Oleh M.D. Atmaja
Kehidupan kita merupakan suatu rekontruksi dua unsur yang keberadaannya sebagai satu kesatuan utuh. Unsur pembangun kehidupan kita ini dapat digolongkan ke dalam dua unsur dasar, yaitu material dan non-material. Unsur material adalah sisi-sisi keberadaan kita yang dapat diamati secara langsung sedangkan unsur non-material seringkali disebut dengan jiwa. Dalam masyarakat Jawa, kedua unsur ini seringkali disebut alam lahir dan alam batin. Dari dua struktur itu, bagi manusia Jawa alam batin merupakan realitas yang sebenarnya, yang seringkali mewujud dalam paradigma makro-kosmos dan mikro-kosmos.
Pandangan mengenai kehidupan yang terekontruksi ini bagi manusia Jawa merupakan rangkaian dari pemahaman akan hakekat hidup yang mana membawa pada rangkaian filsafat kehidupan manusia Jawa. Ide mengenai makro-kosmos dan mikro-kosmos dapat kita temui –salah satunya, dalam cerita pewayangan mengenai Dewaruci. Dalam cerita ini, yang mana mengenai perjalanan Bima untuk mencari air suci atau Air Perwitasari ke tempat-tempat yang jauh. Disebutkan tempat menyeramkan di tengah hutan lalu dari sana menuju ke tengah samudera.
Perjalanan Bima ke tengah samudra bertemu dengan Dewaruci yang memberinya penjelasan mengenai hakekat kehidupan. Dewaruci berbentuk seperti Bima, hanya saja tubuhnya kecil. Dewaruci bisa dibilang kembaran Bima hanya bertubuh kecil. Untuk mendapatkan air Perwitasari itu, Bima harus masuk ke dalam tubuh Dewaruci. Secara nalar, tidak mungkin akantetapi melalui suatu pemahaman yang penuh, Bima dapat masuk ke dalam tubuh Dewaruci. Di dalam tubuh Dewaruci, Bima menemukan tempat yang lebih luas, semesta seperti berada di dalam tubuh Dewaruci.
Antara alam lahir (tubuh) dan alam batin (jiwa) harus ada dalam suatu keterhubungan yang saling berkorelasi demi mencapai apa yang namanya kehidupan. Tubuh tanpa jiwa berarti hanyalah daging dan tulang, begitu juga dengan jiwa tanpa tubuh maka dia akan menjadi ruh atau bisa juga kita panggil hantu. Lalu pertanyaannya adalah, mana yang lebih penting, jiwa atau tubuh?
Kedua-duanya adalah hal penting namun dari yang penting-penting itu tentu saja ada hal terpenting yang kemudian kita jadikan skala prioritas untuk kita jalankan dalam kehidupan kita pribadi.
Ada pepatah yang sudah umum, kira-kira bunyinya seperti ini: “Dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat” namun apa pepatah ini bisa menjadi tolok ukur kebenaran pada masa sekarang? Berapa banyak orang yang memiliki tubuh yang hebat namun jiwa mereka justru terjerembab dalam kubangan lumpur kenistaan berwujud korupsi, penghianatan, kelicikan serta hal-hal yang didasari oleh faktor ketamakan dan keserakahan manusia. Jiwa yang kuat berarti jiwa itu sehat dan yang adalah jiwa yang memiliki prioritas akan kebenaran, keadilan, budi yang baik serta hal-hal lain yang mengedepankan nilai kemanusiaan dan ketuhanan.
Jiwa yang tidak sehat adalah jiwa yang lebih banyak dikuasai oleh hawa-nafsu (kenikmatan-kenikmatan tubuhwi) yang biasanya bersumber dari lubang-lubang pada tubuh manusia. Menuruti hawa nafsu membuat jiwa melemah dalam usaha mengendalikan sisi lahir manusia. Perlu kita pahami bahwa apa yang nampak pada aspek lahir merupakan ekspresi dari kondisi jiwa. Apabila jiwa sudah tidak sehat, maka yang terjadi adalah terjadinya aktivitas negatif yang mengejawantah dalam kehidupan realitas.
Oleh karenanya kita perlu menempuh jalan untuk membangun jiwa agar tumbuh dengan sehat. Cara yang dapat ditempuh adalah dengan mengembalikan otoritas jiwa untuk mengatur segala kepentingannya, memanfaatkan aspek lahir sebagai kendaraan bagi si batin. Prioritas batin ini yang muncul dalam nuansa karya seni yang garap N Iksan Breykele melalui pameran tunggal bertema “Reinkarnasi Kosmis”. Kelahiran kembali seluruh semesta alam yang ada di dalam diri manusia, ini merupakan konsep besar yang diharapkan dapat menjadi pencerahan.
Proses reinkarnasi dalam konteks ini bukanlah kejadian proses kematian kemudian untuk menjadi lahir kembali akantetapi lebih pada proses dalam usaha mencari kebenaran. Kita diajak untuk menggeluti ruang-ruang kontemplasi untuk menemukan kesepahaman kita mengenai apa arti dari hal yang benar menurut subjektivitas kita. Ruang kontemplasi itu biasanya terletak di dalam dunia batin setiap manusia, sebab dunia batin itu memuat keseluruhan realitas bahkan mencapai apa yang namanya suatu kompleksitas-kompleksitas yang mungkin saja tanpa batas.
Proses mencari adalah bagian dari perjalan hidup, saat dimana kita berkontemplasi atas apa yang sudah terjadi, atau apa saja yang ada di dalam ide kita. Kontemplasi terbesar manusia adalah disaat berusaha untuk memahami hakekat mengenai asal-usul dan akhir dari perjalanan (sangkan paraning dumadi). Dalam kegiatan ini, kita akan berhadapan dengan diri kita, realitas sejati yang muncul dari sanubari.
Memasuki ruang kontemplasi, seperti memasuki ruang labirin teka-teki. Membutuhkan kebulatan tekat, kesungguhan hati dan kalau tidak justru di dalamnya kita akan mengalami stagnasi. N Iksan Breykele mereduksikan perjalanan yang penuh hasrat, namun juga menyadari adanya faktor-faktor lain yang menganggu perjalanan manusia. Terlihat dalam karya berjudu “Koma” dimana kita berhenti sejenak dalam kelelahan pencarian bercampur dengan kebingungan akan eksistensi.
Dalam proses perjalanan untuk menemukan jati diri, menjadi sangat mungkin sekali pada proses awal untuk kehilangan jati diri. Tersesat sebelum menemukan jalan keluar yang membawa pada padang sabana yang luas. Kehilangan jati diri atau ketersesatan ini lahir justru disaat proses pencarian kita diliputi oleh berbagai keraguan dan jiwa kita melemah sampai akhirnya menyerah pada godaan di tengah jalan. Perlu kita ingat, perjalanan menemukan jati diri bukanlah perjalanan yang sunyi namun adalah perjalanan yang ramai bersebab adanya banyak godaan. Seperti disaat kita berpuasa.
Melalui “Koma” N Iksan Breykele berbagi pada kita sebagai kesempatan untuk kembali membulatkan tekat, mengumpulkan semangat dan mengeliminasi segala gangguan yang mengganggu perjalanan. Koma bukan akhir dari perjalanan atau masalah yang besar, namun lebih pada saat dimana kita meluangkan waktu sejenak untuk beristirahat untuk kembali berjalanan. Esensi dari koma adalah untuk menyelamatkan kita dari stagnasi. Koma adalah proses berhenti namun di dalamnya masih terdapat pola perjuangan, menjadi kesempatan berpikir yang penuh arti, sedangkan “Stagnasi” dapat dikatakan sebagai kemandekan yang memprihatinkan.
Kita perlu melakukan persiapan besar untuk mencapai apa yang namanya reinkarnasi kosmis. Meski ini adalah kegiatan batin, akan membawa kita pada perjalanan panjang yang lebih melelahkan ketimbang perjalanan badaniah. Melalui perjalanan ini kita akan menemui bagaimana proses kehidupan manusia berlangsung. Kita akan menemui permainan takdir yang seringkali membuat kita lemah, bosan, marah, sedih dan tentu saja bahagia. Hidup manusia adalah hidup yang beralur dalam setting yang berbeda. Waktu menjadi setting terbesar bagi kita. Pergantian jam merupakan pergantian setting (latar belakang) dan karenanya membawa pada putaran nasib yang berbeda.
Dunia kehidupan kita selayaknya labirin, dengan nasib manusia yang bagai kotak-kotakkan misterius dan kita hakekatnya melompat-lompat dari kotak satu ke kotak selanjutnya. Di kotak pertama mungkin di sana ada bunga Mawar, namun bisa juga di kotak kedua hanya ada duri yang selanjutnya di ruang berikutnya ada ruangan hampa. Kita bisa menemukan ini dalam “Diferensi” yang meggambarkan seorang tokoh berada dalam kotakan yang berbeda-beda.
“Diferensi” dapat kita pandang sebagai roda nasib manusia oleh karenanya kita harus memahami hakekat dari nasib itu sendiri. Mencapai reinkarnasi kosmis dengan demikian kita mencapai apa yang namanya sikap besar hati dan penuh dengan rasa terima kasih dalam menerima alur takdir. Susah atau senang, takdir itu muncul harus kita hadapi sebagai manusia besar dengan menganggap bahwa apa pun yang terjadi di hari demi hari adalah proses untuk membuat kita mencapai sesuatu yang besar sehingga kita tidak perlu bersedih hati dalam menghadapi setiap takdir.
Menerima takdir dengan rasa bahagia menjadi satu catatan untuk dapat mencapai reinkarnasi kosmis sebab dengan demikian, kita bisa mengendapkan apa pun untuk kita nikmati. Hidup menjadi tidak berat tapi perjalanan yang menyenangkan. Tidak ada rasa sakit atau kesedihan yang dapat menjatuhkan manusia yang telah mengalami apa yang namanya reinkarnasi kosmis. Kehidupan manusia seperti ini akan berjalan bahagia seperti apa pun yang Tuhan berikan untuknya.
Memahami alur nasib juga dapat menghantarkan kita untuk menahan dari menikmati kesenangan yang sementara. Ingat metamorfosisnya Kupu-kupu? Selama apa si ulat menanggung kesunyian dalam kesendiriannya yang panjang, selama apa si ulat menjauhkan diri dari menikmati hal-hal duniawi yang fana dan banyak sampai akhirnya lahir sebagai Kupu-kupu yang cantik. Jalan reinkarnasi kosmis bisa kita ibaratkan seperti perjalanan ulat untuk menjadi Kupu-kupu dan tentu saja itu bukan jalan yang mudah. Melalui jalan ini jugalah kita dapat memahami siapa kita, bagaimana dengan asal-muasalnya dan kemana arah perginya yang harus kita tempuhi dengan jalan yang seperti apa.
Pameran tunggal N Iksan Breykele dengan tema “Reinkarnasi Kosmis” ini memuat banyak sekali pemikiran-pemikiran filsafati bahkan lebih lagi menuju pada fase-fase sufistik. Memahami lukisan-lukisan yang dipamerkan akan membawa kita pada pengalaman-pengalaman dunia kehidupan yang menyegarkan dan sekaligus mencerahkan. Karena karya seni tidak sekedar memberikan hiburan namun juga pengajaran, semoga kita semua mendapatkan pengajaran itu dan menikmatinya. Untuk N Iksan Breykele, selamat berpameran dan untuk seluruh pengunjung selamat menikmati dunia kehidupan yang disajikan N Iksan Breykele.
Banjarnegara, 16 Oktober 2013