Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Pesta Kemiskinan

11 Juni 2014   01:43 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:19 39 0



Cerpen Jufri Bulian Ababil

Cukup lama aku terhenyak dalam kegalauanku. Kubiarkan segala gundahku mengepung batin. Aku benci kemiskinan. Aku benci kredit. Aku benci inflasi, uang kertas yang didaur ulang menjadi cinderamata, bahkan uang koin yang dilemparkan kepada pengemis di trotoar jalan. Semua jerih usahaku, tetes keringatku, pikiran kerasku, bahkan semua orang yang menaruh kepercayaan padaku semakin tak ada nilainya. Semua dimakan inflasi. Gajiku yang tujuh tahun lalu cukup untuk menghidupi istri dan seorang anakku,  kini sudah harus mencari pijaman dari teman untuk menutupi kekurangan biaya setiap bulan. Berhutang, itu memang pilihanku.

Lama-lama aku tidak takut lagi berhutang. Biasa saja sudah rasanya setelah dijalani bertahun-tahun. Memang masih terasa agak sedikit merendahkan diri sendiri. Tapi menurutku, tentu jauh lebih baik dari mencuri uang atau melakukan markup, uang komisi, uang pelicin, uang tanda terima kasih, uang kuping, uang tutup mulut dan pencitraan yang baik terhadap berbagai jenis uang masuk yang instant lainnya. Mengingat hal itu aku malah merasa sedikit lebih bangga. Aku dan anak istriku masih memakan yang halal. Titik.

Hutangku semuanya kucatat dengan baik biar sepeser pun. Dengan siapa, berapa jumlahnya. Pokoknya, aku ingin membayar semuanya kalau suatu saat aku kaya. Walaupun begitu, aku tidak mau dibilang miskin, prasejahtera, ekonomi lemah dan pilihan kata lain yang mengarah pada kekurangan harta.

Hutangku kubayar dengan uang yang nilainya tidak setara ketika saat aku meminjamnya. Tentu saja karena dimakan inflasi. Dalam hati aku merasa menzalimi setiap yang berpiutang padaku tanpa bunga. Aku ingin minta maaf pada mereka. Aku ini memang egois. Begitu tegas aku menolak hutang yang berbunga, perilaku renten, peminjaman lunak dan kredit, tapi aku tak sanggup mengutarakan maafku. Tapi itu wajar, karena mereka pasti mengerti keadaannya.

Aku tak lagi sedih punya banyak hutang, karena semua hutangku tidak terikat jangka waktu atau bunga yang harus dicicil setiap bulannya. Hutangku adalah hutang dari ketulusan orang menghargai jerih payahku bekerja siang dan malam. Malah aku bangga punya banyak relasi untuk berhutang. Kadang kupikir-pikir, mungkin ini sebuah kelebihan, sesuatu yang istimewa pada diriku. Sesuatu yang berbeda dari kebanyakan orang, kebanyakan pihak yang berhutang.

Kebanggaanku pada hutangku bukan sebuah kebetulan, bukan sekedar pembenaran. Bertahun-tahun aku sudah membanding-bandingkan diriku dengan lingkungan di sekitarku, lingkungan kerjaku, daerah tempat aku bermukim, Negara tempat aku bertumpah darah, bahkan planet bumi tempat aku berpijak.

Di lingkunganku tempat aku mengontrak rumah, sejumlah tetangga di sekelilingku membeli perabotan rumah, pakaian baru, hingga barang pecah belah. Semuanya menyicil. Tentu saja dengan harga yang berbeda dengan kontan.

Teman sekerjaku membeli sepeda motor baru, rumah baru, mobil baru, perhiasan baru. Semuanya kredit, juga dengan bunga yang standar berikut agunan atau jaminannya. Nah, di daerahku, baik di kota maupun di desa, sama saja. Tak peduli apapun jenis profesinya, latar belakang budayanya, agamanya, semuanya berhubungan dengan usaha simpan pinjam. Petani, pedagang keliling, pelacur, tenaga kerja di luar negeri, pengembang, pejabat, wakil rakyat, pokoknya siapa saja, semua sudah berhubungan dengan bank dan koperasi.

Negaraku juga demikian, bahkan jauh sebelum aku lahir juga sudah berhutang dengan lembaga keuangan dunia, juga dengan uang yang beranak pinak tahun demi tahun. Seluruh dunia sudah bergantung dengan hutang. Seluruh rakyat di negaraku, bahkan hampir seluruh seluruh penduduk bumi yang hidup saat ini, detik ini, tak bisa dilepaskan dari hutang, hutang dan hutang.

Pernah suatu ketika aku sangat terpukul saat menjemput anakku pulang sekolah anak usia dini. “Ayah, ayah,… jajan…jajan!” jerit anakku sambil menangis tersedu-sedu. Kujelaskan kepadanya dengan lembut, “Ayah sedang tak punya uang, Nak.” Dia terus menangis, tak peduli bujukanku. “Kenapa teman-temanku jajan, aku tidak?” Protesnya meradang. “Ayah mereka punya uang,” jelasku menyabarkannya. Tangis anakku semakin lantang. Dia tidak terima alasanku. “Kenapa ayah teman-temanku punya uang, kenapa ayah tidak punya uang?” Anakku terus mendesakku dengan pertanyaan.

Aku terdiam. Kata-kata anakku meresap ke dalam batinku. Tangisannya kunikmati dalam-dalam. Lama-lama terdengar begitu  panas dan membakar hatiku.

Menurutku, anakku tak mengerti. Percuma saja kujelaskan panjang lebar padanya. Dia tetap tak mau berhenti menangis. Seorang temanku, pengusaha kopi yang menyambangiku saat itu tersentak oleh protes anakku. Tak berpikir dua kali, sehelai uang kertas langsung dirogohnya dari kantongnya dan menyalamkannya kepada anakku, sambil mengelus kepalanya. “Sudahlah, namanya juga anak-anak,” ujarnya sambil tersenyum padaku. Tangis anakku reda seketika. Aku terhenyak. Akulah yang tak mengerti, bukan anakku.

Aku belajar dari peristiwa itu. Aku berguru pada anakku. Aku harus mengatasi masalahku dengan hutang. Aku insaf, keadaan yang terjadi tak bisa mencukupkan diri dan menyabarkan seorang anak kecil seperti anakku. Setiap saat iklan dan tontonannya juga temannya adalah kemewahan dan pesta. Malah, aku, isteriku, temanku, orang lain juga semuanya, siang malam, ke segenap penjuru mata angin telah dikepung iklan, promosi produk dan penyebaran publikasi untuk membeli dan pesta.

Dua sisi kenyataan yang bertolak belakang iklan dan kemiskinan harus kuhadapi. Aku tak bisa lari karena anakku. Anakku tak bisa lari karena ia bermain, bercanda dan belajar bersama teman-teman usianya. Aku kalah. Aku berhenti menjadi orang yang ingin terlihat idealis, kelihatan tidak konsumtif, bila perlu pelopor perlawanan kapitalis dan neoliberalisme. Omong kosong itu semua.

Mulai saat itu, aku mulai belajar bagaimana mengatur keuanganku dengan cara lembaga moneter mengatur keuangan dunia. Mula-mula aku mengamat-amati keadaan pasar, kemudian mencari peluang dalam proses pemasaran berlangsung, sampai akhirnya dapat menghidupi seluruh ekonomi dunia, meminjamkan uang, mendorong terjadinya pembangunan, bahkan mengendalikan situasi politik dengan memainkan peran moneternya. Luar biasa, pikirku.

Setelah kuamat-amati. Aku pun mulai membenci kemiskinan di saat banyak orang berpesta dalam kemiskinannya. Aku benci pada sejumlah tetanggaku yang ikut berebut berdesak-desakan bahkan saling injak untuk mendapatkan beberapa kilo beras, sehelai uang kertas dengan berteriak, “Kami miskin!” Agar mereka pantas mendapatkan bantuan. Aku benci pengemis yang memasang wajah menghiba agar orang-orang mengasihaninya karena kemiskinannya. Aku benci orang-orang pintar yang mengumpulkan data kemiskinan untuk mendapatkan proyek dari kemiskinan yang didatanya. Aku benci Negara-negara yang bangga menyebutkan statistik penduduk miskinnya untuk mendapatkan perhatian dunia. Tapi sekali lagi, aku juga ternyata menikmati pesta dari dari kemiskinan itu.

Aku bekerja mencari nafkah untuk anak istri terpaksa harus menghadapi kenyataan. Aku harus ikut masuk ke dalam pesta kemiskinan. Aku sadar kemiskinan masih laku dijual, maka aku harus menjualnya. Tetanggaku punya barang-barang pengisi rumahnya, teman-temanku punya fasilitas yang memudahkan aktifitasnya mendapatkan sesuatu dari kemiskinan. Kenapa aku tidak? Anakku diberi temanku selehai uang jajan karena dia meneriakkan kemiskinannya, kemiskinanku juga? Tidak. Aku tidak mau disebut miskin! Kenyataannya?

Aku harus bisa, karena semua orang bisa mengaku miskin, mempelajari secara akademik masalah kemiskinan, menganalisis dan membicarakan panjang lebar upaya mengatasi kemiskinan. Maka, aku harus berhenti meragukan kemiskinan itu. Kemiskinan bukan sesuatu yang patut dibenci apalagi dicurigai. Kemiskinan adalah alasan.

Begitulah. Setelah belajar dengan tekun, mencari referensi dan sumber yang patut dipercaya guna menjelaskan segala yang berhubungan, baik langsung maupun tidak langsung dengan kemiskinan, akhirnya aku mulai berdamai dengan istilah yang yang sangat fenomenal itu.

Sekarang, setiap anakku minta jajan, aku tidak pernah lagi mengecewakannya. Sebelum uangku habis, seperti sebuah bank, aku tetap punya dana cadangan walaupun harus ditalangi dari hutang dan hutang, pinjaman dan pinjaman. Kehidupanku telah berjalan normal dan siap untuk membeli.

Cukup lama aku terhenyak dalam kegalauanku. Kubiarkan segala gundahku mengepung batin. Aku menyukai kemiskinan agar selau ada. Kredit harus ada. Aku harus mencari peluang dari inflasi, menyebarluaskan uang kertas sebelum didaur ulang Bank Central menjadi cinderamata, sebelum dilemparkan kepada pengemis di trotoar jalan saat mereka menjalani profesi mereka. Semua jerih usaha orang, tetes keringat orang, pikiran dan kerja keras orang, bahkan semua orang yang menaruh kepercayaan padaku sudah dapat kumanfaatkan menjadi komoditas ekonomiku. Aku bahkan bisa menekan inflasi. Gajiku sampai tujuh tahun mendatang sudah bisa kuhitung dengan prediksi dan analisis pasarku. Lintah darat, sebenarnya bukan pilihanku.

Medan, 22 Juni 2011

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun