Menjalani hidup di zaman modern, dihadapkan pada permasalahan yang begitu pelik. Menemukan tidak hanya satu, namun lebih banyak lagi kompleksitas yang harus dipahami untuk membuat suatu keputusan tertentu. Karena kondisi yang akhirnya menjadi super pelik itu, saya musti berhati-hati dalam mengambil langkah. Menimbang setiap persoalan yang ada untuk menimbang – tidak sekedar mengenai untung dan rugi, lebih jauh lagi menyangkut pengumpulan modal untuk perjalanan hidup selanjutnya. Itu pun, kalau kita masih mempercayai adanya perjalanan setelah kehidupan hari ini.Seringkali saya diingatkan akan sebuah syair (ramalan), “Dilalah kersa Allah, begja-begjane kang lali, luwih begja kang eling waspada” (Ranggawarsita, “Serat Kalathida”). Syair itu membuat saya tidak lelah untuk terus berlaku dengan apa adanya sambil terus berusaha memahami. Kalau ada kesalahan dimaklumi saja, karena banyak orang masih memandang saya sebagai manusia yang belum “ngerti” sehingga kesalahan itu cukup dimaklumkan. Tidak lelah untuk terus membenahi diri agar lekas menjadi “ngerti” meskipun terkadang terjatuh dan tertatih ketika bangkit.
Jatuh? Tidak mengapa, dalam film Batman dikatakan, “Kenapa kita harus jatuh? Karena biar kita belajar untuk bangkit!” (saya kutip bebas). Dalam perjalan itu, saya pun memahami arti dari gerakan “Realisme-Sosialis” yang mengusung pemikiran untuk “turba” atau turun ke bawah, yaitu sebagai gerakan untuk kembali menyimak sejarah kehidupan manusia (Pramoedya dalam Kurniawan, 2002: 7). Gerakan “turba” selain diinterpretasikan sebagai suatu pemahaman akan keberadaan realitas sejarah, juga dapat dipandang sebagai penempatan diri untuk menjalankan prinsip kerakyatan.