Tarian laba-laba yang sedang menenun jaringnya tersebut tiba-tiba menggerakkan kesadaranku. Alangkah sulitnya menenun jaring kala angin mengganggunya. Menenun jaring butuh ketekunan, dan aku ada dalam suasana yang sama dengan laba-laba tersebut. Aku sedang merajut konsep, pemahaman, dan pemaknaan tentang hal-hal teoretis maupun empiris yang dihadirkan dalam buku, jurnal, artikel, dan realitas kehidupan ini. Sama seperti laba-laba tersebut yang merajut jaring sendirian tanpa teman, aku pun lebih sering menghabiskan waktu sendirian. Bukan hal yang aneh bila aku mulai tampak meracau sendirian - berbicara dengan diri sendiri - seakan kepalaku terdiri dari dua bagian. Bagian kanan menjelaskan suatu konsep atau pemahaman tertentu, dan bagian kiri menyanggahnya. Atau sebaliknya.
Tidak berlebihan bila idealnya, sebuah proses belajar semestinya ditempatkan pada konteks sosial. Artinya ada teman yang diajak untuk beradu pendapat, saling mengritisi satu sama lain. Namun, suasana ideal tersebut lebih sering merupakan gagasan utopis yang terbang terlalu tinggi di awang-awang. Tentu saja, mau tidak mau aku mesti berani kembali pada diri sendiri.
Laba-laba yang kesepian, dan beberapa kali tergoyang-goyang oleh desakan angin itu, sepertinya menjadi teman yang tepat bagiku dalam suasana seperti ini. Akupun merasakan goncangan-goncangan yang mirip. Dalam hitungan 16 hari lagi, aku akan kembali dan pulang ke Jogja. Setelah sebagian besar dari waktu tiga tahun terakhir ini aku hidup jauh dari keluarga, rasanya kembali bersama-sama lagi dengan keluarga menjadi sensasi tersendiri. Mau tidak mau suasana ini menimbulkan goncangan. Tidak mudah untuk tetap fokus pada pekerjaan, sementara hati ingin segera kembali bersama keluarga. Sementara sebagai manusia, aku tidak terlepas dari hukum ruang dan waktu - yang mengharuskanku menjadi lebih sabar lagi tentu saja.
Lima belas menit telah lewat. Laba-laba itu akhirnya tampak diam. Selesai sudah dia merajut jala kehidupannya. Goncangan angin yang tampak menantang berhasil dia atasi. Dia tidak sampai terlempar jatuh ke bawah. Terbersit keyakinan, aku pun akan berhasil melewati goncangan-goncangan dalam hidupku.
... seiring dengan turunnya gelap, aku pun kembali merenungkan apa yang tertulis di layar komputer depanku ...
... Thomas Kuhn menerbitkan karya klasik berjudul The Structure of Scientific Revolution pada tahun 1962. Dia merupakan orang pertama yang melahirkan konsep paradigm shift. Menurutnya, kemajuan ilmiah tidak terjadi secara evolusioner, tetapi lebih merupakan serangkaian interludes atau potongan-potongan yang diperkuat oleh revolusi intelektual yang kasar. Dalam revolusi macam itu, satu cara pandang konseptual tersisih dan digantikan oleh yang lain. Sebuah paradigm shift merupakan perubahan cara berpikir. Ini merupakan revolusi, transformasi, semacam metamorfosis. Ini tidak akan terjadi secara ala kadarnya, karena pasti didorong oleh agen-agen perubahan yang ngotot memperjuangkan konsep barunya ... Dan pandangan ini berbeda dengan keyakinan umum pada era 1960an yang memandang bahwa perkembangan ilmiah adalah evolutif, dan terbentuk melalui terakumulasinya pengetahuan. ....