Sebenarnya, aku telah lelah untuk berkendara. Memacu angin yang mengendus muka bumi sambil bernyanyi. Hidup tidak seceria itu. hidup itu hening, tidak seceria itu. Hidup seperti pemujaan, tidak seceria itu. Dan aku menjalani sebagai pengendara bersama nyanyi yang terkadang pilu. Terkadang juga sendu. Meski, juga pernah aku dengar keriangan. Mengucur kebahagiaan penuh sampai cawan tanah ini tidak mampu menampungnya. Manis dan pahit, berirama dalam nuansa yang menyegarkan.
Perjalanan kali ini, didorong rindu. Menyeruak, memaksa hati untuk melaju di atas gundah. Akankah aku temui langit yang seperti dahulu? Atau pelangi berbias warna yang indah? Entahlah. Aku tidak berharap semua masih berada di tempatnya sedang, diriku ini telah melaju jauh meninggalkan semuanya menjadi kenangan. Bukan aku yang menginginkan, tapi waktu yang memaksaku seperti itu. Terus bergerak menciptakan kenangan, yang terkadang tidak mau aku kenang.
Seperti itu bukankah hal yang aneh. Aku bergerak mencatat kenangan tapi tidak mau membacainya sendiri. Ada yang terlalu pahit, membuatku pingsan. Pula, ada yang terlalu manis sampai membuatku muntah.
Di tepian pantai yang gersang, aku hentikan perjalanan untuk sejenak. Langkah kaki ingin sekali menginjak lautan. Berdiri di atas dermaga yang belum jadi. Konon, di wilayah ini kelak akan ada pelabuhan internasional. Menjadi pintu gerbang bagi kota kecil yang sebagian penduduknya petani dan nelayan pada wajah dunia. Pernah aku berpikir, apa gunanya pelabuhan internasional untuk petani dan nelayan? Toh, mereka tidak cukup punya uang untuk berinteraksi dengan mereka yang datang dari seantero bumi.
Pelabuhan ini juga yang kelak akan menggusur ratusan petani untuk pergi. Mau apa lagi kalau tidak pergi, tanah mereka di tepian pantai yang konon hanya magersari harus rela ditinggalkan. Rakyat yang hanya punya cangkul harus menghadapi kapal-kapal besar, pesiar, perdagangan. Apa yang harus mereka lakukan? Apakah harus menjadi buruh? Tetap buruh? Ah, seharusnya seorang raja lebih bisa bijak menghadapi rakyat bercangkul dan jaring rapuh yang selama ini telah mendukungnya sebagai raja.
Di atas benteng beton yang terus diserbu ombak, aku menemukan seorang lelaki. Duduk di pemecah ombak, menggelayutkan pandangan ke cakrawala. Pandangannya jauh. Seolah ingin menggapai dan melukis cakrawala dengan impiannya. Lelaki itu kurus, guratan wajah begitu pucat aku saksikan. Tapi sebentar, ia seperti aku kenal. Jauh dalam senyuman indah di masa silam ketika rambutnya tergerai keriting panjang dan kibaran bendera merah diikatkan di leher.
Benar! Ternyata memang benar aku kenal. Lelaki yang dahulu. Orang yang menghardikku dengan keras bersama pukulan dari tangan kiri yang lebih ampuh. Memaki habis. Menghabiskan diriku.
“Din?” panggilku dan dia langsung menoleh cepat.
“Hey,” dia kaget nama lama dipanggil namun aku yakin, dia pasti lupa dengan namaku.
Din, begitulah kami dulu memanggilnya. Manusia pemimpi yang dalam gelak tawa ingin menjadi aliran baru. Bertengger di atas isme-isme yang telah ada. Saat itu, dia benar-benar berusaha dengan keras. Belajar menyelidik, berdiri sendiri sampai muncul dalam irama tersendiri. Tidak mau terseret arus zaman. Mungkin, kita akan menganggap semua sikapnya itu sebagai kesombongan. Dia tidak melarang mendakwa dirinya sombong. Tetap tersenyum ringkas, seperti mimpinya. Isme itu teramat ringkas aku rasakan sekarang. Dan aku tahu, begitu juga dengan dirinya.
“Lama tidak bersua, Kawan. Bagaimana kabarmu?” tanyaku, ikut duduk di sampingnya.
“Berusaha untuk tetap bergerak. Ombak ini, terus saja bergulung meski ada batu atau tajam karang menghadang. Tidak ada protes. Aku juga tidak mendengar keluhannya. Bergerak dan terus merangsek ke depan.” Aku lihat senyumannya, sudah berbeda. Kini lebih sederhana. “Kamu?”
“Aku? Heh, idem, Din. Tidak ada bedanya.”
“Aku sedang belajar.” Ucapnya lagi, menikmati lautan dan langit. Di sana ada cakrawala. “Teruslah meraih kesempatan sebelum waktu mendesak, sebab ia seperti jatah air. Kita menenggaknya setiap hari. Pasti habis. Aku dijadikan murid di sini. Meski merasa sesuatu itu terlambat, tapi ternyata tidak. meski tinggal sekedip mata.”
“Masih dengan impianmu yang dulu, Din?”
“Masih. Meski di ambang batas hidup. Terus aku bermimpi.”
Aku mencium sesuatu di udara namun tidak dapat aku terjemahkan. Entah, itu kedukaan atau justru kepasrahan hidup yang gemilang. Angin yang lewat menjadi penuh dengan teka-teki. Pertemuan yang janggal di saat yang tidak aku duga. Ia begitu sering berkunjung ke pantai ini. Menatap ombak yang pecah. Berhamburan ke udara. Sabahat lama itu, menerima dengan wajah kurus dan pucat. Benarkah kabar itu?
“Kadang kita terlalu resah dengan hidup yang penuh ketidak-pastian.” Ucapnya pelan, pandangannya tetap jauh ke cakrawala. “Aku cukup tenang, kematian itu begitu pasti. Kepastian.”
Aku tidak bisa mengatakan apa pun. Selain menepuk bahunya yang lebih kurus dari lima tahun yang lalu. [Catatan Perjalanan | Dhian Hari M.D. Atmaja]
05 Juni 2011