Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Kompleksitas Dinamis dan Wilayah Ketidakpastian

5 Maret 2010   04:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:36 117 0

“Kalau memang ada pilihan, saya tidak mau ambil studi lanjut (doktoral) di dalam negeri,” kata seorang kolega, sambil menyebut salah satu universitas tertua di Indonesia sebagai referensi.

“Kuliah doktoral di Indonesia lebih ditandai dengan beban psikologis yang lebih berat daripada beban kognitifnya,” teman lain menyahut.

“Iya benar, di suatu program tertentu ada profesor yang galaknya minta ampun!” teman yang pertama menimpali.

Menurut kolega yang satu ini, pola relasi antara profesor dan mahasiswanya kadang jauh dari egaliter. Seakan-akan, profesornya menjadi orang tersibuk yang senantiasa “harus dilayani dan dituruti segala keinginannya.” Ada serangkaian bukti-bukti yang ditunjukkan untuk mendukung analisis ini.

“Tapi memang harus diakui, ada juga profesor yang sangat baik dan pandai memahami para mahasiswanya,” teman kedua tampaknya berupaya menetralisir keadaan.

“Cuma memang, jumlahnya tidak banyak,” lanjutnya cepat-cepat. Ungkapan terakhir tetap membuat aura pembicaraan makin abu-abu. Tidak ada kejelasan. Pandangan yang mengemuka tetap memojokkan institusi dan personalia dalam lembaga pendidikan tinggi di Indonesia. Pandangan kritis, yang barangkali bagi sekelompok dosen yang dikenal baik pun akan meradang begitu mendengarnya! Ataupun, bagi yang dikenal keras dan mengakui diri keras, atmosfir abu-abu dalam diskusi kecil itu justru mendorong mereka untuk menunjukkan taring kegarangannya dengan mengatakan, “Bagaimana mungkin kita akan mempertahankan kredibilitas dan akuntabilitas akademis bila para mahasiswanya saja loyo!”

****

Rumor bahwa studi lanjut di bumi pertiwi memang “lebih berat” dibandingkan dengan studi di negeri-negeri lain barangkali tidak akan pernah hilang dari peredaran. Bukti pun tidak sulit untuk ditemukan. Ada sejumlah kolega yang benar-benar “putus hati dan patah arang” dalam upaya mereka mendapatkan gelar dari universitas dalam negeri. Barangkali, ketika rangkaian pengalaman mereka dikumpulkan dan dianalisis, alasan-alasan kegagalan mereka pun memang masuk akal dan sah-sah saja (legitimate). Karakteristik personal mereka yang kuat barangkali membuat mereka memiliki ketegasan dalam mengikuti kebenaran yang diyakininya. Ketika menemukan ketidakpastian atau inkonsistensi, barangkali orang-orang macam ini akan begitu mudah mengalami ketidaknyamanan psikologis dan kognitif. Butuh waktu lama bagi mereka untuk menoleransi ketidakpastian macam ini, dan barangkali bahkan gagal sama sekali dalam upaya tersebut.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun