“Ah, Rio memang tidak mendengarkan ya kalau dikasih tahu,” Bapak bergumam. Namun Bapak tidak marah. Anak memang tidak bisa sekedar diberi perintah dan patuh begitu saja. Anak selalu dipenuhi dengan hal-hal yang baru dan rasa ingin tahunya tidak pernah kering.
“Kalau Rio masih mau bermain, kenapa tidak sekalian membuat istana pasir saja?” Bapak menantang Rio.
“Istana” Apa itu?” tanya Rio. Bagi Rio, kata istana masih baru.
“Kita lihat saja nanti.”
Dengan empat ember air, tanah berpasir yang kering nan berdebu itu pun jadi lembek dan mudah dibentuk. Bapak dan Rio asyik bermain. Rio berhasil membuat satu gunung berapi.
“Ini Gunung Merapi,” suaranya meledak, “dan ini tempat keluar apinya.”
“Maksudmu, crater tempat keluar lava,” Bapak menyahut. (waktu nulis ini, aku lupa istilah kawah!)
Rio juga selesai membuat jalan. Bapak juga tidak mau kalah. Bapak menyelesaikan satu colloseum – tempat pertunjukkan model Romawi. Tidak hanya itu saja, Bapak juga menyelesaikan satu piramid. Bagi orang-orang Mesir kuno, bangunan piramid digunakan sebagai makam para raja. Setelah lebih dari setengah jam bermain tanah berpasir, Bapak dan Rio duduk sebentar, mengagumi hasil karya mereka. Tidak lama kemudian, Bapak dan Rio cuci tangan dan kaki. Bapak segera mengambil pena dan mengabadikan pengalaman membuat istana pasir dalam tulisan jurnal ini.
***
Tidak ada yang lebih hebat selain kesediaan dan keberanian menyisihkan waktu untuk berproses bersama anak. Dan ini harga yang bagi hampir semua orang tua terlalu mahal untuk dibayar - entah karena alasan apapun. Saya merasakan betapa saya juga dibentuk melalui idealisme menulis bersama anak.