Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Artikel Utama

Angka Heboh 13 untuk Menuju Kesuksesan

15 Februari 2011   03:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:35 770 5
Salah satu sumber persoalan yang mendasar dalam kehidupan kita - dan sekaligus jarang kita sadari - sebenarnya berawal dari cara kita memandang dunia (juga disebut "paradigma" oleh Kuhn dan Stephen Covey, "frame of reference" oleh Mezirow, dan "mental model" oleh Senge). Mengacu pada diskusi sebelumnya tentang burnout (hilangnya semangat dalam bekerja), yang menjadi sumber dari munculnya suasana hati macam ini bukan semata-mata karena kita telah habis-habisan bekerja secara fisik. Bekerja begitu keras dan pada waktu yang sama menemukan rasa kebahagiaan memunculkan fenomena "flow" seperti yang digambarkan oleh Csikszentmilhayi. Yang menjadi persoalan justru ketika kerja keras tersebut dibarengi dengan tekanan psikis yang hebat. Tekanan psikis yang dirasakan seseorang adalah sebuah proses konstruksi pribadi. Konstruksi tersebut didasarkan pada serangkaian harapan, pengalaman di masa lalu, dan nilai-nilai ideal yang hendak dicapai. Persoalan justru menjadi kronis dan sulit dipecahkan ketika sedikit sekali kemampuan refleksi kritis atas asumsi-asumsi (oleh Mezirow disebut sebagai critical self-reflection of assumptions) dalam diri kita. Ketidak-mampuan menyadari kelemahan diri sangatlah merugikan, karena yang terjadi adalah berkembangnya harapan-harapan yang kadang tidak realistis. Kondisi burnout sepertinya tidak bisa dilepaskan dari ketidak-mampuan seseorang untuk senantiasa melakukan pemeriksaan batin secara reguler. Namun, bagaimanakah proses pemeriksaan batin tersebut mesti dijalankan? Seperti yang saya tulis sebelumnya mengenai kehidupan Benjamin Franklin, sosok besar ini sebenarnya tidak juga merupakan manusia yang superhebat. Beberapa kali dia ditipu dan menderita oleh karenanya. Pernah dia ditipu oleh Gubernur Philadelphia yang menjanjikan sejumlah modal untuk mendirikan perusahaan percetakan di Philadelphia. Dengan bekal surat dari gubernur ini, dia mengarungi Samudera Atlantik, dan mengajukan kredit untuk menurunkan mesin percetakan dari London. Apa yang kemudian dia jumpai setelah beberapa waktu berlayar dari Amerika ke Inggris? Dia hanya disambut dengan senyum mengejek dari perusahaan. Ternyata surat yang dia bawa hanyalah bualan kosong saja. Terpaksa dia pun harus menggigit jari, dan membanting tulang hanya untuk sekedar beli tiket kapal kembali ke Philadelphia. Sementara waktu itu, tunangannya sudah tidak lagi tahan di tinggal dan terpaksa harus menikah dengan orang lain! Pernah juga dia begitu percaya dengan seorang pengkotbah yang tampil begitu elegan. Kotbah-kotbahnya begitu meyakinkan, inovatif, dan orang-orang menjadi sangat antusias untuk ikut ke dalam kebaktian. Franklin harus menelan rasa malu bahwa pendeta ini tidak lebih dari pembohong: dia sekedar menghafalkan kotbah yang tertulis dari buku dan karena daya ingatnya memang luar biasa, dia  bisa menyihir orang-orang untuk mempercayainya. Franklin merasa malu karena selama itu dia mendukung dan membela pendeta yang tampak hebat ini. Benjamin Franklin tentu mengalami serangkaian kesulitan. Namun, kesetiaan pada nilai-nilai keutamaan memang layak diteladani. Nah, yang justru menarik adalah strategi yang dia pakai untuk melatih diri menjalani sikap hidup reflektif ini. Ini lah yang akan saya bagikan kali ini. Pada bagian sebelumnya, saya menuliskan ke-13 keutamaan. Franklin mengelola pembelajarannya dengan begitu cantiknya, tanpa membuat dirinya sangat terbebani. Pertama-tama, dia membuat rencana untuk melatih kepekaan diri dan rancangan untuk menjalani keutamaan itu satu demi satu. Satu jenis keutamaan direncanakan untuk dijalankan selama satu minggu. Misalnya, pada minggu pertama dia akan melatih diri tentang "temperance" [makan makanan yang menyehatkan, minum minuman yang sehat dan tidak memabukkan]. Dia membuat jurnal pribadi yang akan dia isi tiga kali sehari: pagi, siang dan malam, tentu dengan fokus untuk merenungkan seberapa jauh usaha untuk menjalani keutamaan yang dia ingin kuasai tersebut. Minggu kedua akan menjalani "silence" [membatasi diri untuk berbicara hal-hal yang menguntungkan bagi sesama dan/atau diri sendiri; hindari omong kosong]. Cara yang sama pun dia jalankan terus-menerus, sampai sikap reflektif macam itu membentuk kebiasaan dalam hidup keseharian. Kedua, setelah tiga belas minggu pertama lewat, ketiga-belas jenis keutamaan itu pun sudah dia latihkan kembali. Dia menyadari sepenuhnya bahwa dia bukanlah manusia yang sempurna, dan karenanya dia membutuhkan latihan terus-menerus. Jadi selama satu tahun penuh, dia akan menjalani siklus ini terus-menerus. Karena dalam satu tahun ada 52 minggu, dan satu siklusnya 13 minggu, jadilah dalam satu tahun dia genap melatih-ulangkan ke-13 jenis keutamaan itu selama empat kali. Semoga berguna.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun