Trend kemenangan ini akan tetap berlanjut dan bahkan membesar pada putaran ke II apabila Jokowi-Basuki bisa menjaga diri, momentum dan spirit. Kesalahan sedikitpun yang dilakukan oleh pihak Jokowi-Basuki akan menjadi malapetaka. Apalagi kalau terjadi bencana politik (baik direkayasa ataupun tidak) terhadap pasangan Jokowi-Basuki, maka yang terjadi adalah anti klimaks. Semoga tidak terjadi.
Hasil (quick count) pilkada I menggambarkan kekuatan atau perolehan dukungan masing-masing kandidat:
Foke-Nara: 34.32%, Hendardji-Riza: 1.88%, Jokowi-Ahok: 42.59%, Hidayat-Didik: 11.40%, Faisal-Biem: 5.07%, dan Alex-Nono: 4.74%.
Kalau kita analisa (tetapi analisanya yang sederhana saja, tak perlu rumit-rumit atau ilmiah karena analisa yang ilmiah-ilmiah ternyata gampang diatur untuk menguntungkan yang membayar), mayoritas rakyat Jakarta, totalnya 63,68%, butuh Gubernur baru yang mampu membawa perubahan dan perbaikan, yang mampu merangkul semua lapisan masyarakat menikmati "Jakarta Baru" bersama-sama tanpa diskiriminasi.
Dengan kata lain, hanya 34,32% dari pemilih DKI yang mendukung status quo.
Pada pilkada putaran I, suara yang menuntut perubahan sudah jelas sebesar 63,68% meskipun tersebar pada 5 pasangan calon selain Foke-Nara. Artinya Jokowi-Basuki yang membawa spirit perubahan untuk Jakarta memiliki kans sangat besar dan mudah untuk memenangi pilkada putaran ke II. Tetapi bila ternyata hasilnya berbeda, patut dipertanyakan inkonsistensi prinsip dan semangat perubahan dari para pemilih HNW-Didik, Faisal-Biem, Alex-Nono dan Hendardji-Riza.
Pada putaran II, pilihan tinggal tersisa dua pasang: Foke-Nara dan Jokowi-Basuki.
Yang harus dilakukan oleh para pendukung Jokowi-Basuki untuk menghadapi putaran ke II adalah bagaimana menjaga suara perubahan tersebut agar tidak menguap, merangkulnya dengan simpatik dan menyuntikkan spirit kebersamaan untuk "Jakarta Baru" kepada semua kalangan sehingga akan terulang kemenangan 'telak" Jokowi-Basuki di putaran I ini pada putaran II.