Bu Mely bergerak sedikit, sambil mengeluarkan suara seperti mengerang. Perempuan berambut sepunggung tampak seperti hendak melompat, bergegas mendekati, seperti lekas-lekas hendak segera meraih tubuh rapuh itu.
"Widya….!" Seru Bu Mely setengah berteriak serak. Tubuhnya menggeliat seperti risih karena merasakan sesuatu.
"Saya, Mak!" Sahut perempuan yang kalau ditaksir-taksir berumur kepala dua itu. Rupanya ia bernamaWidyawati.
Ditinggalkan Widya setumpukan buku pelajaran yang sedang ia baca untuk persiapannya ujian akhirnya, lusa. Pasalnya, ia harus menuruti segala perintah ibunya yang kadang aneh-aneh.
Widya menyelinapkan sebelah tangannya ke punggung ibunya yang sedang berbaring, seperti meraba alas tidur itu. Basah, fikirnya. Sementara mata ibunya masih terpejam, pertanda ia masih tidur. Sejurus kemudian, tangan Widya digeser lebih ke bawah. Basah juga. Tahulah ia apa yang harus dilakukannya segera. Apalagi, kalau bukan membersihkan tempat tidur itu, lalu menyalin pakaian ibunya.
Selesai mengganti baju kebaya hijau tua dan kain sarung berlumur kotoran bercampur air kencing dengan baju dan sarung lain, Widya pun kembali mencicahkan pantatnya menghadap tumpukan buku pelajaran yang akan ia hafal. Baru sepeminum teh fikirannya tenggelam, asyik menekuri bahan-bahan yang diperkirakan bakal keluar dalam soal ujian, Ia kembali dikejutkan teriakan ibunya. Hafalannya buyar oleh teriakan itu. Ia pun melompat lagi memburu ke arah ibunya.
"Ada apa, Mak?" Tanya Widya lembut.
Bukannya menjawab, Bu Mely malah menangis tersedu-sedu.
"Ibu lapar?! Biar Widya sulangi, ya?" Cetus Widya lembut coba menebak keinginan ibunya. Ditanya begitu, Bu Mely malah kian memperkuat tangisnya. Mulutnya diponcong-poncongkan, seperti mencibir.
"Bawa aku ke rumah anakku Devi….atau anakku Rina….Udin…! Tengoklah Mak, Nak! Mereka ini jahat, tak mau memberi, Mak makan. Kau bukan anakku! Kau jahat!…hu..hu..hu," hardik Bu Mely sambil menepis tangan Widya.
Berdenyut jantung Widya menahan keperihan, melihat sikap ibunya yang sudah pikun itu, meresap pilu di jiwanya mendengar hardikan itu. Namun ia bersabar, sebab ia faham betul, barangkali apa yang dilakukannya beberapa bulan terakhir, mengurusi perempuan renta itu, masih tak sebanding dengan jerih payah perempuan tua itu mengandung, melahirkan dan membesarkannya dulu.
Sedangkan, nama nama yang disebut-sebut Bu Mely tadi memang anaknya juga. Sebenarnya mereka lima bersaudara. Anak sulungnya, yang disebut Rina tadi; anaknya kedua bernama Yeni; yang tengah-tengah Udin; sedang yang dipanggil Devi itu, anak nomor empat; Widya sendiri anak bungsu.
Dalam termanggu, Widya berdiri terpaku. Fikirannya kosong, tampak seperti sedang menghadapi pukulan berat. Tangis ibunya bagai tak didengarnya lagi saking dalamnya lamunan itu.
Untunglah, Yeni, kakaknya, segera menyembulkan diri dari balik daun pintu utama rumah panggung berkolong tinggi dengan tiang besar di bagian tengah, sebagai ciri khas rumah adat Melayu Asahan itu. Sejurus kemudian, Yeni, janda beranak 4 itu, mendorong pintu dari luar dengan tangan kanannya. Sedang, tangan kirinya tetap memegang tampah yang bertengger di kepalanya. Tampah itu berisi beberapa jenis kue. Ada kue lapis, kue talam, nasi manis, ada juga lepat pulut dan kue jenis lain.
"Sudahlah Wid, engkau hafallah pelajaranmu itu. Mak, biar Kakak yang urus", tukas Yeni sambil menurunkan tampah berisi kue dagangannya ke meja makan di sudut kanan rumah, lantas ia duduk di sebelah ibunya yang masih meronta-ronta. "Kak. Apa kata Kak Devi?” Tanya Widya pada Yeni sambil tangannya merapikan buku-buku yang penuh bekas sobekan yang sudah dilem dan dijahit, yang hitam bekas terendam lumpur lalu dicuci dan dikeringkan. Semua itu, tentu saja ulah ibunya yang suka mengoyak atau berebut buku dengan anak Yeni yang baru berumur 3 tahun, Abdi.
"Entahlah, Wid….! Kakak pun tak tahu lagi apa yang hendak dicakapkan," tandas Yeni sambil menghela nafas berat.
"Mengapa Kakak berkata begitu? Memangnya, apa yang Kakak bilang sama Bang Udin, Kak Devi dan Kak Rina?" Tanya Widya kian tak mengerti. "Mereka bilang apa sama Kakak?" Imbuhnya lagi.
"Sehabis jualan tadi pagi Kakak sudah sempatkan menyambangi si Devi. Kakak sudah sampaikan, emak kita sudah rindu dan minta tinggal beberapa minggu di rumahnya. Kakak 'dah menyuruhnya datang ke mari menjemput emak. Tahu apa jawabnya? Dia bilang, mana mungkin emak dibawanya ke rumahnya. Makannya pun susah. Kais pagi makan pagi, kais petang makan petang. Lakinya pun cuma pelaut pukat kecil. Nanti, katanya, bisa-bisa emak kita kebuluran di rumahnya, tak makan-makan," terang Yeni menjelaskan percakapannya dengan adiknya Devi.
"Kak Rina sudah jumpa, Kak?" Tanya Widya lagi.
"Dia pun sudah Kakak kerahkan ke sini, biar bisa mengurus emak ini. Kakak pun sudah menawar, bila dia tak mau membawa emak kita ke rumahnya, paling tidak datang-datanglah ke sini mengurus emak. Tapi, lain pula jawabnya. Mau tahu apa jawabnya?! Katanya, bagaimana ia mau mengurus emak, cucunya saja pun sudah membuatnya kewalahan. Tahulah, katanya, cucunya banyak dan nakal-nakal semua. Duduk barang sekejap pun dia tak sempat. Konon lagi, mengurus emak kita ini, bisa mati berdirilah dia," jelas Yeni pada Widya.
"Bang Udin?!" Tanya Widya ingin tahu. Bukan ia merasa lelah mengurus ibunya, atau hendak melemparkan tanggung jawabnya sebagai anak pada kakak abangnya yang lain. Ia hanya mau mendengar alasan dari Yeni, biar hatinya puas.
"Maklumlah kau dengan Bang Udin. Dia itu anak laki-laki, kerjanya banyak di luar rumah, cari nafkah. Sebulan lalu pun, ia sudah coba membawa emak ke rumahnya. Di sana, bukannya dia yang mengurus emak. Istri dan anak perempuannya, kan? Seminggulah bisa bertahan. Kau lihatlah sendiri. Bang Udin pun sudah mengadu pada Kakak. Di rumah ia sering bertengkar dengan bininya, soal mengurus emak. Kak Rani, istrinya itu, betul juga penuturannya. Ada empat anak perempuan emak, kenapa harus menantu yang mengurusnya. Anak-anak perempuan jadi apa? Bang Udin pun sudah macam ketakutan. Katanya, nanti gara-gara emak, bisa-bisa mereka bercerai. Sudahlah Widya, kita urus dan rawat sajalah emak kita ini. Jangan kau berharap sama Bang Udin atau dua kakakmu yang sudah sibuk cari makan dan mengurus cucu itu. Tak perlu kau risau Widya. Lagi pula, sesekali, bukankah Bang Udin mau juga singgah ke mari, menitip uang belanja untuk emak pada Kakak," papar Yeni.
Paparan kakaknya, memutus pertanyaan Widya. Ia terdiam, coba mencerna bagaimana kesudahan yang dialaminya sejak tiga bulan terakhir, sejak ibunya mulai bertingkah laku seperti anak kecil.
Kepada tiap tamu yang datang ke rumah, Bu Mely selalu mengadu, mengaku sering dimarahi, dipukuli dan disiksa oleh anaknya Widya dan Yeni. Tak pernah diberi makan. Tak pernah diizinkan menemui anaknya Devi, Udin dan Rani. Padahal, orang sekampung pun tahu, walau Yeni itu janda cerai karena suaminya pemalas tak mau cari nafkah; biar anaknya masih kecil-kecil, kerjanya sehari-hari cuma pedagang asongan berkeliling di pajak dan keramaian, mengumpulkan uang sepeser dua peser; tetapi, Yeni tak pernah mengeluh mencarikan sesuap nasi untuk ibunya yang uzur itu.
Begitu pun Widya. Entah sudah berapa banyak bukunya yang disobek-sobek, dihunggis-hunggis, dikunyah-kunyah ibunya yang edan karena usia lanjut. Padahal, buku itu dibeli dari uang hasil cucuran 'keringat jagung', yang dikumpulkan berbulan-bulan dari upah mencucikan, menyetrika, mengepel dan membersihkan rumah orang layaknya seorang babu atau pembantu rumah tangga. Tetapi semua itu ditelannya bulat-bulat. Tak dibiarkan jadi hambatan meraih prestasi di sekolah.
Orang sekampung pun tahu siapa Devi, Rina dan Udin, tiga anak Bu Mely selain Widya dan Yeni; juga menantunya Rani, istri Udin yang pesolek itu. Waktu enam bulan sudah cukup bagi orang-orang menilai, lidah siapa yang lurus dan lidah siapa yang bengkok; mana alasan menutupi keengganan, mana pula jalan mewujudkan kemauan; siapa pengabdi yang mempersembahkan bhakti, siapa pula yang keji, menutup mata dan hendak lari dari tanggung jawab, lalu berkilah, bersilat lidah. Setelah itu waktu pun seperti berlari, bergegas hendak menjawab segala yang tersimpan di hati, baik kebusukan maupun keikhlasan, karena memang tak selamanya hidup itu sebuah teka-teki. Tak terasa, sudah tiga puluh tahun berlalu. Sejak meninggalnya bu Mely, setelah tak kurang empat bulan diurus Widya dan Yeni. Panjang umur lima bu Mely, karena hendak melihat buah sifat laku mereka.
Siang itu, Bu Yeni, yang sekarang lebih dikenal oleh orang-orang dengan 'Bu Hajjah', sedang berbaring, tidur-tiduran di atas sofa merah, dikelilingi hamparan baldu biru made in Arab Saudi itu.
Ia baru tiga bulan lalu pulang dari tanah suci, selesai melaksanakan manasik rukun Islam kelima itu, dibiayai anaknya nomor dua. Sampai kini, Bu Yeni masih menempati rumah peninggalan almarhum ayahnya, Datuk Bahar dan almarhumah Bu Mely. Pasalnya, rumah warisan itu sudah dibeli anaknya sulungnya, setelah disepakati ahli waris lain. Uang hasil penjualan dibagi-bagikan pada yang berhak menerima. Rumah itu pun kini, tidak lagi bercorak melayu, tapi sudah empat kali mengalami pemugaran, sampai sudah jadi gedung bertingkat. Sebagian besar malah sudah terbuat dari beton dan kaca.
Sehari-hari Bu Yeni diurus anaknya yang ketiga, perempuan. Sedang, anak bungsunya, Abdi, yang sewaktu berusia tiga tahun dulu teman bermain dan berkelahi neneknya mendiang Bu Mely, yang mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Siang yang menyenangkan dan dzikir Bu Yeni tiba-tiba terganggu oleh suara salah seorang keponakannya, Nadra, anak Bu Rina yang punya beberapa anak laki-laki yang bergajul lagi berandalan, dari pintu utama rumah itu.
"Bibi! Bibi! Emak saya Bibi!" Seru Nadra dengan nafas terengah-engah, sudah pun tinggal satu-satu. Matanya bengkak bekas menangis.
Bu Yeni meminta Abdi mengontak adiknya, bu Widya, dokter sekaligus dosen ternama di sebuah Perguruan Tinggi di kota, lewat telepon genggem (HP) nya, disuruh segera datang ke kampung. Ia segera bangkit, sebentar merapikan kain sarung, berbenah-benah lalu melangkah menyusul Nadra.
"Ada apa, Nadra? Kenapa dengan Mamamu?" Tanyanya saat menuruni beberapa anak tangga. Ditanya bukannya menjawab, Nadra justeru menangis.
"Mari….mari, kita ke sana. Sudah…sudah hentikan tangismu, Nak," ketus Bu Yeni. Lalu keduanya bergegas dengan langkah agak tegap, cepat-cepat menuju rumah Bu Rina yang hanya berkelang empat rumah.
Setiba di rumah Bu Rina, tampak orang-orang sudah berkerumun, hingga menyulitkan mereka melihat Bu Rina.
"Awas…! mau lalu…! beri jalan! Beri jalan!" Seru Bu 'Hajjah', padatnya orang kampung yang berlapis-lapis bikin sesak rumah, segera terkuak, terkuiskan sampai akhirnya Bu Rina tampak tergolek kejang-kejang. Bu Yeni dan Nadra pun mendekat.
Ini bukan pertama kali Bu Rina mengalami hal seperti ini. Sejak 10 tahun terakhir, ia tampak mengalami penderitaan cukup berat. Tak bisa tenang di rumah anak sendiri. Ia sudah coba mengganti-ganti tempat menumpang di rumah anaknya yang lain, selain Nadra. Tetapi sama saja, bahkan lebih membuatnya tertekan. Cucu-cucunya, selalu bikin onar dan membuat sakit jantungnya kumat. Ada yang pemabuk, tiap pulang mabuk-mabukan dari mana-mana, merusuhnya di rumah. Ada yang bajingan tengik, penjambret kampungan hingga rumah itu sering didatangi polisi; dan ada pula preman simpang yang suka berkelahi, hingga ia sering terkejut, menjerit-jerit mendengar suara lemparan batu di kaca jendela dan bubungan rumah.
"Emakmu mana?…sudah datang?" Tanya Bu Yeni pada Astri, anak Bu Devi, beberapa saat setelah Bu Rina dibawa ke kamarnya. Dokter pun sudah datang dan memeriksa kondisinya.
"Emak saya? Mana sempat dia ke mari, Makcik! Kerjanya sepanjang hari cuma mencari makan. Itu pun susah juga, payah dan morat-marit juga periuknya. Kurasa malam nanti baru dia pulang! Kami, anak-anaknya, apalah yang bisa kami bantu, kehidupan kami pun pas-pasan," tutur Astri ringkas.
Sementara di ruang tengah, keluarga Bu Rina sudah banyak berkumpul. Bu Widya bersama beberapa anaknya yang sarjana juga sudah sampai. Mereka datang dengan mobil pribadi 'tahun tinggi', pemberian anaknya yang kini melanjutkan pendidikan di luar negeri. Selain itu, anak-anak Pak Udin yang janda-janda dan duda pun ada, turut menjenguk Bundai Rina, begitu mereka memanggilnya.
Pak Udin sudah meninggal dunia tahun lalu, karena terserang kanker paru-paru, meninggalkan sembilan anak, semua sudah berumah tangga, lima di antaranya broken home dan merasakan pahitnya perpisahan. Anaknya kedua, Vanny yang beranak tiga itu, adalah seorang janda ditinggal mati selagi anak-anaknya masih kecil-kecil. Anaknya kelima, Linda, bercerai setelah beranak 4, sekarang sudah pun menikah lagi dengan seorang buruh, tetapi tinggalnya di luar negeri, sekali setahun pun belum tentu bisa bertemu. Anaknya kedelapan, laki-laki, Toni, baru-baru ini bercerai, anak-anaknya pun bercerai berai; satu diasuh mertuanya, satu diadopsi kakaknya yang mandul, dua lagi dalam asuhannya; sedang istrinya, tak tahu ke mana rimbanya; kabarnya, sudah jadi wanita 'jalang'. Terakhir, anak mendiang Pak Udin, laki-laki, Heru; kini jadi pria patah hati, karena tak direstui dan ditentang habis-habisan oleh Bu Rani untuk menikah dengan gadis yang ia cintai.
Setelah diberi suntikan dan beberapa butir pil, Bu Rina sudah tampak agak tenang, dokter rawat jalan pun pulang. Tetapi subuhnya, Penyakit Bu Rina kumat lagi. Esoknya, ia sudah tiada lagi untuk selama-lamanya, meninggalkan cucu-cucu yang dimanjakannya sejak masih kecil.
Tanjung Balai, 2004