Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Penyair Berlidah Setan

6 Desember 2013   19:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:14 78 2
Cerpen M.D. Atmaja

“Begitulah tipuan lelaki,” ucap Dhimas Gathuk sambil meletakkan sebendel kertas ke atas meja. Dia memandangku penuh curiga, menelisik jauh ke relung-reung terdalam hati.

“Siapa yang menipu, Dhi?” tanyaku sedih sebab tidak tahu, untuk apa pandangan Dhimas Gathuk, sedang aku tidak merasa menipu sesiapa pun.

“Berita,”

“Berita penipuan sudah biasa.” Sahutku cepat sebelum Dhimas Gathuk menyelesaikan omongannya.

Dhimas Gathuk diam, dia menatapku seksama, aku mungkin dia anggap buku yang mesti dibaca dengan cermat. “Kamu pernah jadi penyair, Ja?” pertanyaan aneh itu tiba-tiba melesat.

“Belum pernah berhasil, Dhi. Kenapa?”

Dhimas Gathuk menggeleng, “Tapi sudah berhasil nggombali perempuan kan?”

Kini aku yang diam. Dhimas Gathuk aku pandang baik-baik. Dia memang seperti buku, hanya dengan sampul yang seringkali berubah dan tidak menunjukkan bagaimana isi –pendalaman buku itu. Penyair –aku belum sempat berhasil menjadi penyair meski sudah berkali-kali menulis puisi dan membacakannya. Tapi soal ngegombal itu, ada hal lain yang tidak mengenakkan. Puisiku tidak berestetika rayuan kosong –atau terlebih lagi tipuan untuk berubah sesuai kondisi –layaknya bunglon yang meloncat dari dahan satu ke dahan lainnya. Estetika seni yang selama ini coba aku bangun adalah estetika kesadaran –menjadikan diriku sadar pada kehidupan, lalu untuk eling dan waspada.

Eling itu ingat, waspada ya waspada, sebagaimana pesan seorang Raden Ngabehi dari keraton Surakarta itu. Dan Gombal –apalagi kalau gombal-mukio, tidak mengajak pada estetika kesadaran. Estetika puisi gombalisme mengarah pada kesesatan –dan kesesatan lebih dekat pada tindakan setan. Aku tidak mau menjadi setan, meski aku ini manusia pendosa. Setidaknya, pendosa untuk dirinya sendiri dan tidak merugikan orang lain sebab yang merugikan orang lain itu –bukan lagi kawannya setan- tapi setan itu sendiri. Seperti koruptor yang mewabah di negeri tercinta ini.

“Kok diam, Ja?”

“Aku bingung, Dhi.”

“Lho tidak usah bingung, yang bingung itu tidak jujur.”

Aku mengangguk, “Masalahnya, aku belum berhasil jadi penyair, apalagi nggombal itu tadi, Dhi. Jadi mesti jawab apa? Lagian namanya gombal kok rasanya tidak pantes kalau dekat sama penyair.”

“Kenapa?”

“Penyair itu manusia yang mesti mensucikan jiwa, khatarsisme yang harus selalu dia tegakkan. Kebenaran dan kemanusiaan –terlebih lagi, Dhi, ketuhanan.”

“Tidak pantas kalau penyair berbuat yang tidak-tidak, apalagi melanggar hukum?”

“Hukumnya siapa dulu, Dhi!”

“Ada berapa hukum?” sahutnya cepat dan aku tidak langsung menjawab, malas mendebatkan hukum siapa dan hukum siapa, dan kelihatannya Dhimas Gathuk membaca kemalasanku ini. “Oke, hukum pemerintah.”

“Aku tidak paham, Dhi. Yang jelas, penyair tidak boleh menginjak-injak kebenaran, tidak boleh berlaku angkara dan merusak, terlebih lagi,”

“Merusak pagar-ayu?” sahut Dhimas Gathuk cepat, seperti halnya tadi.

“Tidak boleh merusak pagar ayu yang bukan haknya.” Sahutku dan Dhimas Gathuk mengangguk seolah memahami sesuatu.

“Kalau ada yang sampai merusak pager ayu itu, memperkosa, berarti dia bukan penyair?”

“Bagiku? Belum! Tidak layak menjadi penyair, meski puisinya sebagus lembayung senja, atau pemilihan kata-katanya semanis gula. Dia tidak layak, dia Cuma sebatas manusia dengan lidah setan yang menggunakan kata-katanya sebagai racun untuk orang lain.”

“Ya kali ini, aku sependat dengamu, Ja!”

“Memangnya ada apa, Dhi?”

Dhimas Gathuk tersenyum lucu, dia melemparkan kertas koran ke arahku. “Ada penyair yang memperkosa mahasiswi.” Dhimas Gathuk menegakkan punggungnya, “Memperkosa, cobak kamu pikir, Ja, Mem-Per-Ko-Sa. Namanya Perkosa itu memaksa, Ja. Ah, aneh-aneh saja.”

 Aku terpaksa menggaruk kepala. Berita itu aku baca perlahan-lahan, yang intinya seperti ini: Penyair kondang –memakai istilah kondang, telah memperkosa mahasiswi universitas terkemuka. Mahasiswi ini hamil 7 bulan dan baru berani melapor ketika si penyair dengan inisial SS [baca: Siji Srengenge] menggagahinya sampai hamil tanpa ada pertanggung-jawaban. Menurut dari pengakuan Kuasa Hukum korban, modus pemerkosaan penyair Siji [baca: SS] dilakukan di kamar kos-an saat korban menerima penawaran pemerkosa untuk membantu korban menyelesaikan skripsi.

Langit di barat memerah saat matahari merangkak menuju ke rahim bumi. Aku tidak tahu, penyair ini –penyair kondang, telah berbuat sedemikian nistanya dengan memanfaatkan studi sastra –budaya untuk memperdaya korban. Puisinya yang selama ini berbicara kemanusiaan ternyata tidak mampu mengajari hatinya sendiri untuk lebih menghargani kemanusiaan. Dan ternyata mulut penyair ini tidak lebih seperti mulut sampah koruptor yang berjanji memberantas korupsi sambil diam-diam merampok –bicara kemanusiaan namun menghewankan orang lain.

“Dia bukan penyair sejati, Dhi, dia –manusia SS ini hanya sekedar mengaku-aku Penyair dan sayangnya dia juga ber-Lidah Setan. Semoga Allah membakarnya dengan siksaan yang dua-tiga kali lipat ketimbang pemerkosa yang bukan penyair.”

“Tidak hanya lidahnya, kelaminnya mungkin juga kelamin setan, Ja!”

“Semoga kelaminnya dibakar dengan panas ratusan kali lipat.”

Banjarnegara, 06 Desember 2013

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun