04:15, saat irama Subuh berkumandang membelah kesunyian malam Hartanto terbangun. Adzan mengalun menyusuri remang-remang, menyusuri aspal-aspal yang dingin, rumah-rumah yang masih sepi, merasuk ke batin dan membangunkan orang untuk segera bangun dan bersembahyang. Semalam, Hartanto berteduh untuk sejenak di serambi masjid di daerah Sosrowijayan. Perjalanannya yang panjang dari Cangkir membuat nafasnya tersengal dan bercucuran keringat di malam yang dingin. Kemudian Ia pun memutuskan untuk sejenak berbaring dalam dahaga kantuk yang begitu hebat. Setelah muadzin selesai mengumandangkan adzan, Hartanto mengambil air wudhlu yang kemudian berdiri berjajar dengan jamaah masjid yang lain. Satu jajar tanpa tingkatan berundak. Ia berada di tengah-tengah para santri, tukang-tukang becak, orang-orang biasa, atau pendosa seperti halnya Hartanto sendiri. Bukan, ia tidak berada di dalam golongan yang bermacam-macam. Namun, ia berada di tengah-tengah saudaranya. Saudara se-agama yang diikat tanpa hubungan darah.
KEMBALI KE ARTIKEL