Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Realitas, Harapan, dan Kenangan Melalui Novel “Kunang-Kunang di Wajah Perempuan”

8 Desember 2012   16:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:59 314 1

Oleh M.D. Atmaja

Dalam gejala realitas, acapkali manusia berhadapan dengan berbagai macam kondisi hidup yang berada jauh dari apa yang sudah ditimbun menjadi rencana dan harapan. Kondisi ini menuntut serta memberikan dorongan bagi individu untuk ikut bersesuai diri dengan realitas yang dihadapi. Beginilah suatu kinerja hidup manusia, dimana lingkungan ikut berperan dalam mengkondisikan diri individu, kemudian membangunnya, kemudian menjadikannya sebagai nilai dari jati diri.

Saya sebagai individu, sebagai anggota lingkungan masyarakat dan sebagai penulis, dipijakkan ke dalam dimensi-dimensi ini. Bentuk manusia sebagai mahkluk sosial, terbentuk dan terpengaruh secara sosiologis. Dari keadaan seperti ini, saya mengerti secara langsung, bagaimana pengertian mengenai pendapat bahwa sastra tidak diciptakan dari suatu kekosongan budaya sebagaimana pendapat A Teeuw, sastra dibentuk oleh budaya hidup penulis, sehingga dalam karya sastra, masyarakat, kondisi realitas, serta ritme kebudayaan ikut menjadi motor penggerak dalam suatu penulisan.

Begitu juga dengan kondisi saya dalam mengkreasikan novel “Kunang-Kunang Di Wajah Perempuan” (2012, SDS Fictionbooks Studios), di sini adalah sebagai gerak kontemplasi dari pengalaman-pengalaman dunia kehidupan yang saya alami. Novel ini sebagai pengungkapan perasaan pribadi terlebih jauh lagi menjadi pengungkapan perasaan masyarakat –secara langsung dan tidak langsung. Pernyataan ini tidak mengacu pada teori, namun keadaan yang mempengaruhi saya dan terbangun menjadi novel KKDWP ini.

Novel sebagai pengungkapan perasaan pribadi dan masyarakat –yang tidak sekedar pengutipan khasanah sosilogis sastra- bahwa melalui novel ini, saya berusaha memunculkan gejala dari kehidupan. Fenomena ini dapat saya katakan sebagai pandangan dunia kehidupan penulis yang tertuang dalam karya sastranya.

Aktivis yang jatuh cinta, perasaan cinta Lingga adalah penggambaran hidup dan hasil dari interaksi manusia. Individu yang berada dalam lingkungan gerakan (organisasi) meskipun berada di tengah lingkungan khalayak yang banyak, dia memiliki suatu nuansa kejiwaan yang terasing. Mimpi besar mengenai perubahan sosial –apalagi berpaham “kiri”- keterasingan itu semakin menjadi kungkungan yang kokoh. Kegiatannya dalam interaksi sosial cenderung menampilkan pemalsuan karakter, bahwa apa yang ditampilkan pada lingkungan tidak murni sebagaimana karakter pribadinya.

Kondisi individu seperti Lingga ini menunggu suatu momentum dimana dia merasa mendapat kesempatan untuk mengisi keterasingannya dengan kehidupan, yang saya sebut dengan cinta. Fenomena jatuh cinta ini dilatar-belakangi oleh beberapa faktor, yang menurut saya dari penampakan-penampakan interaksi, yaitu: bagaimana pola pikir, pola hidup, serta karakter masing-masing individu yang dapat mendukung terjadinya proses jatuh cinta. Dunia organisasi akhirnya menjadi semacam wadah dalam menemui faktor-faktor ini. Tidak jarang kita mendapati laki-laki perempuan dalam satu payung organisasi menjalin hubungan serius, entah itu sekedar pacar atau sampai menuju ke pernikahan. Saya tidak mengatakan kalau organisasi sebagai tempat pertemuan jodoh, oleh sebab itu, Lingga saya pertemukan dengan Dewani yang berada di luar organisasi Kamma, bukan Lisa atau Citra yang memiliki kesempatan lebih dekat.

Melalui novel KKDWP ini, saya juga menyusupkan deretan harapan yang teruntuk diri saya sendiri, dan sekaligus saya menawarkan harapan itu kepada khalayak pembaca. Harapan apa? Salah satunya adalah adanya ada terang setelah gelap, menemukan jalan setelah tersesat, menemukan orang setelah terasing dan kesepian. Harapan yang coba saya tawarkan berkisar –meminjam istilah Pramoedya- adalah gerakan dari minus ke plus untuk mencapai suatu ragangan kehidupan yang tertata baik sesuai dengan kaidah hidup yang ideal. Gerakan minus ke plus ini sebagai perubahan hidup manusia yang di dalamnya memiliki faedah nilai untuk kehidupannya yang hari ini (dunia) atau besok (akhirat).

Harapan-harapan itu, saya munculkan melalui kesentralan tokoh Lingga, salah satunya, perjuangan manusia yang dilakukan secara berkelanjutan dan didasari dengan keyakinan akan membuahkan sesuatu buah yang manis. Penggambaran ini saya manifestasikan ke dalam pemikiran yang sederhana, Lingga sebagai selingkuhan yang berjuang terus sampai akhirnya mendapatkan Dewani, pemikiran yang sangat pop di dalam dunia percintaan. Bahwa secara umum, perjuangan manusia harus dengan keyakinan, doa manusia yang tanpa keyakinan merupakan omong-kosong yang tidak ada gunanya.

Selanjutnya, gerakan minus ke plus Lingga dari dunia yang gelap menuju ke terang dalam menempuh jalan lurus yang Tuhan tawarkan pada manusia. Dari sosok tokoh, yang saya katakan semi-tidak percaya menuju pada percaya. Saya berharap, melalui kejadian-kejadian yang terjadi, dalam realitas kita, dapat mengantarkan pada pemahaman, bahwa melalui tragedi ini, kenikmatan ini, Tuhan sebenarnya sedang menggerakkan kehendak manusia untuk menuju pada perubahan. Tentunya perubahan dari minus ke plus, juga bisa sebaliknya. Saya membayangkan, bagaimana Lingga (dan saya sendiri) ketika terus menerus melakukan suatu kejahatan personal, tiba-tiba tamu yang dekat itu datang.

Tamu yang dekat itu kematian! Bagaimana keadaan dan penyesalan di hari kelak? Saya menghadirkan Dewani untuk menjadi perangsang bagi Lingga untuk memahani lajur kehidupan manusia. Ada akibat, pasti ada sebabnya, sehingga Dewani adalah sebab dengan hasil membuat Lingga kembali menempuh jalan lurus yang dipesankan orang tua.

Harapan ini bisa dikatakan, bahwa sebelum saya dan kita mati, Tuhan memberikan penunjukan jalan, yang ditangkap melalui kesadaran manusia untuk berbenah, membersihkan yang kotor juga menambahi yang kurang. Hidup ini suatu jalan pengajaran melalui gejala-gejala yang harus kita jalani.

Novel ini merangkum kenangan saya, sebagai penulis secara pribadi dan juga sebagai mahkluk milik masyarakat. Bantul diguncang gempa, saya kehilangan banyak hal, masyarakat lain juga kehilangan banyak hal, kota Bantul juga kehilangan yang tidak sedikit, bersama dengan Yogyakarta. Ini suatu fase bencana yang menjadi pena sejarah.

Gempa Bantul, bagi saya dalam novel ini tidak sekedar setting. Bencana Gempa yang merenggut hidup Dewani dan Jayengresmi adalah momentum nilai yang mana mengajak Lingga (dan pembaca) untuk merenung mengenai perjalanan hidup manusia, sesungguhnya bagaimana dengan kematian, babak baru dalam perjalanan yang belum kita ketahui. Kenangan untuk mengingat bahwa kematian itu dekat dapat membuat diri manusia merapat ke dalam keheningan dan cinta kasih pada manusia dan Tuhan.

Pemahaman akan kematian, bahwa manusia ibarat pergi bermain dan manusia yang pergi dipastikan pulang, lantas pulangnya ke mana? Di bawah pohon Semboja, suatu pemikiran Jawa yang membuat saya merenung. Bencana saya pergunakan untuk memunculkan momentum nilai tersebut, guna membicarakan kematian dengan relevan. Melalui posisi Jayengresmi yang sebenarnya sudah menjadi Halus (roh) membimbing Lingga untuk memandang kematian dengan baik, sesuatu yang “tidak dapat dikalahkan manusia”. Melalui novel “Kunang-Kunang di Wajah Perempuan” ini, saya mengajak pembaca untuk mengingat tamu yang dekat, mengingat dunia seketika dapat hancur dan lebih merenung lebih dalam untuk berbuat.

Demikian, penggambaran singkat saya selaku penulis, semoga novel “Kunang-Kunang di Wajah Perempuan” dapat memberi manfaat bagi kehidupan. Terima kasih. Segala puji bagi Allah Tuhan Semestas Alam, Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

Rumah Kantor Jurnal Biro Khusus Sarekat Sastra Indonesia – Bantul,

8 Desember 2012

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun