Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Ruang Hidup Keterbentukan Manusia

1 September 2013   07:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:32 338 0
Catatan Kuratorial dalam pameran tunggal N Iksan Breykele dengan judul “Subjektivitas Kolektif” di ISI Yogyakarta Tanggal 11 Juli 2013

Oleh M.D. Atmaja

Hampir, seluruh dari kita sepakat bahwa hakekat dari karya seni merupakan bagian dari manifestasi dunia kehidupan yang terpotret secara awal ke dalam pengalaman seniman. Dunia kehidupan kita ini hadir dan kemudian berperan sebagai bahan mentah yang oleh seniman digunakan untuk membangun karyanya. Bahkan untuk karya yang oleh seniman seringkali dinisbatkan sebagai totalitas dari perwujudan dunia imajinasi, dapat dipastikan adanya pengaruh gejala realitas yang menjadi bahan dasar dalam proses pembangunan karya tersebut. Sebagaimana mengacu pada pendapat Scholes, bahwa orang tidak mungkin melihat realitas tanpa interpretasi pribadi yang berhubungan dengan imajinasi, dan orang tidak mungkin berimajinasi tanpa pengetahuan suatu realitas.

Dunia imajinasi dan realitas yang dimiliki oleh seseorang memiliki adanya hubungan yang saling membangun. Imajinasi juga mengambil gejala realitas dalam proses pengkreasian oleh individu. Karena imajinasi juga sebagai bagian dari dunia fakta, maka dengan melihat rangkaian karya seni berarti melihat realitas (fakta) itu sendiri –melalui sudut pandang seniman- yang mana dihidangkan pada publik sesuai dengan selera dan porsi perspektif si seniman. Untuk itu, segala bentuk pengetahuan yang ada di dalamnya tidak lepas dari nilai subjektivitas.

Keadaan proses pembangunan antara realitas dan imajinasi ini terlihat dalam karya-karya N Iksan Breykele dalam pameran tunggalnya kali ini. Secara bentuk pengkaryaan menggunakan metode tiga dimensional yang menarik. Namun saya tidak akan membicarakan bentuk dan metode tersebut. Akantetapi lebih pada gagasan, yang mana dalam kehidupan realitas terdapat adanya kasus yang mana membuat manusia kehilangan kebebasannya, manusia tidak bebas untuk bertindak. Secara tidak langsung, manusia oleh N Iksan Breykele dianggap sebagai agen yang tidak memiliki kebebasan hakiki. Kebebasan manusia yang selama ini kita saksikan lebih dianggap sebagai kebebasan semu.

Kondisi yang demikian –manusia dengan kebebasan semu- dibentuk dan sekaligus ditawarkan oleh masyarakat atau sekelompok manusia yang membuat garis-garis pembatas bagi kinerja kemerdekaan individu. Hal ini cukup menarik untuk kita perbincangkan, mengenai manusia yang secara asasi memiliki hak kebebasan, diakui sebagai manusia yang bebas, dan dalam argumentasi manusia secara umum sudah mencapai apa yang namanya kemerdekaan, namun apa yang namanya kebebasan manusia itu ternyata terbentung (dan dihalangi) oleh ruang lingkup kehidupannya sendiri. Dalam benak saya, timbul pertanyaan mendasar, kebebasan mutlak yang seperti apa yang coba digagas oleh N Iksan Breykele melalui pameran tunggalnya kali ini?

Merespon ketidak-bebasan manusia, N Iksan Breykele berpameran dengan tema “Subjektivitas Kolektif” yang mana dalam pandangan dunia kehidupan Iksan Breykele, subjektivitas kolektif adalah sebagau mata-rantai pemasung kebebasan. Seluruh karya yang ikut dipamerkannya, oleh karena itu berperan sebagai media komunikasi bermuatan protes pada masyarakat kehidupannya.

Kebebasan dan Ruang Hidup Manusia

Benarkah manusia itu jauh dari kebebasan seperti yang N Iksan Breykele ungkap?

Di jalan-jalan, pada ruang-ruang publik, bahkan dalam kehidupan bernuansa privat pun, kita pasti menemukan organ-organ hidup yang bersuara akan arti pentingnya kebebasan bagi kehidupan manusia. Manusia yang bebas sebagai manusia yang berdiri sendiri, hak dan otoritasnya berada di tangan kehendaknya sendiri, tidak mengalami apa yang namanya penindasan, penghisapan darah dari satu manusia oleh manusia lainnya. Manusia bebas adalah manusia yang tidak menjadi mangsa, juga tidak menjadi pemangsa bagi kehidupan manusia lain. Ia adalah suatu totalitas, dengan independensi gerak yang tidak terpengaruh oleh aspek apa pun, baik yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya sendiri.

Tahap demi tahap perkembangan zaman, manusia diajak untuk mencapai kebebasan. Manusia diajak (diprovokasi) dengan propaganda-propaganda kemerdekaan untuk dapat menikmati manisnya kebebasan (kemerdekaan) dalam aktivitas apa pun. Ajakan untuk hidup bebas itu, saya ambil satu kasus, slogan untuk “menjadi diri sendiri” yang dipandang sebagai kesempatan dimana seorang individu diberikan hak secara khusus untuk secara bebas untuk menjadi atau melakukan hal-hal yang dia ingini. Bebas menjadi apa pun dan berbuat apa pun sesuai dengan yang tergambar dalam pikiran dan hatinya.

Kondisi ini dapat kita pandang sebagai kesempatan untuk mengeluarkan semua hasrat dan keinginan yang pada tahap awal hanya tercipta dalam dataran ide. Melalui hak kebebasan, individu diberikan wewenang sepenuhnya dalam rangka mengeksplorasi seluruh ekspresi yang dia miliki. Individu dijamin haknya menjadi apa pun tanpa halangan dan rintangan yang mempersulit kegiatan menjadi diri sendiri. Halangan dan rintangan itu harus ditiadakan, sebab keadaan yang menghalangi individu mencapai kebebasan akan membawa si individu tersebut ke dalam ranah keterasingan dan ketertindasan dirinya sebagai individu yang merdeka. Tidak boleh ada rintangan untuk manusia mengeksplorasi hasratnya, sepenuhnya dan setotalnya sesuai dengan prinsip kebebasan tersebut.

Akantetapi, ruang-lingkup kehidupan manusia yang kemudian memberi bingkai atau gambaran bagi si individu kita ini dalam mengolah hasrat dan keinginan dalam rangka mencapai buah manis kebebasan. Dengan sendirinya hasrat dan keinginan untuk mencapai kebebasan total menemukan saringan dalam aplikasinya di tengah jalan yang mengakibatkan adanya tuntutan bagi si individu untuk memahani tatanan nilai dalam berkesplorasi. Keadaan ini sebagai perwujudan dari kebebasan yang terikat oleh faktor-faktor diluar individu. Kemudian terjadi adanya penggambaran kalau sebenarnya kondisi luar manusia memposisikan manusia sebagai mahkluk sosial yang keberadaannya tidak berdiri secara otonom sendirian. Keberadaan manusia si individu ini secara jelas ditopang oleh faktor-faktor lain yang turun memberi nilai bentuk sebagai manusia.

Saya kira, Iksan Breykele menanggapi faktor eksternal ini dengan penerimaan tersendiri. Muncul dalam olah pikir dan rasa yang dapat kita pahami melalui karya berjudul “Intervensi”. Faktor luar dari diri si individu kita (mungkin si perupa sendiri) lebih dipandang sebagai semacam gelombang yang berdiri –sebagai penghalang- di tengah laju perjalanan hidup. Gelombang sebagai faktor eksternal yang dapat berbentuk apa saja, menghalangi si individu dalam berbuat sehingga menciptakan nuansa hidup yang berat untuk dilalui. Lihat pada “Intervensi” yang seperti orang lain memberikan serangan pada aspek pikiran dan perasaan bagi individu kita.
Bagi saya secara pribadi, faktor eksternal tidak berperan sebagai ancaman. Namun lebih pada alur, pun juga arus yang posisinya lebih pada tempaan untuk menjadi kuat atau bisa lemah. Atau bisa juga sebagai serangan agar si individu ini mampu mempelajari naik-turunnya gelora yang harus dijalani. Seperti halnya bongkahan besi ditangan seorang empu, besi mengalami panas api lalu pukulan demi pukulan, kemudian dipanaskan lagi untuk dihantam dan dibenamkan ke dalam gelap yang dingin tapi hasil akhirnya besi ini menjadi tajam. Begitulah manusia.

Saya kembalikan lagi ke masalah kebebasan manusia, yang mana apabila diumpamakan kebebasan seperti air maka diperlukan adanya wadah untuk menampung air tersebut dan tidak meluber ke mana-mana. Kalau sebagian dari kita tidak setuju dengan keberadaan wadah ini, aspek internal juga bisa dipandang sebagai tanggul, seperti air mengalir di sungai menuju laut. Jadi faktor eksternal yang ada di luar individu tidak semerta-merta dipandang sebagai pengekang kebebasan namun lebih pada pengarahan.

Pengarahan ini diperlukan karena ada hak lain di luar diri individu yang harus diperhitungkan. Di luar diri individu juga ada hak-hak kebebasan lain dan di sini kita sebut dengan hak faktor eksternal. Tanggul bagi aliran air diperlukan guna pengarahan untuk menghindari kebersingungan dan pelanggaran pada hak faktor eksternal. Seperti halnya di atas, pelanggaran pada hak lain dapat mewujudkan adanya penindasan, kesewenang-wenangan, ketidak-beradilan serta ketidak-berkemanusiaan. Catatan dalam aktivitas penyampaian hak itu, bahwa hak kebebasan individu yang satu dibatasi oleh hak kebebasan indivu yang lain.

Saya melihat adanya hubungan yang saling berkesinambungan antara satu individu dengan individu lain dalam hubungan yang saling melengkapi dalam porsi yang dapat dipahamkan. Namun apabila faktor eksernal menjadi semacam kegiatan intervensi seperti yang Iksan Breykele sajikan maka akan menjadi hak individu untuk menerima (atau menghadapi) atau menolak dengan menghindar kebersinggungan. Manusia bebas untuk mengatur secara total pada dirinya sendiri selama tidak bersinggungan dengan faktor diluarnya.

Pemikiran seperti itu, menurut kawan saya, dikatakan sebagai kebebasan yang tidak bebas. Juga ada kawan lain yang mengatakan kalau manusia tidak ada yang bebas sepenuhnya, karena adanya nilai moral, norma, atau pun hukum yang harus dipatuhi dan ini menjadi pembeda antara manusia dan binatang. Dalam pembicaraan mengenai kebebasan itu akhirnya merujuk pada satu titik, manusia tidak ada yang bebas secara total karena kebebasan total melepaskan manusia dari dunia yang membentuknya. Saya menjadi teringat saat saya sedang bekerja di sawah dan tiba-tiba saat itu hujan deras bercampur angin yang riuh. Saya melihat ke sekeliling, ada burung di sana. Burung ini seringkali dijadikan simbol kebebasan oleh banyak kalangan, namun pandangan saya saat itu membuat saya menolak kalau burung memiliki kemerdekaan yang total.

Sosial dan Ruang Keterbentukan Manusia

Kolektif, perwujudan dari kondisi sosial masyarakat –keluarga dalam ruang lingkup terkecil. Manusia dalam pandangan sosiologis dan ini merupakan faktor alamiah adalah suatu moment dimana keberadaan manusia membutuhkan manusia lainnya atau mahkluk lain guna menopang kelangsungan hidup. Dan hal ini bukan kajian yang baru lagi, namun sudah secara kolektif disepakati oleh manusia.

Individu dan kolektif (sosial) adalah keberadaan yang saling mempengaruhi. Individu menjadi faktor yang ikut memberikan warna pada lingkungan kehidupan kolektif dan sebaliknya, dunia kolektif sebagai faktor yanng ikut mempengaruhi proses kebertumbuhan seorang individu. Keduanya berada di satu ikatan yang mana berguna untuk melahirkan bentuk yang secara familir kita sebut dengan kehidupan.

Marilah kita menyimak lagi “Intervensi” yang mana menjadi lebih menarik untuk kita perbincangkan ke dalam ranah keberhubungan kehidupan manusia dengan kehidupan di luarnya. Meski demikian, saya berpendapat kalau akan lebih tepat kalau tidak disebut sebagai kegiatan intervensi namun hubungan saling melengkapi yang keduanya berkegiatan untuk saling membangun satu sama lain. Satu sama lain saling mempengaruhi dalam proses penciptaan karakter masing-masing.
Sebab apabila kita melihat faktor diluar kita lebih berperan sebagai kegiatan intervensi, dengan sendirinya kita akan menempatkan dunia tempat kita hidup sebagai musuh. Sedangkan kita tentunya sepakat, kalau hakekat musuh itu destruktif, menghancurkan karenanya harus kita hancurkan. Membicarakan musuh manusia (individu) mengingatkan saya pada novel “Perang” karya Putu Wijaya. Melalui cerita pewayangannya, Putu Wijaya memberikan pengambaran mengenai peran musuh, melalui tokoh Semar yang mengungkapkan pada Bima, bahwa musuh menurut Semar sebagai alat pendidikan jiwa-raga. Penggambaran mengenai hakekat musuh manusia dijelaskan oleh Semar, bahwa sebenarnya musuh manusia adalah dirinya sendiri. Tidak ada musuh lain, selain diri kita sendiri.

Saya pun diharuskan mencari kemungkinan-kemungkinan lain, hal yang mana bisa menempatkan diri sendiri sebagai musuh bukan hal lain yang berada di luar manusia. Penempatan diri sebagai musuh, secara sebab akibat, saya anggap sebagai faktor akibat. Dan tidak ada akibat tanpa diawali oleh sebab. Musuh manusia adalah dirinya sendiri, adakah hubungan yang dapat memberi penjelasan mengenai hubungan faktor luar dengan faktor dalam manusia yang sampai-sampai menempatkan diri sendiri sebagai musuh bagi pribadi masing-masing? Dan apakah sisi internal manusia mendapat semacam intervensi dari luar sehingga mencuatkan kegiatan yang membawa diri sendir sebagai musuh bagi pribadi masing-masing? Dan saya yakin, kita memiliki jawaban untuk diri kita sendiri.

Untuk mengantar kita dalam memperoleh jawaban itu, ulasan Eknath Easwaran dalam bukunya “Dialogue With Death” pada bagian ketiga mengenai Kota Sebelas Gerbang layak kita simak. Secara sekilas saya coba paparkan, bahwa diri manusia (tubuh) sebagai sebuah kota. Tempat yang dikelilingi oleh benteng (mind) dengan sebelas gerbang yang berfungsi sebagai penghubung dengan dunia luar. Gerbang yang dimaksud adalah lubang-lubang (indera) yang ada di tubuh kita. Diri sejati berperan sebagai penguasa kota yang harus mengurusi keperluan kota demi kelangsungan hidup kota tersebut. Apabila penguasa kota lengah, hasilnya banyak penyusup (baca: musuh) yang masuk menjadi warga kota, menjadi bagian dari kota itu.

Nah, pada proses ini kita akan berhadapan kita akan berhadapan dengan musuh diri sendiri itu tadi. Musuh yang kita buat karena kelalaian diri sendiri, yang secara tidak sadar, intervensi dari dunia luar masuk dengan tanpa halangan. Masuk menjadi bagian dari diri si individu dan merongsong (merusak) dari dalam. Ini tidak lantas menjadikan dunia luar sebagai terdakwa dengan korban diri kita, akantetapi lebih terletak pada kesalahan diri sendiri yang tidak mampu mengembang sebagai penguasa bagi kehidupan pribadi kita. Kita sendirlah yang menciptakan musuh-musuh itu bersebab lalai dan terlalu bebas membuka pintu gerbang nafsu untuk menerima kedatangan rombongan kenikmatan duniawi yang mengetuk di depan pintu gerbang kita. Untuk itu, demi mengantisipasi kehancuran total diri sejati, kita harus memulai untuk bersikap sebagai penguasa yang teguh menjalankan pemerintahan, penguasa yang sehat tentunya.

Fenomena ini tidaklah lantas harus membuat kita menghindari kebersinggungan dengan dunia luar demi menjauhkan diri dari intervensi yang ada. Realitas yang ada di luar kita haruslah menjadi komponen yang secara sadar kita hadapi sebagai salah satu truktur pembangun. Keadaan realitas itu bagian yang harus dihadapi meski terkadang hadir sebagai tekanan, tamparan, penimpuan, intimidasi, pemaksaan bahkan berusaha membunuh kita. Karena ruang sosial berfungsi sebagai tempat dimana kita akan memperoleh bentuk dan jati diri. Di sana kita bersikap, berperilaku, berinteraksi untuk memunculkan nilai-nilai sebagai bahan pendeskripsian diri kita. Manusia tanpa ruang sosial akan sulit dipahami, abstrak, bersebab tidak ada permunculan yang disebut momentum nilai. Dan manusia yang berdiri dalam kekosongan tidak lebih dari sekedar artefak.

Pintu – Jalan Keluar, Pun Masuk

Apabila gerak laju hidup manusia dapat dipandang secara konkret, gerak laju itu seperti perjalanan kita menuju pada satu tempat ke tempat lainnya. Penggambaran ini, semisal saja dipandang sebagai perjalanan seseorang menuju ke toko, maka di sana kita akan menemukan pintu-pintu. Pintu yang akan saya bicarakan bukan pintu yang sebenarnya, lebih pada pintu maya dalam dunia ide yang menghubunkan antara dunia privat dengan dunia kolektif. Pintu maya ini biasanya berperan sebagai awal menuju fase perkembangan baru, sekaligus berarti menjadi akhir bagi fase perkembangan sebelumnya.

Iksan Breykele menciptakan model pintu yang tersendiri dengan judul “Isolasi Statis” yang termanifestasikan ke dalam tiga-dimensional selayaknya pintu dalam dunia realitas. Meski seperti menikmati hal-hal yang lebih realis (pintu secara nyata) namun kita akan dibawa pada ruang ghaib ke dalam dunia ide. Gagasan Iksan Breykele dalam “Isolasi Statis” dapat kita gunakan untuk media cermin diri, membaca diri sendiri melalui karya seni orang lain. Membaca diri untuk kemudian secara bersama-sama memahami, “Bagaimana dengan saya sendiri berhadapan pintu maya ini?”

Pintu, tidak lain hanyalah jalan masuk ke dunia yang dituju dan keluar dari dunia yang telah selesai kita nikmati. Namun meski demikian, peran pintu maya ini memiliki pengaruh yang penting, tidak sekedar keinginan untuk masuk dan keluar saja. Di sana ada proses yang dapat melahirkan persepsi, ketakutan dan juga harapan di saat yang seringkali bersamaan. Salah satu persepsi yang dapat ditemui, menafsir “Isolasi Statis” di sana ada tekanan hebat yang menyudutkan individu kita. Pintu maya ini sebagai tahapan awal, memasuki ruang baru yang mungkin saja di ada semacam keterasingan.

Menghadapi pintu maya membawa ke ruang jauh, dibawa pada gerak psikis dan membuat kita bertarung di dalamnya. Ini seperti di saat kita menghadapi suatu persoalan –secara umum, yang harus membuat keputusan. Kita berada di kebimbangan, misalnya saja kita menghadapi dua pintu yang salah satunya mesti dipilih. Keputusan kita sebagai gerak melangkahi daun pintu, di sana kita berhadapan dengan konsekuensi dari pilihan. Apabila keadaan di balik pintu sesuai dengan yang diharapkan, maka semuanya akan baik-baik saja. namun jika sebaliknya, ada masalah lain yang harus diselesaikan. Akantetapi, ini berada di laju gerak psikis kita dalam membuat suatu keputusan.

“Isolasi Statis” merekam dimensi waktu yang setiap orang pernah merasakannya. Memustuskan hanya untuk memasuki dunia yang penuh keterpenjaraan. Lagi-lagi, fenomena ini merenggut apa yang namanya kebebasan manusia. Melihat konsepsi ini, manusia akan merasakan hidup yang kaku, seolah-olah selalu merasakan kekangan demi kekangan merantai seluruh komponen hidup kita, dan hidup seperti ini sungguh tidak nyaman. Keterpenjaraan individu oleh kehidupan pribadinya sendiri dengan didukung oleh tembok-tembok gagasan kolektif yang menjulang tinggi. Sesiapa pun orangnya, akan mencapai tingkat depresi (ketertekanan) yang paling tinggi saat ingin menerobos tembok batu namun ia (si individu) sendiri menjadi batu. Keras dibenturkan dengan sikap keras, pihak yang lemah akan kalah dan hancur.

Untuk menghadapi pintu maya kita harus memiliki proses yang cair (maksud saya seperti air) untuk menghindari keterjebakan di ruang isolasi statis dan keterasingan. Bayangkan, aliran air ketika laju hidupnya dihalangi oleh tanggul yang tinggi, dia akan membelok. Kalau tidak dapat membelok air akan mengumpulkan kekuatan untuk menerobos. Sekali lagi, jika seluruh kekuatan yang terkumpul tidak mampu merobohkan tanggul itu, maka si air (individu) kita akan mencari ruang-ruang kemungkinan. Sekecil dan sesempit apa pun, air akan menggunakan kesempatan yang dimiliki untuk mengalir dengan sabar meski hanya berupa embun, tetesan-tetesan, atau bahkan melalui resapan yang lambat.

Subjektivitas Kolektif adalah Masyarakat Gagasan

Keputusan untuk memasuki pintu maya mengajak kita untuk berdiam di suatu wilayah yang baru –meski tidak sepenuhnya baru. Di sana ada kandungan yang saya sebut dengan masyarakat gagasan. Karena kita memasuki dunia kemasyaratakatan, meski hanya dalam tingkat masyarakat gagasan, teori sosiologi mengajarkan pada kita untuk memiliki kemampuan beradaptasi. Kemampuan adaptasi menentukan berhasil atau tidaknya kita sebagai anggota masyarakat, terlebih jauh lagi menentukan berhasil atau tidaknya kita dalam upaya bertahan hidup.

Dunia ini, dalam persepsi saya, hanyalah sebatas pada sebongkah kardus. Hidup kita tidak jauh berbeda dari katak, melompat-lompat. Dari kotakan (kardus) yang satu ke kardus yang lainnya, dari masyarakat yang satu ke masyarakat yang lain. Kegiatan perpindahan seperti ini menuntut kita untuk mencapai keberhasilan dari proses adaptasi yang baik, dan ingat pada pepatah “di mana bumi kita pijak, di situlah langit yang kita junjung”. Hal ini karena masyarakat gagasan awal pasti memiliki perbedaan dengan masyarakat gagasan yang baru.

Dunia sebagai bongkahan kardus, bahwa sisi-sisi kardus itu berefek selayaknya penjara yang membatasi aktivitas kebebasan manusia. Jikalau kita bertekat untuk tidak menghiraukan sisi-sisi kardus, kita pasti menerobos dengan hasil merusak tatanan struktur bangunannya. Ini menjadikan kita sebagai pelaku kejahatan dan penjahat pasti akan dikenai sanksi (hukuman). Elemen-elemen pola pikir masyarakat dan keumuman (kebenaran umum) membentuk jaringan kekuasaan yang harus kita hayati. Menjadi pilihan bagi kita, untuk menerima atau menolak dengan adanya konsekuensi-konsekuensi yang menyertai apa pun keputusan yang kita ambil. Konsekuensi ini hasil dari pelanggaran pada masyarakat gagasan yang sudah disahkan oleh para aktornya.

Tentunya kita sama-sama ingat, kalau pondasi hukum dalam kehidupan kolektif adalah adanya kesepakatan. Sedang proses pengambilan kesepakatan ini sendiri terjadi secara evolutif tidak melalui rapat dari aktor-aktor masyarakat gagasan. Meski demikian, hukum yang tercapai dilandasi oleh aspek moral, keagamaan, keadilan, serta kemanusiaan yang terwujud menjadi norma sosial.

Manusia dikurung dalam kolektivitas itu, entah ada individu yang suka atau tidak. Mau tidak mau, meski tidak memiliki perangkat hukum (perangkat paksaan hukum) misal ada individu yang tidak suka harus tunduk juga. Kolektivitas mengikat keberadaan individu itu sebagai bagian dari satu masyarakat gagasan. Individu yang seperti ini, jika tidak mampu beradaptasi akan mengalami benturan psikis pada dataran pribadi. Individu tersebut merasa sendiri dan terasing, tersudut oleh keyakinan kolektive (masyarakat gagasan) yang tidak dia yakini.

Apabila si individu tetap teguh pada kebenaran miliknya dan bersikap keras (melawan) disebabkan tidak mampu beradaptasi maka akan terjadi penghakiman tanpa melalui proses peradilan. Hukumannya berupa hukuman (sanksi) sosial yang sudah disepakati berdasarkan pada kasus yang pernah terjadi. Pada kondisi ini, sebelum saya pindah dari Bantul ke Banjarnegara, ada kawan yang menasehati demikian, bahwa dunia (masyarakat) seperti sungai dengan arus yang deras. Dasarnya ada pada kedalaman yang jauh, sulit untuk kita jangkau dengan kaki sementara kepala masih di atas air. Untuk menjadi anggota masyarakat, kita harus masuk ke dalamnya, ikut menjadi arus atau justru menjadi sebatang kayu (atau sampah) yang hanyut terseret arus. Namun dari dua pilihan itu, masih ada pilihan lain yaitu tetap berdiri sebagai pribadi yang lama.

Bagaimana caranya? Tanya saya saat itu. Masih juga ada dua pilihan, tetap di atas yang dengan kata lain tidak menjadi bagian dari masyarakat atau pilihan kedua, yaitu dengan terjun ke dalam arus namun jangan sampai terseret arus. Mengikuti arus namun tidak boleh terbawa arus. Saya mendapat pemahaman itu, yang akhirnya berhasil menjauhkan saya dari konflik gagasan (persepsi) antara yang saya yakini dengan yang masyakarakat yakini. Pun membawa saya terhindar dari tekanan hukum (subjektivitas) kolektif.

* * *

Saya kira, tekanan-tekanan yang muncul dari fenomena dunia kehidupan karya-karya N Iksan Breykele ini sebagai responnya atas keterbelengguan dirinya dari subjektivitas kolektif itu. saya melihat dimunculkannya gagasan agar kita ikut menolak, memprovokasi kita untuk ikut menjadi karang menahan gelombang (intervensi), agar terbebas dari apa yang namanya isolasi statis, keterpenjaraan pada dunia, atau pengasingan-keterasingan yang tidak kita sukai – agar kita bisa menjadi manusia merdeka sepenuhnya. Sekali lagi tapi, aspek keberhasilan untuk menjadi manusia yang mencapai kebebasan total belum saya temukan dalam lukisan-lukisan karya N Iksan Breykele ini. Mungkin saja nanti dihari yang lain.

Untuk terakhir kali, saya kembali memikirkan mengenai kebebasan total itu. jauh, semakin jauh justru yang saya ketemukan hanya rantai-rantai keterbelengguan yang menyusahkan. Namun di sana ada titik cerah, saya dapatkan solusi untuk mencapai kebebasan total dengan cara: Mati! Melalui kematian, jiwa akan lepas dari tubuh yang notabene hanyalah penjara itu sendiri. Lantas, seperti konsep hidup manusia Jawa yang seringkali terlintas begitu saja: “Mati sakjroning urip, urip sakjroning mati” Ini terdengar kiasan, namun ini bagi saya adalah realitas itu sendiri.

Banjarnegara, 15 Juni 2013

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun