, anakku terlahir tanpa tulang. Walaupun anggota tubuhnya lengkap. Tapi, ia seperti balon bocor yang diisi air yang setiap disentuh akan mengeluarkan darah dari mata, kuping dan hidungnya.
Jiwaku berkata, anakku terlalu rapuh meskipun menerima selembut-lembut sentuhanku. Sekali lagi kupejamkan kedua mataku menekan kehancuran hati.
"Oh tuhan, hampanya hatiku saat ini. Kenapa harus mencurahkan tanda kasih sayangku padanya dengan cara tidak menyentuhnya, karena takut darah akan keluar dari tubuhnya, padahal aku sangat ingin menyentuhnya", ketus batin ini.
Aku melangkah gontai kembali ke kamar. Kubiarkan mereka bersiap-siap hendak menyolatkannya (menyembahyangkannya), meski juga sempat ribut-ribut gara-gara mempersoalkan apakah anakku disholatkan atau tidak.
Ada yang berkata disholatkan, karena ia lahir cukup bulan; yang lain berpendapat tidak, karena lahir dalam keadaan tak bernyawa.
Terdengar lagi suara riuh di luar kamar. Orang-orang sibuk, kasak-kusuk, ribut-ribut bagai terjadi sesuatu.
"Anakku! Kenapa lagi engkau, Nak," batinku.
Ku raih pintu kamar secepatnya seolah hendak melompat ke luar, ingin menyaksikan apa yang terjadi. Sebelum meraih pintu kamar. Tiba-tiba seseorang masuk ke kamar sambil tergopoh-gopoh.
"Ada apa?" tanyaku padanya. Katanya tak ada payung hendak mengantarkan anakku ke pemakaman. Sejurus kemudian kubuka lemari mencari payung. Tak ada payung selain dari payung berwarna kuning, payung pengantin.
"Sudah biar kakak saja yang menyerahkannya," tukasku saat ia hendak mengantar anakku ke depan pintu, lantas mengiringinya ke tempat peristirahatannya yang pertama dan terakhir. Anakku itu sudah terlalu lelah.
Aku mulai berjalan pelan sambil membawa payung itu ke arah pintu, di mana Pak ustadz sedang menggendong bayiku.
Sebelum menyerahkan payung sempat terlihat anakku terbungkus kaku.
"Nak. Selamat jalan, Nak. Mohon maaf ibu, karena kau tak sempat melihat ayahmu. Tapi percayalah pada ibu, sekali ini saja. Percayalah, kau terlahir dari pernikahan yang halal, perkawinan yang direstui kedua orang tua. Payung ini menjadi saksi pernikahan ibu, Nak. Payung inilah yang memayungi ibu dan ayahmu diarak sepanjang jalan. Perlu kau tahu, Nak. Ayahmu ayah yang baik. Dia bukan tak ingin melihatmu lahir Nak, bukan pula ia mau lari dari tanggung jawab. Dia sangat mencintai kita. Dia tak ada di sini karena kesalahan ibu juga, terlalu banyak biaya karena sakit-sakitan. Dia pergi jauh mencari pinjaman uang untuk membayar biaya rumah sakit yang terlalu mahal untuk orang miskin seperti kita," batinku bicara padanya.
Beberapa hari kemudian, malam ketiga anakku ditalqin, Andi, suamiku itu pulang membawa beberapa pakaian bayi. Uang pinjaman pun diperolehnya. Ia bingung melihat keadaanku. Ia juga tak bisa berkata apa-apa melihat rumah kami ramai dikunjungi orang takziah. Ia hanya berbisik.
"Sudahlah, Dik…yang penting engkau sehat."
Esoknya, aku dan Andi terkejut. Soalnya tak ada yang memberitahukan bila Maryam, demikian kami memberinya nama, ternyata dikubur di atas kuburan ibuku. Artinya anakku satu kuburan dengan neneknya yang lebih dahulu meninggalkanku selama-lamanya. Jasadnya diperkirakan hanya beberapa jengkal saja saja di atas jasad neneknya, seolah neneknya ingin memangku dan menggendongnya. Hatiku lagi membatin.
"Mungkin, inilah maksud perkataan ibuku dahulu beberapa masa sebelum ia meninggal dunia."
Di kubur itu aku berdiri. Pada ibu kukatakan, "Dahulu, Mak katakan agar aku jangan punya anak. Rupanya Mak yang hendak menggendong cucu Mak itu. Dulu Mak yang menitipkan Andi agar aku mencintainya. Kini kutitipkan anakku ini padamu Mak. Engkau rawatlah cucumu ini." Semoga ia mendengarku.
Tanjung Balai, 2004