Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Tentang Novel, dan Mengapa Sebaiknya Kita Membaca Novel yang Baik

22 September 2010   10:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:03 947 0
WHAT IS NOVEL?
by Tri Wibowo BS*
~ Editor, Penulis & Penerjemah ~

Kita sering berbicara tentang novel. Tetapi sesungguhnya apakah novel
itu? Adakah batas-batas tertentu yang membuat sebuah fiksi-prosa bisa
disebut sebagai novel yang berbeda dengan cerpen, novela, roman atau
lainnya? Misalnya, apakah Metamorfosa-nya Kafka itu bisa
dikategorikan novel atau tidak? Atau apakah Kisah Nyata si Ah Q karya
Lu Xun bisa disebut novel atau tidak? Kita tahu Metamorfosa dan Kisah
Nyata si Ah Q lumayan panjang untuk ukuran cerpen, tetapi terlalu
pendek untuk ukuran novel. Jadi, pertanyaannya adalah, sekali lagi,
di manakah batasannya?

Ada banyak perdebatan soal batas-batas novel, cerpen atau novela.
Bahkan ada sebuah buku yang menggunakan istilah `short novel' untuk
beberapa karya yang terlalu panjang untuk disebut cerpen tetapi
terlalu pendek untuk dinamakan novel (misalnya Note from Undeground,
Metamorfosa, Bartleby, The Death of Ivan Illich, dan lain-lain).

Blusetone (1956) mengatakan, "Novel jauh lebih kompleks karena
sejarahnya lebih panjang dan materinya lebih baik. Dalam mendekati
novel – istilah yang kita pakai sejauh ini dengan penuh keyakinan –
secara internal kita berhadapan dengan kelenturan batas-batasnya dan
secara eksternal berhadapan dengan hubungan khususnya dengan
kehidupan ….. novel bersifat protean [bisa sangat beragam dan
berubah-ubah bentuknya] karena ia memadukan esai, surat, memoir,
sejarah, risalah keagamaan, dan manifesto. Tak ada sesuatu yang
bisa `menyamai' novel"

Jadi di sini kita punya dua persoalan dalam mendefinisikan sebuah
novel: bentuk dan isi. Dari segi bentuk telah banyak terjadi
perdebatan yang terlalu panjang untuk diterangkan di sini. Salah satu
definisi yang paling terkenal dikemukakan oleh kritikus terkemuka
Forster dalam bukunya `Aspect of the Novel (1927),' yakni setiap
prosa fiksi disebut sebagai novel apabila jumlah kata-katanya lebih
dari 50.000 buah. Untuk memudahkan dan menyingkat waktu, saya akan
memakai pernyataan Forster ini sebagai semacam patokan batasan
panjang sebuah novel (meskipun bahkan patokan ini masih bisa
diperdebatkan lagi).

Harry Levin mengingatkan kita pada adanya tendensi yang saling
bertentangan bahkan sejak di sumbernya. Roman Perancis memperlihatkan
asal-usulnya dari roman abad pertengahan. Kata novella dalam bahasa
Italia, yang berasal dari kata yang sama dengan bahasa Inggris,
berarti "baru" dan menunjukkan sejenis narasi baru yang mengklaim
sebagai narasi baru dan benar (Bluestone, 1956). Karena
bersifat "baru dan benar," maka jenis karya ini menimbulkan persoalan
lebih lanjut. Di Amerika, sastrawan Hawthorne menolak mengunakan
istilah novel karena ia menganggap novel hanya "mengarah pada
kebenaran yang sangat kecil ….. pada kemungkinan pengalaman manusia
biasa." Hawthorne kemudian kemudian mendefinisikan bukunya itu
sebagai "roman" (romance) yang mencoba untuk membaca "kebenaran di
hati manusia" dan "mempunyai hak untuk menghadirkan kebenaran itu di
dalam lingkungan yang pada sampai tingkat tertentu diciptakan atau
dipilih oleh penulisnya sendiri" (Ibid, 1956).

Sedikit contoh perdebatan yang saya kemukakan di atas menunjukkan
bahwa novel memuat batas-batas yang sangat lentur sehingga para
kritikus enggan untuk mengklasifikasikannya secara pasti. Walau
demikian, belakangan kemudian muncul lagi pemilahan novel berdasarkan
kriteria tertentu dalam aliran sastra, seperti realisme sosial,
surealisme, ekspresionisme, dan lain-lain. Tetapi saya tidak akan
memasuki perdebatan semacam ini. Saya lebih tertarik untuk mencoba
menjelaskan sisi `internal' dalam novel dari sudut pandang yang
lebih "spekulatif."

*

Pertama-tama, novel,seperti cerpen, adalah kisah tentang kehidupan
manusia. Dan karena manusia selalu menjadi episentrum setiap bentuk
cerita, maka kita berhadapan dengan dua mode dalam diri manusia:
kesadaran dan perilaku. Ada novelis yang lebih menyukai mode
perilaku. Artinya, karakter, kesadaran atau sifat-sifat tokoh-
tokohnya tidak diungkapkan secara jelas, tetapi tersirat dalam
perilaku mereka di sepanjang cerita. Contoh terbaik adalah
novel `Pride and Prejudice' karya Jane Austen (yang sudah difilmkan
berkali-kali). Dalam karya ini sedikit sekali ada eksplorasi pikiran
tokoh-tokohnya. Kedua tokoh utamanya terlibat dalam kisah cinta yang
menarik dan mengharukan. Tetapi pertentangan itu dilihat dari
perilaku mereka dan ucapannya, dan tidak diungkapkan detail perasaan
mereka. Dalam novel yang "realis" seperti ini, plot, seting dan
konflik menjadi sangat penting. Pride and Prejudice sangat menarik
konfliknya dan Austen begitu pandai memotret konflik sosial beserta
aturan dan norma yang berlaku di abad 19 di Inggris. Tidak
mengherankan novel ini sangat dipuji dan menjadi klasik, serta di
filmkan berkali-kali. Di lain pihak, ada James Joyce dengan Ullyses-
nya, sebuah novel yang berbeda sama sekali dengan karya Jane Austen
itu. Joyce dalam hal ini benar-benar memotret kesadaran dan
pemikiran, bukan perilaku. Ia menggunakan teknik yang dalam teori
sastra dinamakan `arus kesadaran' (stream of consciousness). Di sini
kesadaran tokohnya mengalir seperti sungai, terus-menerus
bergelombang mengikuti gerak kesadaran dalam benak tokohnya,
sedangkan plotnya menjadi terasa kabur. Joyce adalah kasus ekstrim.
Dostovesky juga menggunakan pemikiran tokohnya untuk melukiskan
karakternya. Dalam Note from Underground pembukaanya langsung masuk
ke `ocehan' si Manusia Bawah Tanah yang sekaligus berfungsi
menunjukkan karakternya yang kontradiktif.

Hal ini menimbulkan kesan seolah-olah ada dua realitas yang berbeda.
Tetapi di awal abad 20, berkat Jung dan Freud, muncul temuan bahwa
kesadaran dan realitas mengandung kekuatan yang belum terungkap
secara pasti. Fisika Kuantum bahkan mulai curiga bahwa materi
memiliki `kesadaran' tersendiri. Para fisikawan kuantum terheran-
heran oleh fakta bahwa partikel-partikel zat seolah-olah `menolak'
untuk didefinisikan, dan bergerak mengikuti kemauannya sendiri.
Semesta tak lagi dianggap sebagai sesuatu yang bersifat mekanistik.
Fisika Newtonian tak lagi memadai untuk menerangkan realitas fisik.
Bahkan menurut seorang `spiritualis' (misalnya Frithjof Capra), cara
berbicara ahli fisika semakin mendekati cara berbicara para mistikus.
Peristiwa, materi, memang penting, tetapi "cara" kita memandang
peristiwa juga sangat penting. Ada sebentuk "relativitas" yang
misterius, yang sebagian dikaji oleh Einstein lewat teori
relativitasnya yang mengagetkan.

Kembali ke novel, pemikiran seperti di atas membuat epistemologi tak
lagi membedakan antara dua atau lebih jenis realitas, tetapi mulai
mempertanyakan apakah mungkin ada realitas yang tetap. Dalam novel
Don Quixote, tokohnya yang konyol terus saja mencapuradukkan ilusi
dengan realitas, misalnya saat dia menganggap kincir sebagai ksatria.
Tetapi kita para pembacanya tahu pasti beda antara ksatria putih
dengan kincir angin. Tetapi, di lain pihak, dalam The Counterfeiter
karya Gide, pembaca tak pernah merasa pasti di manakah letak
realitasnya. Seperti diterangkan Bluestone, tokoh utamanya, novelis
Edouard, pada awalnya mengatakan "Aku ingin memasukkan segala sesuatu
ke dalam novelku," tetapi akhirnya merasa putus asa karena tak bisa
memasukkan apapun ke dalamnya. Ketidakmampuan untuk menangkap
realitas yang senantiasa berada di luar jangkauan kini menjadi tema
utama. Novelis bukan hanya mulai meragukan realitas, tetapi dia juga
meragukan mediumnya.

Medium novel adalah bahasa. Sedangkan obyek dan subyek novel adalah
manusia (karakter) dan kehidupannya. Kita tahu bahwa bahasa adalah
hasil konvensi. Sedangkan kehidupan dan manusia selalu unik, selalu
menghindari konvensi. Mengapa tempat duduk kita sebut "kursi"? Itu
karena konvensi. Andaikata dulu orang sepakat menyebut tempat duduk
sebagai "onde-onde" maka barangkali kita sekarang akan menulis "ada
lima pasang calon memperebutkan onde-onde presiden dan wapres."
Realitas tak bisa ditangkap seutuhnya oleh bahasa. Rasa sedih tak
bisa diungkapkan secara pasti dalam bahasa, kecuali dengan cara
tamsilan. Kita terpaksa menggunakan kiasan "hatiku perih seperti
tersayat sembilu" untuk melukiskan perasaan sedih yang mendalam.
Tetapi pembaca tak benar-benar merasakan kesedihan itu. Pembaca
hanya "tahu" bahwa si aku sungguh sedih, tetapi
tidak "merasakannya." Lagi pula, bahasa sering hanya
merepresentasikan sedikit sekali dari sesuatu. Bahasa bisa dipelintir-
pelintir. Ketika kita mengatakan bahwa "si A memperebutkan kursi
presiden" sesungguhnya yang kita maksud bukan kursi presiden, tetapi
kekuasaan, ketenaran dan lain sebagainya. Jadi kiasan, tamsilan,
imaji, adalah sesuatu yang sangat penting dalam karya sastra (entah
itu novel, cerpen, apalagi puisi), sebab "kehidupan" yang menjadi
obyek sastra adalah "realitas" yang diluar jangkauan bahasa untuk
mencakupnya secara utuh.

Jadi, seperti dikatakan seorang kritikus, bahasa dan obyek/subyek
seolah-olah mempunyai peran yang berkebalikan. Jika dulu bahasa
digunakan untuk mengomentari konflik sosial dan psikologis, kini
sosiologi dan psikologi dipakai untuk memaparkan ciri-ciri bahasa itu
sendiri. Ketika Sartre menyimpulkan, "meskipun diwujudkan
(realized) "melalui" bahasa, obyek sastra tak pernah
diberikan "dalam" bentuk bahasa. Sebaliknya, obyek sastra pada
dasarnya adalah semacam kebisuan dan musuh dari kata-kata …" maka
kita menyadari bahwa polaritas yang besar tersebut kini telah
mencapai kesimpulan baru yang mengejutkan. Bahasa menjadi sebuah
karakter di dalam novel. (G.B, 1956). Menurut Mendillow
(1952), "Bahasa tidak bisa menyampaikan pengalaman non-verbal; karena
bahasa bersifat suksesif dan linier maka ia tak bisa mengekspresikan
pengalaman secara bersamaan; karena tersusun dari unit-unit yang
terpisah dan dapat dibagi-bagi, bahasa tidak dapat mengungkapkan
aliran proses kehidupan yang tak terputus-putus. Realitas tidak bisa
diekspresikan atau disampaikan [oleh bahasa]- hanya ilusi dari
realitas itulah yang bisa." Ilusi yang dimaksud disini adalah kesan,
yang biasa diwujudkan dalam kiasan (seperti misalnya "hatiku perih
seperti tersayat sembilu," atau "hatiku berbunga-bunga"). Realitasnya
sendiri tetap diluar jangkauan bahasa.

Tetapi di lain pihak, imaji, metafora, kiasan, mengandung kekuatan
yang dahsyat untuk membangkitkan kesan mendalam. Metafora mengandung
ribuan arti. Novelis besar Inggris dan tokoh utama Bloomsbury,
Virginia Woolf, menyadari betul kekuatan imaji ketika dia
mengatakan "Bahkan imaji yang paling sederhana sekalipun
semisal `kekasihku laksana mawar merah, merah, yang baru mekar di
bulan Juni' menghadirkan kepada kita kesan yang memadukan kelembaban
dan kehangatan serta warna merah dan kelembutan daun bunga dan
merangkai alunan ritme yang menyuarakan hasrat dan keraguan-raguan
tentang cinta. Semuanya ini …. dapat ditangkap oleh kata-kata …. dan
hanya oleh kata-kata saja."

Karena itu pembaca karya sastra harus mempunyai imajinasi dan
kepekaan perasaan yang kuat. Imaji tidak bisa dikonversi ke konotasi
literal (harfiah). "Hatiku berbunga-bunga" tidak bisa dipahami dalam
arti literal, sebab bagaimanapun mungkin ada bunga tumbuh di hati
manusia? "Hatiku berbunga-bunga," ketika dipahami secara imajinatif,
akan memunculkan beragam perasaan bagi pembacanya, yang bisa jadi
berbeda-beda. Inilah kekuatan dahsyat dari kata imajinatif itu.
Karena itu makna metaforis dan literal tidak bisa bekerja
bergandengan, sebab, sekali lagi meminjam istilah Virginia
Woolf, "Mata dan otak akan hancur-luluh ketika keduanya mencoba
bekerja berpasangan." Tetapi perlu ditambahkan bahwa kata-kata
imaji, metafora, kiasan dsb., mempunyai keterbatasannya sendiri. Ia
terikat dengan konteks kultural, ruang dan waktu. Metafora akan
efektif jika pembaca metafora itu adalah orang-orang yang mengerti
betul konteksnya. Misalnya, ungkapan "dia sedang naik daun" akan
sulit dipahami oleh orang Afrika atau Eropa, kecuali mereka sudah
memahami konteksnya. Bagi penerjemah, persoalan seperti ini sangat
penting.

*

Sampai di sini saya sudah membicarakan beberapa aspek dari novel.
Tentu saja masih banyak lagi aspek lainnya, seperti ruang, waktu
kronologis dan psikologis, plot, karakter, bentuk-bentuk, dan lain
sebagainya yang membutuhkan lebih banyak ruang untuk membahasnya.

Mengapa Kita Mesti Membaca Novel Yang Baik?

Boleh dibilang manusia dibesarkan bersama dongeng dan kisah. Boleh
dikatakan manusia selalu diliputi cerita. Dan boleh dibilang sejarah
adalah sebuah cerita, dengan tokoh-tokohnya yang baik dan yang jahat.
Dan karena manusia adalah bagian dari sejarah, maka manusia itu
sendiri adalah bagian dari sebuah "cerita besar."

Sejak zaman dulu manusia telah terpesona oleh banyak sajak, drama,
novel, dongeng, legenda, dan kisah fakta sejarah. Kitab-kitab suci
juga berisi cerita, entah itu nabi atau orang suci. Beberapa
diantaranya begitu mempesona karena menyentuh langsung dengan dimensi
terdalam hidup kita, batin dan hati dan pikiran kita. Karena itu
orang bisa mengatakan ada karya besar, magnum opus, maha karya.
Bahkan beberapa cerita dianggap menjadi karya "abadi," karya klasik,
yang terus-menerus dibaca dan ditafsirkan. Homer, Virgil,
Shakespeare, Chaucer, Montaigne, Dante, atau di masa yang lebih
modern, Victor Hugo, Tolstoy, Dostoevsky, Ezra Pound, Virginia Woolf,
Pramoedya, Chairil Anwar, Rendra, adalah sedikit contoh dari
sastrawan yang telah menorehkan karya yang "abadi." Jadi, sampai
kini, siapa tak kenal, misalnya, Romeo-Juliet? Hamlet? The Divine
Commedy? Tetralogi Pulau Buru? Deru Campur Debu? Atau, siapa yang tak
kenal kisah-kisah dalam kitab suci, seperti Adam, Ibrahim, Nuh,
Yesus, Muhammd, para yogis, dan sebagainya?

Cerita-cerita mereka terus dikenang, ditulis ulang, dan bahkan
difilmkan. Misalnya, Troy, adalah adaptasi dari karya klasik tragedi Yunani karya
Homer. Ini adalah kisah klasik tentang Achilles, Hector, Helen of
Troy, dan Kuda Troya (yang menjadi inspirasi pembuat virus komputer
yang mengerikan, yang bernama virus Trojan Horse), serta keruntuhan
benteng Troya yang kokoh. Lihatlah, kisah ribuan tahun lalu ini
menggema kembali dalam wujud sinema, ditafsirkan ulang dalam bentuk
film, menjadi sumber inspirasi bagi banyak hal. Sedemikian dahsyatnya kisah ini, hingga mengilhami para
pengarang, pelaku perfilman, pembuat virus komputer, bahkan penulis
lagu di seluruh dunia, termasuk Indonesia (aku ingat Ahmad Albar
pernah bersenandung dalam lagu She Passed Away: "She wasn't Helen of
Troy …").

Kekuatan apakah yang ada dalam kisah-kisah besar semacam itu? Mengapa
cerita-cerita besar itu terus bergema dan mengguncangkan banyak
keyakinan dan kesadaran, bahkan sampai mengubah pandangan hidup
manusia? Mengapa kisah-kisah besar ada yang sangat ditakuti oleh para
penguasa, seperti Gulag Archipelago, Dr Zhivago, Madame Bovary, atau
Pulau Buru? Tentu saja ada banyak jawaban yang bisa diberikan.
Tetapi, barangkali, kisah-kisah itu begitu memikat karena kisah-kisah
itu berkaitan erat dengan seluruh unsur manusia dan kemanusiaan itu
sendiri – di sana ada kepahlawanan, cinta, kesedihan, filsafat,
penjahat, keindahan, kekejaman, kegilaan, kemunafikan, kekuasaan,
pengkhianatan, dan seribu satu paradoks kehidupan yang mendera batin
manusia, tak terkecuali kita. Dan para pengarang besar itu menulis
itu semua dengan jernih, dan secara sengaja atau tidak sengaja
memberi semacam pelajaran yang kadang-kadang efeknya tak terduga bagi
sejarah manusia.

Cerita-cerita itu lalu menjadi sumber inspirasi. Para pembacanya
memahaminya dengan cara masing-masing. Karena itu lahirlah banyak
apresiasi, kritik dan pemahaman tentang sebuah cerita dari berbagai
perspektif dan sudut pandang. Sebagian mengecam Pulau Buru dan
sebagian memujinya. Sebagian orang melecehkan Madame Bovary, tetapi
sebagian orang menjadikannya sumber inspirasi. Dan seterusnya, dan
seterusnya. Tetapi reaksi orang bukan hanya mengecam dan memuji,
namun juga memahami, menafsirkan dan merenungkannya dengan cara yang
sama sekali berbeda. Ambil contoh kisah Yesus yang Juru Selamat.
Kisah Yesus, yang dianggap sebagai fakta sejarah, tidak ditafsirkan
secara seragam, bahkan di kalangan umat Kristen sekalipun. Passion of
Christ, adalah tafsir literal atas penderitaan
penyaliban Kristus. Film ini memuat asumsi yang dianut umum, bahwa
Yesus mendapat ilham dari Tuhan. Tetapi, beberapa tahun yang lalu,
ada film yang berjudul The Last Temptation of Christ, yang
disutradarai oleh, kalau tidak salah ingat, Oliver Stone. Asumsi film
ini berbeda dengan asumsi film The Passion of Christ. The Last
Temptation menceritakan bahwa Yesus sesungguhnya mengalami konflik
batin yang dahsyat: ia ragu, apakah ilham yang diperolehnya itu
berasal dari setan atau dari Tuhan.! Yesus lebih manusiawi dalam
film ini, sebab Yesus juga tersiksa oleh konflik seksual dalam
dirinya. Inilah yang saya maksudkan bahwa cerita bisa dilihat dan
dipahami dari berbagai perspektif dan sudut pandang.

Perbedaan pemahaman dan penafsiran inilah yang bisa memperkaya hidup
kita. Bagi siapa saja yang mau sedikit bekerja keras dan berpikir
ketika membaca sebuah karya besar, bisa dipastikan ia akan mendapat
wawasan baru yang kadang-kadang bisa mengguncangkan keyakinannya,
mengubah arah hidupnya. Jika anda pernah membaca kisah Daud melalui
tulisan seorang ilmuwan (saya lupa namanya), barangkali anda akan
terkejut ketika pengarang itu menjelaskan seolah-olah hubungan Daud
dengan Batseby adalah sebuah skandal yang menggemparkan. Orang Islam
tentu tidak akan menerima tafsir semacam ini. Atau, jika anda beragam
Islam dan pernah melihat sebuah film tentang Nuh , anda
mungkin akan terkejut ketika mendapati ceritanya berbeda sama sekali
dengan apa yang tertulis dalam Qur'an.

Karena itu tidak mengherankan bahwa banyak orang ketakutan dengan
kebebasan manusia dalam menafsirkan atau memahami sebuah cerita. Jika
kisah kitab suci saja bisa dipahami secara berbeda, tentu novel-novel
sastrawan akan lebih beragam penafsirannya dan barangkali
lebih "liar" tafsirannya.

Ringkasnya, setiap cerita selalu mengandung pelajaran, baik itu
kisah fiktif, legenda, dongeng, mitos, atau fakta sejarah. Tinggal
kitalah yang harus pandai-pandai memanfaatkannya agar cerita-cerita
itu tidak hanya menjadi hiburan semata. Cerita yang baik biasanya
mempesona, menghibur sekaligus memberi pelajaran hidup yang terkadang
sangat mendalam, filosofis, religius bahkan gila. Maka, novel atau cerita yang
baik memang sebaiknya, atau "harus," dibaca, sebab cerita adalah bagian dari hidup kita, dan hidup kita sendiri adalah sebuah cerita.

"Bacalah" dengan menyebut nama Tuhanmu yang Maha Mendidik...

Salam
Triwibs Kanyut
wis dadi bolo dupakan ning Kakilangit

artikel ini jg dipost di: http://www.facebook.com/notes/triwibs-kanyut/sekali-lagi-apa-itu-novel-mengapa-sebaiknya-kita-membaca-novel-yg-baik/440169278339

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun