Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Pintu Hidayah (Bagian 2): Lusi

7 Oktober 2013   03:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:53 179 0
Lusi, bukan gadis beruntung. Dia cacat sejak lahir. Jari-jari tangan kirinya nyaris tidak ada. Dia sekolah di sebuah sekolah swasta bersebelahan dengan sekolahku. Tadinya aku tak mengetahui kalau tangannya cacat. Karena ia selalu sembunyikan di balik kerudung panjangnya. Aku mengenalnya karena secara kebetulan jalan pulang ke rumah kami searah.

Salah satu kebiasaan Lusi adalah selalu mengawali dan mengakhiri pertemuan dengan mengucap salam. Dia bilang, bahwa salam itu do’a. Kalau dua orang bertemu, yang pertama mengucap assalamu’alaikum, artinya dia berdo’a dengan tulus agar orang yang diberi salam itu selalu dalam keadaan selamat. Begitu pula orang yang menjawab wa’alaikumsalam, artinya dia pun berdo’a agar yang memberinya salam itu selalu dalam keadaan selamat juga.

Sudah tiga hari ini aku pulang sekolah tanpa Lusi. Entah kemana anak itu, kok tiba-tiba saja hilang tak ada kabarnya. Ingin rasanya aku bertanya pada salah seorang temannya, namun aku enggan melakukannya. Tiba-tiba aku merasa kehilangan.

Rupanya tak terlalu sulit mencari rumah Lusi. Karena, begitu aku tanya pada seorang anak kecil hampir semua orang berebut memberitahuku. Rumah Lusi terlihat teduh. Dindingnya bercat kuning gading, dengan kusen warna coklat tua, tanpa halaman, dengan teras yang hampir rapat dengan jalan umum.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun