Dari puluhan murid yang mengaji pada Wak Umar, hanya kami berdua yang berasal dari Jawa. Tempat kami mengaji hanyalah berupa mushola kecil, yang dikelilingi oleh beberapa rumah panggung untuk tidur kami para santri yang mengaji disitu. Lokasi padepokan itu berada di kaki bukit dan berhadapan dengan mulut hutan belantara yang jarang sekali manusia menginjakkan kakinya untuk masuk kesana.
Aku dan Malik, sebenarnya berasal dari Banguntapan – Bantul – Yogyakarta. Waktu itu kami berdua sepakat untuk merubah nasib keluarga kami yang sama-sama berasal dari keluarga yang miskin. Bapak kami berdua hanyalah buruh tani yang hanya mendapatkan seperempat hasil panen dari sawah yang digarapnya. Begitu lulus SMA, kami berdua sepakat untuk berangkat ke Aceh untuk melamar sebagai pekerja kasar di Exxon Mobile. Kami berdua mendapatkan info dari surat kabar harian Kedaulatan Rakyat.
Begitu aku menyampaikan niat dan tekatku untuk pergi ke Aceh, ibuku sehari semalam tidak tidur dan melekan (nahan kantuk) semalam suntuk di depan pintu masuk rumah kami yang reyot. Aku perhatikan, beliau tidak henti-hentinya berkomat-kamit memanjatkan doa untuk kesuksesan dan keselamatan kami.
Kata mbah Sobary, sesepuh di desa kami, doa untuk kesuksesan anak itu yang paling manjur adalah doa dan ridhonya seorang bapak, sedangkan untuk keselamatan adalah doa dan ridho dari seorang ibu.
“Sebenarnya ridhonya Gusti Allah itu bukan dari kyai, ustadz atau orang-orang yang dianggap dekat dengan Gusti Allah, ngger. Bukan pula dari orang sepuh seperti aku ini, tapi ya dari ibu dan bapakmu sendiri itu,” kata-kata mbah Sobary itu selalu tertanam dalam kepalaku.
Sebelum berangkat, bapak dan ibuku melakukan ritual kecil yang menjadi kebiasaan di desaku. Namanya upacara langkahan, disaksikan kedua adik perempuanku yang masih berusia belasan tahun. Aku diminta tidur diatas tikar tepat menghadap pintu masuk utama rumah kami, lalu ibuku berdoa dengan menggunakan bahasa Jawa kuno yang maksud dan tujuannya agar aku bisa selamat dan tidak mendapatkan kesulitan dalam perjalanan berangkat maupun pulang nantinya.
Ibuku berjalan melangkahi tubuhku yang terbujur seperti orang mati sebanyak tujuh kali. Diikuti bapakku yang jug melakukan ritual yang sama. Lalu aku diminta jongkok, dan ibuku sambil berdoa dan menyampaikan pesannya sambil mencium ubun-ubunku. Tidak terasa air mataku meleleh membasahi pipiku pada saat itu. “Sing kuat jaga imane, eling ojo gawe cidera karo wong liyan (Yang kuat menjaga imannya, ingat jangan bikin susah sesama),” begitu pesan ibuku.
Malik pun mendapatkan perlakuan yang sama seperti aku di keluarganya dan disaksikan tetangga kanan dan kirinya. Kami berdua dilepas oleh mereka seperti melepas dua pasukan berani mati yang berangkat ke medan pertempuran. Kami naik bis dari Jogja menuju Bakahueni Lampung.
Dari Lampung kami menuju Padang. Dan dari sinilah cerita terdamparnya kami sampai ke Tanah Datar dimulai. Kami salah naik bis, seharusnya kami naik bis jurusan Lokhsumawe, yang kami tumpangi bis jurusan Tanah Datar. Tragisnya setelah membayar ongkos ke kondektur bis, kami tertidur dan semua tas dan bekal yang kami bawa dari Yogyakarta hilang diambil orang.
Mungkin sudah kehendak Tuhan, ketika kami makan di warung dekat WC umum di terminal Tanah Datar, Wak Umar yang melihat wajah sedih dan muram durjanya kami berdua merasa iba dan mendekati kami berdua. Kami ceritakan musibah yang menimpa kami kepada Wak Umar, dan beliau menawarkan untuk sementara tinggal di rumahnya yang ternyata seperti pondok pesantren kalau di Jawa.
Aku tidak tahu alasan pastinya, kenapa Wak Umar yang konon sudah belajar banyak ilmu agama Islam mulai dari Mekah, Persia, Gujarat, Aceh, Gowa, Madura, bahkan sampai ke Jawa itu, lebih memilih mendirikan tempat mengaji di pinggiran desa, dimana orang-orang enggan datang karena jalannya menuju kesana belum beraspal dan sulit ditempuh dengan kendaraan.
Untuk menuju ke tempat yang dikenal orang-orang desa dengan aliran sufistik itu, hanya bisa ditempuh dengan kendaraan roda dua dan jalan setapak. Jika ada tamu yang membawa mobil, biasanya mobilnya diparkir di halaman SD Muhammadiyah yang jaraknya sekitar 1,5 km sebelum rumah Wak Umar.
Konon Wak Umar memilih tempat untuk mengajarkan ilmu agama di pinggiran desa itu untuk menghindari tokoh agama lainnya karena ajaran yang disampaikan dianggap menyempal dari Al Qur’an dan Hadits. Ada lagi isu, kalau Wak Umar ini dulunya pelarian organisasi komunis dari Jawa.
Tapi orang- orang kampung banyak yang tidak percaya dengan isu itu, karena Wak Umar di mata mereka adalah orang yang taat beragama dan baik budi pekertinya. Yang mereka tahu, orang komunis tidak percaya dengan agama dan tidak mengakui adanya Tuhan. Itulah yang menyebabkan orang kampung tidak percaya kalau Wak Umar adalah orang komunis.
Wak Umar sendiri sebenarnya berasal dari Tanah Merah. Beliau adalah anak tunggal Pak Haji Balam, seorang tuan tanah yang sangat di hormati di daerahnya. Entah kenapa, sejak istrinya meninggal ketika melahirkan anak pertamanya yang juga meninggal saat lahir, Wak Umar memilih pergi meninggalkan tanah kelahirannya dan belajar ilmu agama sampai ke berbagai tempat. Anehnya, meskipun sudah sudah berhaji berkali-kali, dia tidak suka dipanggil Wak Haji.
Tempat mengaji kami yang jauh dari keramaian, membuat hati dan pikiran kami sangat tenang dan terkadang juga mengerikan. Kami dan teman-teman lain sesama santri yang tinggal di pondok pesantren Wak Umar, sudah terbiasa mendengarkan suara auaman harimau, teriakan beruk, lolongan srigala, gonggongan anjing hutan, bahkan suara aneh lainnya yang membuat bulu kuduk ini berdiri.
Jika pagi, sambil mendengarkan kicauan merdu burung-burung, kami semua pergi ke ladang milik Wak Umar untuk merawat berbagai macam tanaman produktif mulai dari sayuran, buah-buahan sampai umbi-umbian. Dan hasilnya dijual untuk menyambung kehidupan puluhan santri di pondok pesantren itu.
Wak Umar banyak mengajarkan kepada kami tentang bersyukur dan ikhlas dalam menghadapi persoalan kehidupan di dunia ini.
“Keluarga yang kaya, banyak. Keluarga yang terpandang, juga banyak. Bahkan tidak sedikit yang menyatakan bahwa keluarga mereka itu adalah keluarga yang harmonis, berpendidikan, dan bermartabat. Tapi apakah mereka bahagia ? Ada yang sudah hidup berumah tangga belasan tahun dan punya anak yang lucu-lucu, istrinya minggat. Ada yang sudah memiliki kekayaan dan kepopuleran, suaminya kecantol istri orang.
Banyak contoh yang sering dengar di radio, banyak pejabat, pengusaha, artis dan selebriti yang sudah memiliki segalanya, suami dan istrinya sama-sama memiliki kemampuan untuk mendapatkan harta dan kemewahan, eee…ternyata rumah tangganyanya berantakan,” begitu salah satu yang diajarkan Wak Umar dengan gaya bahasa yang enak didengar dan mudah dipahami.
“Banyak hal yang tidak bisa dinalar, saat mereka ditanya kenapa harus bercerai ? Kenapa harus rela berkorban meninggalkan anak dan istrinya hanya untuk kebahagiaan dan kenyamanan diri sendiri meraka sendiri. Bahkan ada yang sampai bunuh diri segala, naudzubillah.
Jawabannya, kata mereka karena mereka merasa tidak bahagia. Kalau kita telusuri, rasa kebahagiaan itu semuanya berawal dari rumah tangga, dari keluarga, entah itu keluarga kaya atau keluarga miskin. Jika tidak ada senyum di tengah-tengah kebersamaan mereka. Jika tidak ada lagi kehangatan yang menyelimuti kekakuan hubungan di antara mereka. Lalu kemanakah mereka harus mencari kebahagiaan itu? ” kalimat yang disampaikan Wak Umar itu masih terus ada dalam kepalaku sampai saat ini.
Siapapun berhak bahagia. Seorang ibu berhak bahagia, demikian juga seorang bapak. Keduanya jadi sumber kebahagiaan anak-anak mereka. Menurut, Wak Umar, kunci kebahagiaan dalam rumah tangga itu adalah kalau keluarga itu pandai bersyukur, pandai bersabar, dan bisa ihlas menerima apa saja yang diberikan Tuhan kepada keluarganya. Bersyukur, bersabar dan ikhlas itu sangat gampang diucapkan, tapi sulit dijalankan jika manusia itu masih dikuasai oleh hawa nafsu duniawi.
Sudah sepuluh tahun aku tinggalkan desa ini, baru kali ini aku menginjakan kembali kakiku di desa yang menciptakan banyak kenangan buatku. Banyak yang tidak berubah meskipun pembangunan infrastruktur masih terlihat terus berjalan. Masih segar dalam ingatanku ketika aku ajak Malik untuk kembali ke Yogya, dia menolak dan bersikukuh ingin tetap bertahan Di Tanah Datar karena merasa hatinya sudah tertambat pada seorang gadis di desa itu.
“Dia sungguh cantik, Mir. Rasanya aku tidak bisa meninggalkan dia meskipun hanya sekejap. Aku rela berkorban apa saja untuk mendapatkan cintanya. Sampaikan saja salamku pada emak dan keluargaku di Yogya. Aku tidak akan pulang sebelum bisa menikahi gadis itu,” begitu kata terakhir yang masih tergiang dalam ingatanku.
+++++
“Assalamu’alaikum. Bu Salmah, masih ingat sama ambo. Amir, dari Jowo,” aku coba mengingatkan ibu setengah baya pemilik warung padang. Disini warung makan masakannya padang semua, hampir tidak aku temui masakan jawa kecuali Bakso Malang. Bu Salmah adalah pemilik warung langganan kami, yang dahulu dekat WC. Sekarang warungnya sudah maju, bersih dan tidak berdekatan dengan bau pesing lagi.
“Siapo yo, onde mande…Amir…ya..Amir Fadholi…masya Allah, dari mano sajo, lamo tak bersuo. Apo kabarnyo..baik-saik sajo,” tanya bu Salmah kepadaku. Sambil melepas penat setelah ber jam-jam diatas bis melintasi trans sumatera, dan mungkin badanku bau keringat bercampur asap knalpot, aku sandarkan badanku di kursi makan warung bu Salmah. Sambil menyeruput kopi hitam bikinan bu salmah yang masih panas, aku nyalakan rokok filterku, wuih…sedap sekali.
Kami bercerita panjang lebar tentang kondisi desa yang dulu pernah aku tinggali. Tentang perkembangan pembangunan, kemajuan masyarakatnya, dan juga tentang guru aku, Wak Umar juga Abdul Malik, sahabatku. Dari cerita yang aku dapat dari bu Salmah, sekarang pondok pesantren yang pernah aku tinggali sudah banyak kemajuan, bangunannya sudah tembok dan modern. Kata bu Salmah, santrinya sekarang sudah ratusan, berasal dari berbagai daerah. Bahkan santrinya ada yang berasal dari Singapura, Bruinei dan Malaysia, kata bu Salmah.
Masih menurut bu Salmah, Wak Umar juga sudah mendapatkan jodohnya, dia menikah dengan kepala sekolah SDN terkemuka di desa ini. Sekarang sudah dikarunia dua anak. “Istri Wak mu itu, amboi cantiknyo. Cobalah kau tengok sendiri kesana, ” kata bu Salmah.
Setelah puas melepas penat dan bercengkrama dengan bu Salmah, aku kembali melanjutkan perjalanan menuju pondok pesantren, dimana aku aku dahulu banyak mendapat gemblengan lahir dan bathin. Pernah suatu ketika, Wak Umar pada tengah malam menyuruhku masuk ke dalam hutan sendirian dan diminta duduk tafakur sampai subuh.
Beruntung pada malam itu tubuhku tidak di makan harimau atau digigit ular. Pernah juga aku disuruh puasa seminggu hanya berbuka dengan air putih satu gelas, untuk mencuci darah kotor yang mengalir dalam tubuhku katanya. “Hawa nafsu itu yang paling besar pengaruhnya berasal dari makanan atau minuman, Mir. Kalau makanan atau minuman yang masuk kedalam tubuh kita itu tidak halal, akan membuat jiwa menjadi tidak beres,” kata Wak Umar waktu itu.
Aku diantar ojek untuk ke pondok pesantren itu. Banyak yang berubah, dan benar-benar total berubah. Tidak terlihat rumah panggung yang kumuh, tidak ada lagi wajah-wajah santri yang kusut dengan bau keringat yang khas. Yang memakai kopyah berwarna pudar, yang memakai sandal jepit berpeniti. Sekarang yang aku lihat wajah-wajah anak-anak muda yang bersemangat dengan pakaian yang rapi. Berseragam lagi. Santri sekarang seperti terkurung dalam bangunan yang dikelilingi tembok. Untuk menemui Wak Umar, aku harus lapor dahulu kepada satpam berwajah sangar tapi ramah.
Satpam yang diatas saku bajunya tertuliskan nama SYARIF, mengantarkan aku menemui Wak Umar. Betapa kagetnya ketika aku memasuki pagar rumah induk yang menjadi kediaman Wak Umar. Di halaman rumah itu sudah terparkir mobil kijang krista warna silver. Rasa takjub aku semakin bertambah ketika pak satpam itu mempersilahkan aku masuk dan duduk di ruang tamu. Sekarang sudah ada meja dan kursi tamu, tidak seperti dahulu ketika aku monok disini hanya beralaskan karpet kumal.
Aku lihat sudah ada beberapa perabotan dan juga televisi ukuran besar plus home theater. Ada foto keluarga ukuran se poster dibingkai bagus, ah..betapa cantiknya istri Wak Umar. Wajahnya mirip Ike Nurjanah yang sedang memakai jilbab. Kedua anaknya laki dan perempuan, terlihat sangat lucu dan cakep. Wak Umar sendiri dalam foto itu terlihat lebih muda dan sumringah.
Tidak lama kemudian, Wak Umar keluar dari dalam kamar menemui aku.
"Assalamu'alaikum...Alhamdulillah," sapa Wak Umar. Kami berangkulan lama sekali, seperti aku mendapatkan pelukan dari almarhum bapakku. Kami berdua tidak terasa menitikkan air mata.
“Apa kabarmu, Mir,” tanya Wak Umar sambil mengusap air matanya.
“Baik Wak. Sekarang aku tinggal di Surabaya. Dapat istri orang Jawa Timur, Wak. Anak kami baru satu, masih berusia lima tahun. Apa kabar dengan Wak Umar sendiri ? “ tanyaku balik.
“Alhamdulillah, seperti yang kau lihat. Kau kerja di Surabaya ? Kerja apa disana ? “
“Iya wak, aku berwiraswasta. Buka toko kecil-kecilan. Wak tahu, Malik sekarang dimana ?”
“Malik tinggal tidak jauh dari sini. Dia sudah menikah empat tahun yang lalu dengan Halimah, gadis desa yang dahulu dipujanya. Ya sebenarnya, uwak sudah kasih tahu kepada dia agar memilih istri itu bukan hanya dilihat dari kecantikan fisiknya saja, tapi rupanya yang namanya cinta sudah membutakannya,” kata wak Umar.
“Maksudnya, wak ? “
“Istrinya judesnya bukan main, meskipun dia cantik. Apalagi istrinya itu kurang kuat dalam menjalankan ajaran agama, meskipun sudah berkali-kali diingatkan oleh suaminya. Malik, itu sudah seperti anak Uwak sendiri, kebahagiaan dia juga kebahagiaan Uwak.
Setelah menikah, Uwak kasih dia lahan di pinggir hutan untuk berkebun meskipun tidak luas. Dia sudah pernah uwak kasih kesempatan untuk mengajarkan ilmu fiqih di pesantren ini, tapi dia menolaknya. Alasannya sudah terlalu banyak merepotkan uwak. Padahal, uwak justru senang jika dia mau ikut membesarkan pesantren ini.
Kalau saja, istrinya pandai mensyukuri nikmat Allah, apa yang dikerjakan Malik itu sebenarnya cukuplah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Cobalah kau tengok sendirilah kesana, kau akan tahu apa yang terjadi sebenarnya.”
Ada banyak pertanyaan dalam benak ini. Bukankah Wak Umar pernah mengajarkan kepadaku kalau pria yang baik akan mendapatkan wanita yang baik pula. Tapi kenapa Wak Umar bilang kalau istri Malik tidak begitu baik ? Apa yang salah pada Malik, sahabatku itu ?
“Mir, apa yang kita inginkan belum tentu sesuai dengan apa yang kita harapkan. Apa yang baik menurut Allah, belum tentu sesuai dengan apa yang baik menurut kita, demikian sebaliknya. Tapi apapun itu yang diberikan Allah, baik atau buruk menurut ukuran kita, Allah Maha Mengetahui dan pastilah untuk kebaikan hambaNya. Demikian juga yang terjadi pada rumah tangga Malik. Kita tidak tahu apa rencana Allah untuk kita,” jelas Wak Umar.
Aku baru tersadar, bahwa Allah selalu bekerja dengan tangan mesteriusnya untuk merubah kehidupan di alam semesta ini. Takdir itu meliputi mati, rejeki dan jodoh. Kalau orang sakit dan tidak berupaya untuk berobat, terus dia mati. Apakah itu bisa dinamakan takdir ?
Kalau orang yang tidak bekerja dan hanya menunggu rejeki datang dari Allah, apakah itu takdir ?
Kalau orang ingin menikah dan tidak berupaya untuk mencari dan mendekati calon pasangan hidupnya, apakah bisa dinamakan takdir ?
Dan bukankah nasib seseorang itu yang bisa merubah adalah orang yang ingin berubah nasibnya ? Kenapa jadi cekak begini pemahamanku tentang takdir dan nasib.
Aku memohon ijin kepada Wak Umar kalau aku ingin menginap di rumahnya beberapa hari. Aku sampaikan kalau aku sangat rindu dengan Wak Umar, dengan suasana pondok pesantren yang dulu pernah menggembleng aku, dengan suasana desa yang terletak di kaki bukit ini. Dalam hati, aku juga ingin mengetahui kondisi Malik, sahabatku.
++++++
Sore itu, aku dengan berjalan kaki menuju rumah Malik yang tidak jauh dari pondok. Untuk menuju ke rumah malik dari rumah Wak Umar hanya butuh 15 menit dengan jalan setapak. Agar lebih yakin rumah mungil yang aku lihat dari kejauhan itu rumah Abdul Malik, sesekali aku menghentikan langkah untuk bertanya pada orang yang aku temui. Dan ternyata benar, rumah yang terletak di mulut hutan belantara dan hanya satu-satunya itu adalah rumah Malik.
“Assalamu’alaikum….” Aku ketok pelan-pelan pintu rumah gedong yang masih temboknya masih belum diplester itu. Jadi masih terlihat susunan batu batanya.
“Siapo…” jawab suara perempuan dari dalam rumah dengan intonasi yang ketus.
“Aku, mbak. Amir kawannya Malik dari jawa…” tidak lama pintu itu dibuka dari dalam, dan ternyata benar kata Wak Umar, istrinya Malik benar-benar cantik. Pantas Malik dahulu tidak pernah memperkenalkannya kepadaku.
“Maaf, mbak. Apa benar ini rumah Malik ? Aku Amir dari Yogya,” sapaku sambil mengulurkan tanganku kepada perempuan itu. Dia membalas salamanku lama sekali tidak dilepaskannya, apalagi dengan tatapan mata yang menggoda. Dan cepat-cepat aku menarik tanganku dan membuang mukaku ke tanah.
“Abang masih di ladang, silahkan masuk. Tunggulah sesaat lagi dia pasti pulang,” katanya dengan nada suara yang terasa sekali dibuat selembut mungkin.
Aku jadi kikuk, dan bingung harus bertanya apa dan harus bagaimana menghadapi istri sahabatku yang terlihat genit ini. “Abang mau minum apa, kopi atau the manis. Halimah buatkan yang enak khusus buat bang Amir,” sambungnya.
“Apa saja, kopi juga boleh,” jawabku.
Setelah hampir satu jam aku menunggu Malik, akhirnya terlihat dari kejauhan Malik datang dengan memikul kayu. Yang sangat membuatku heran dan agak ngeri, dia berjalan diiringi harimau, beruk, srigala dan anjing hutan yang ikut membawakan kayu bakar. Aku hanya berani mengintip dari balik jendela rumah.
“Abang heran melihat bang Malik bersama hewan-hewa buas itu ? Sudah sejak dua tahun ini, bang Malik setiap pulang selalu diiringi barisan hewan-hewan itu. Tapi mereka jinak kog dengan bang Malik. Dahulu, saya juga takut, Bang. Tapi karena sudah terbiasa, ya gak apa-apa. Apalagi hewan-hewan itu sudah jinak dan nurut sama bang Malik,” penjelasan Halimah sedikit menenangkan rasa takutku akan hewan-hewan buas itu.
Kejadian itu sungguh membuatku penasaran. Kog bisa Abdul Malik menjinakkan hewan-hewan buas itu.
Aku lihat dari balik jendela, hewan-hewan itu sepertinya sudah tahu dimana harus menurunkan kayu-kayu itu. Setelah itu, semua hewan yang mengiringi malik menundukkan kepala mereka kepada Malik, dan berbalik menuju hutan kembali.
“Bang…ada tamu dari Jawa. Cepatlah masuk kau temui dia,” kata Halimah dengan nada yang agak sinis. Malik hanya berdiam dan langsung masuk ke dalam rumah.
“Assalamu’alaikum, apa kabar Lik,” Malik hanya tersenyum dan merangkul tubuhku. Sama seperti yang dilakukan Wak Umar, dia lama memelukku. Aku bisa merasakan air matanya menetes lebih deras dibandingkan tangisan Wak Umar.
“Alhamdulillah, kabarku baik-baik Mir. Seperti yang kamu lihat,” jawabnya dengan suara yang datar. Lalu dia diam membisu lama sekali.
“Bang, rebuskan air. Aku mau mandi…” teriak istrinya dari ruangan dalam. Dan Malik bergegas masuk kedalam untuk melayani permintaan istrinya. Aku ditinggalkan sendirian di ruang tamu. Ada perasaan heran dalam bathinku, dia bisa membuatkan kopi untukku tapi kenapa hanya merebus air saja harus menyuruh suaminya ?
Selesai menuangkan air panas buat istrinya mandi, Malik kembali menemuiku di ruang tamu. “Kamu nggak apa-apa, Lik. Kog wajahmu terlihat kumal begitu,” tanyaku dengan berbisik.
“Nggak pa pa, hanya capek saja. Kamu sudah menikah, Mir. Anakmu berapa ?“ belum sempat aku jawab, istrinya kembali berteriak untuk diambilkan handuk, minta ini minta itu dan seterusnya. Banyak perintah-perintah yang menurutku sangat tidak masuk dalam nalarku. Banyak hal yang seharusnya bisa dikerjakan sendiri oleh Halimah, kenapa harus menyuruh suaminya.
“Maaf, Mir,” kata Malik kembali menemuiku. Aku hanya menganggukan kepala.
“Kamu sudah berapa lama diperlakukan begini oleh istrimu,” bisikku
“Diperlakukan bagaimana, maksudmu ? Aku melakukan ini dengan ikhlas karena aku sangat mencintai dan menyayangi dia,” jawabnya pelan.
“Lik, sebaiknya kita ngobrol di luar saja. Nggak enak nanti terdengar istrimu. Biar aku yang pamitkan.”
“Ndak usah Mir, disini aja..” jawabnya
“Mbak…Malik aku ajak keluar dulu, muter-muter ke desa pingin bernostalgia..boleh ya mbak…,” teriakku dari ruang tamu.
“Boleh mas, tapi jangan sampai malam. Aku takut sendirian di rumah..,” jawab Halimah setengah berteriak dari ruangan dalam.
“Nah..boleh kan. Ayoo..cepet berangkat,” setelah berpamitan kami keluar dengan mengendarai sepeda pancal Malik, aku yang membonceng dia.
Dalam perjalanan aku sampaikan kepada Malik, kog bisa dia begitu sabar menghadapi sikap istrinya yang ketus dan mendominasi keadaan rumah tangganya.
“Aku tidak bisa menyenangkan dan membahagiakan istriku dengan harta, Mir. Mangkanya aku melakukan itu untuk membahagiakan dia dengan cara yang lain. Yang aku mampu,” jawabnya.
“Apa kamu lupa, dengan ajaran yang pernah kita dapat dari Wak Umar. Dalam rumah tangga, kita ini pemimpin lho, Lik. Baik buruknya rumah tangga, tergantung kita karena kita yang menjadi nahkodanya,” kataku. Dia hanya diam saja tidak sepatah katapun meluncur dari bibirnya.
“Kalau kamu mencintai dan menyayangi dia, menurut aku bukan begitu caranya. Bukan kamu jadi pelayan dia, bukan menuruti apa yang dia mau. Kamu harus bentuk dia menjadi wanita yang benar-benar kuat lahir dan bathin,” kataku.
Banyak pria yang melakukan hal gila dan bodoh karena tergila-gila dengan wanita. Mereka rela melakukan apa saja agar si wanita terpikat dan jatuh cinta padanya. Mereka rela mengabaikan kewajiban, rela kehilangan uang dan tenaga, dibela-belain bertengkar dengan teman, saudara, keluarga dan bahkan menukar akidahnya untuk mendapatkan wanita idamannya. Kenapa kamu rela membuat dirimu sendiri depresi dan stress karena takut kehilangan dia,” tambahku sambil menghentikan sepeda di tengah jembatan desa.
Kami berdua akhirnya memilih duduk di tembok jembatan sambil meneruskan obrolan kami.
“Ini sudah takdirku, Mir. Kalau Allah ridho aku juga akan ridho menerima semuanya ini,” jawaban kepasarahan yang konyol menurutku.
“Lik, sebagai muslim, kita semua wajib beriman pada takdir. Tapi pemahaman kamu tentang takdir Allah yang demikian gampangnya kamu tafsirkan itu yang aku tidak bisa mengerti,” Malik hanya diam membisu sambil memandang wajahku.
“Aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakan istriku, tapi kalau dia masih merasa tidak bahagia, sudah menjadi kewajibanku untuk terus berihtiar secara lahir dan bathin agar dia bisa merasakan bahagia,” jawabnya pelan.
“Kamu masih ingat ajaran dari cerita Wak Umar, bahwa wanita itu lebih banyak menggunakan perasaannya. Jika kamu bisa menguasai dan memahami perasaannya, pastilah dia akan simpati dan rela melakukan apa saja buat kamu. Pelayananmu terhadap istrimu, boleh jadi pada awalnya merupakan sesuatu yang spesial. Tapi kalau hal itu kamu lakukan setiap hari, itu bukan lagi hal yang spesial tapi berubah menjadi hal yang biasa dan akhirnya menjadi tidak penting buat dia.”
“Aku ingat, Mir. Maka dari itu aku berusaha untuk bisa menjadi suami yang sesuai dengan keinginannya. Meskipun sulit, aku akan tetap berusaha melayani dia dengan sabar dan ihlas.”
“Sebaik-baiknya istri, jika diberikan sesuatu dia akan bersyukur dan jika tidak mendapatkan sesuatu sesuai dengan harapannya, dia bersabar. Sebaik-baiknya istri adalah yang taat dan hormat kepada suaminya,” tambahku.
“Dia sangat berarti buat aku, Mir. Baik dan buruknya, dia adalah istri aku. Dialah yang terbaik buat aku, Mir. Aku bersyukur dan aku bahagia bisa menikahi perempuan cantik seperti dia.”
“Ah..prekethek dengan ucapanmu itu. Wanita yang cantik itu bukan hanya terlihat cantik saat dipandang, tapi juga cantik dan lembut tutur katanya. Sehingga matapun manjadi sejuk untuk memandanginya dan telingapun tenteram mendengarkan tutur katanya, hatipun terbuka untuknya dan dada menjadi lapang menerimanya serta jiwapun tenteram bersamanya.”
“Terlalu puitis kamu, Mir. Aku paham bahwa pernikahan itu ditujukan untuk bisa mengambil kenikmatan satu sama lainnya. Untuk membina rumah tangga yang shalihah, sakinah mawadah wa rohmah. Wanita yang ideal untuk dinikahi ialah wanita yang nantinya dapat mewujudkan tujuan itu dengan sempurna yaitu wanita yang disifati dengan kecantikan paras secara fisik dan maknawi.”
“Tapi kamu lupa, Lik. Kecantikan maknawi yang dimaksud itu adalah kesempurnaan agama dan akhlak, wanita yang taat beragama dan berakhlak mulia. Wanita yang beragama, dia akan taat menjalani perintah Allah, senantiasa menjaga hak-hak suami, rumah tangga serta anak-anak dan harta suaminya. Senantiasa membantu suami untuk menunaikan ketaatan kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Jika suami malas maka dia yang menyemangatinya, jika suami marah maka dia yang membuatnya ridha. Sedangkan wantia yang berakhlak adalah wanita yang memberikan belaian kasih sayangnya kepada suami dan menghormatinya. Selalu menyegerakan apa yang disukai suami dan tidak menunda-nunda sesuatu yang disuka suami,” mudah-mudahan penjelasanku bisa menyadarkan dia."
“Allah lebih maha tahu dengan apa yang diberikan kepadaku, Mir. Aku bersyukur dan ikhlas menerima Halimah sebagai istriku. Dan aku akan tetap sabar untuk menunggu dia berubah. Sabar itu pahit rasanya, akan tetapi akibatnya lebih manis dari madu.”
“Wis embohlah, aku hanya berpendapat sebagai sahabat. Aku yakin kamu bisa melewatinya dengan sabar dan ridho. Aku tahu kalau orang yang sabar itu akan melihat permasalahan yang dia tidak menyukainya dia akan memperkuat keimanannya untuk melindunginya dari rasa marah. Bagi orang yang ridha, adanya musibah ataupun tidak, adalah sama, karena dia melihat bahwasanya musibah tersebut adalah ketentuan Allah.”
“Amin. Semoga saja Allah teap memeliharaku dengan rasa sabar, ridho dan selalu bersyukur. Ayo Mir, kita pulang. Aku antar kamu ke rumah Wak Umar,” kata Malik.
“Hahaha…takut kena jam malam ya ? “ gurauku.
“Hahaha…ngeceee…yo,” baru kali ini aku lihat Malik tertawa lepas.
“Eh..Lik, boleh aku tanya sesuatu,” kataku sambil aku mengayuh sepeda unta yang membawa kami berdua ke pondok pesantrennya Wak Umar.
“Kowe arep takon opo (kamu mau tanya apa ?),” jawabnya
“Kog hewan-hewan buas dari dalam hutan itu bisa kamu jinakkan, nganggo ilmu opo, Lik,” tanyaku.
“Hehehehe…aku sendiri juga tidak tahu. Mungkin karena aku sering kasih makan dan minum buat mereka dengan rasa kasih dan sayang, sehingga mereka balas budi kebaikanku dengan jinak kepadaku,” jawaban Malik itu sangat tidak memuaskan buat rasa penasaranku.
+++++++
Keesokan harinya, aku mencoba untuk menyelidiki lebih dalam apa yang terjadi dibalik wajah sayunya Malik, disamping ingin menjawab rasa penasaranku atas hewan-hewan buas yang bisa ditaklukan oleh dia. Aku berangkat pagi-pagi ketika aktifitas anak-anak pondok pesantren di mulai.
Aku sengaja melewati jalan yang tidak biasa dilewati orang. Dengan mengendap-endap, aku berhasil bersembunyi di belakang rumah Malik. Aku bisa mendengarkan dengan jelas perbincangan antara Mali dan Halimah.
“Aku sudah capek bang, hidup begini terus. Cobalah tengok, tetangga sudah punya mobil kita sepeda motor aja gak punya. Rumah mereka sudah bagus, rumah kita masih saja reyot,” kata Halimah dengan juteknya.
“Dik, abang kan sudah berusaha sekuat tenaga. Abang sudah coba untuk melamar pekerjaan yang lebih baik. Tapi memang Allah belum meridho apa yang abang ihtiarkan,” jawab Malik pelan.
“Kau ini selalu berlindung dibalik kata-kata ridho Allah, takdir Allah, kuping ini terasa gatal, bang. Abang saja yang bodoh dan pemalas. Kalau abang tidak berupaya keras untuk mendapatkan apa yang kita inginkan, Allah kita itu tidak akan menurunkan ridhonya, tidak akan dia menetapkan takdirnya. Nasib kita ini tidak akan berubah kalau abang tidak berusaha keras untuk merubahnya,” kata Halimah.
“Iya aku tahu, kalau kita menyukuri semua nikmat yang diberikan Allah, pasti Allah akan menambah nikmat itu.”
“Iya…tapi kapan ? Sampai abang mati dimakan cacing pun tak bakalan bisa kaya, apalagi bisa membuatku senang. Karena aku sudah tahu, kalau abang hanya bisa ngoceh tentang agama, bukan berbuat sesuatu bagaimana bisa mendapatkan duit yang banyak. Bosan aku terus menerus hidup begini,” kata istrinya setengah berteriak.
Aku tidak lagi mendengar penjelasan dari Malik atas kata-kata istrinya. Kenapa dia diam saja, seharusnya dia bisa menjawab bahwa Allah menciptakan nasib seseorang itu berbeda-beda. Wajah manusia di dunia ini saja Allah ciptakan satu sama lainnya berbeda, apalagi nasib.
“Aku ke ladang dulu, assalamu’alaikum,” kata Malik berpamitan kepada istrinya, lalu keluar dari dalam rumah dengan membawa cangkul dan pikulan, berjalan menuju hutan dan hilang ditelan lebatnya pepohonan.
Aku masih bersembunyi di belakang rumahnya. Aku intip dari celah pintu belakang rumah, istrinya sedang bersolek sambil bersenandung lagu cinta. Tidak lama kemudian, datang seorang pemuda desa yang rupawan, mengendap-endap masuk pintu utama rumah Malik.
“Ssssssst……sudah aman ya…” kata pemuda tampan itu kepada Halimah setengah berbisik.
“Ah…kau. Berlagu seperti tak tahu saja kebiasaan suamiku yang bodoh dan pemalas itu. Kalau jam segini, dia sudah pergi ke ladang, sayang,” jawab Halimah.
Ada rasa sesak didada, ingin kutinju saja muka pemuda tampan yang pringas pringis menggoda istri orang. Tapi apa dayaku, kalau mereka sama-sama mau.
“Hihihihi….aku kan sudah bilang sama kau, tinggalkan sajalah suami miskin seperti dia. Apa yang bisa dibanggakan dari dia, lelaki yang sudah ditakdirkan sulit untuk kaya. Kasih anak tidak bisa, menyenangkan istri tidak bisa, setiap hari hanya kotbah soal agama. Apa perut ini bisa kenyang hanya dengan berdoa, apa hati ini bisa senang hanya dengan kata-kata,” busyet, mulut pemuda itu benar-benar busuk. Berani-beraninya dia mendustakan agama.
“Hihhihi…betul, sayang. Bodohnya aku kali ya. Aku dari dulu juga merasakan begitu, aku sebenarnya menyesal menerima dia sebagai suamiku. Aku dulu beranggapan kalau dia itu lelaki yang bisa diandalkan untuk bisa menyenangkan dan membahagiakan aku dengan harta dan benda. Kau kan tahu kalau dia itu anak angkat Wak Umar, salah satu orang terpandang di desa kita. Tunggulah sampai pada saatnya nanti, aku akan tinggalkan dia dan kita bisa menikah. Kalau perlu kita racun saja dia, agar warisannya jatuh ke tangan kita..hahahaha…,” ucap Halimah, sambil memeluk dan mencium bibir pemuda itu.
Aku yang menyaksikan dari celah pintu, ikut terbakar hatiku melihat istri sahabatku melakukan perbuatan yang biadab itu.
Perlahan-lahan aku langkahkan kakiku meninggalkan halaman balakang rumah Malik, yang didalamnya dihuni dua manusia yang sedang dimabuk asmara. Aku percepat langkahku menuju hutan belantara, untuk menyusul Malik untuk mengadukan perbuatan istrinya yang keblinger memasukan laki-laki lain kedalam rumah ketika suaminya sedang pergi untuk mencari nafkah.
Aku lewati jalan setapak yang aku yakin adalah jalan yang dilewati Malik. Rasa heran juga menyelimuti hati ini, kenapa dia berpamitan ke ladang ? Mana ada di dalam hutan ada ladang. Setahuku ladang milik Wak Umar yang diberikan kepada Malik berada di pinggir hutan. Ah..kemanakah Malik. Kasihan dia telah dikhianati istrinya. Benar-benar bahlul, kecantikan perempuan ternyata bisa menjadi senjata ampuh untuk menipu laki-laki agar bisa bertekuk lutuk dihadapannya.
Sudah hampir dua jam aku telusuri jalan setapak dalam hutan, belum juga ada tanda-tanda keberadaan Malik. Ada rasa keputus asaan menyusuri hutan belantara ini, ada rasa takut tersesat dan ingin aku putuskan untuk kembali saja sebelum jauh melangkah ke dalamnya.
Lamat-lamat aku dengar suara Malik yang sedang menangis dan mengeluh seperti berdialog dengan Tuhan. Aku datangi suara Malik dengan penuh kehati-hatian agar dia tidak mengetahui kedatanganku. Aku urungkan niatku untuk mengadukan kepadanya tentang apa yang sekarang terjadi di rumah dia.
“Ya Allah, aku harus bagaimana ? Aku mohon ampun kepadamu atas kesulitan hidup yang aku alami saat ini. Sungguh, aku sudah tidak tahu harus kemana, selain memohon kepadaMu,” Ya Allah Ya Tuhanku, Malik ternyata duduk bersila di atas batu besar dan dikelilingi hewan-hewan buas itu. Dan anehnya hewan-hewan itu seperti mendengarkan dan menghayati apa yang di katakan oleh Malik. Aku tidak paham, dia sedang berdoa atau sedang mengeluh kepada Allah.
Aku lihat Malik masih berkomat-kamit seolah khusuk membaca mantra. Lalu dia meneruskan ratapannya sambil berlinang air mata, “Ya Allah, bersemayamlah dalam diriku, agar syetan, nafsu, birahi yang tak terkendali dan juga iblis laknat menjauhi aku. Agar kebahagiaan dunia dan akherat setiap saat bisa aku dapatkan atas petunjukMu karena Engkau bersemayam di bathin dan otakku. Ketika aku malas, cambuklah aku dengan kuasaMu. Aku ingin ada didalam genggamMu. Janganlah buat Aku mengeluh dan mengeluh setiap saat karena penyesalan dan penyesalan yang tidak ada gunanya. Ubah diriku atas kehendakMu.”
Aku sungguh merasa merinding dan setengah tidak percaya, kalau Malik ternyata mengalami pergolakan jiwa. Lalu di berjalan menyuapi satu persatu hewan-hewan itu dengan daging yang entah dia dapat dari mana. Aku melihatnya bahwa kebuasan hewan-hewan itu bisa tunduk dengan kasih dan sayang yang diberikan Malik kepadanya.
Kepala hewan-hewan buas itu dielusnya dengan lembut satu persatu, tidak terlihat ada perbedaan perlakuan kepada mereka. Beberapa saat kemudian, Malik berdiri diatas batu besar dan terlontar dari bibirnya petuah yang disampaikan kepada semua hewan buas yang mengelilinginya, seolah para binatang itu mengerti dengan apa yang disampaikan oleh Malik.
Dia berkata, “Camkan wahai sahabatku semua, rasa cinta itu seharusnya membebaskan bukan membelenggu. Seharusnya rasa cinta itu adalah memberikan kesenangan dan kebahagiaan kepada orang yang dicintainya. Meskipun rasa bahagia dan kesenangan mahluk yang kamu cintainya ternyata mencintai dan menyayangi mahluk lain selain dirimu.”
Dia nasih terus menerocos seperti orang kesurupan,”Kita semua harus sadar bahwa apa yang diberikan kepada kita adalah titipan dari Tuhan. Harta, benda, ilmu, saudara, teman, anak dan juga istri, semuanya adalah titipan dari Allah. Bagaimana kalau Dia meminta kembali titipannya ? Mampukah kalian menerima kenyataan yang sebenarnya bukan pahit kalau memang itu ridho Allah.”
Tiba-tiba Malik berkata-kata setengah berteriak dan aku tidak paham apa maksudnya. Sejenak aku lihat dia berjongkok dan menangis sesenggukan, diikuti raungan dan lolongan suara binatang buas yang mengelilinginya. Merinding bulu kudukku mendengarnya.
Kemudian dia meneruskan kata-katanya seperti orang gila,”Ada pepatah mengatakan, semua itu diawali dari sebuah mimpi. Jika mimpi itu hanya sekedar mimpi dan tidak pernah dikejar untuk dibeli, pasti yang namanya mimpi akan hilang sendiri.
Apa yang harus aku lakukan, memendam dendam dan sakit. Apa salah jika seseorang mencintai orang lain, mengasihi orang lain hanya untuk kebahagiaan dan kesenangannya sendiri yang melebihi cinta dan kasih sayangnya kepada suaminya ? Lalu apa artinya ikatan perkawinan yang mengatur tata krama dan etika untuk mewujudkan rumah tangga yang bahagia dunia dan akherat, jika dalam prosesnya tidak ada rasa bahagia itu ?
Aku jadi mengerti sekarang, sebenarnya dia sudah mengetahui perilaku istrinya. Tapi kenapa dia hanya diam seperti tidak mempunyai daya untuk menghentikan atau meninggalkan saja istrinya. Ah…rasa cinta itu memang gila. Aku sendiri sulit menjawabnya.Karena aku sadar sesadar-sadarnya, bahwa cinta itu soal rasa.
Aku terus memperhatikan dari kejauhan perilaku Malik yang seperti penyair yang sedang mengalami gundah gulana. Lama sekali aku perhatikan, dan tiba-tiba dia mengacungkan tangannya ke atas. Seketika itu pula, semua hewan buas berdiri dan seperti sudah tahu apa yang harus dilakukan. Semua hewan bertebaran mencari kayu, sayuran dan buah-buahan. Pikulan Malik yang kosong sekarang sudah penuh dengan buah dan sayuran, sementara potongan-potongan kayu sudah siap di punggung semua hewan yang berbaris rapi siap mengikuti langkah Malik untuk pulang.
Aku mengikuti langkah rombongan itu berjalan agak jauh di belakang mereka. Aku benar-benar takjub melihat keajaiban Tuhan yang demikian langka di jaman modern seperti ini. Ternyata karomah Tuhan yang diberikan kepada hambaNya tidak lekang oleh waktu dan jaman.
Dan tiba-tiba kejadian yang mengerikan terlihat oleh Malik dan rombongan buas yang mengikutinya dari belakang, ketika berada di mulut hutan. Terlihat dengan jelas, kobaran api melahap rumah Malik. Pikulan yang penuh dengan buah dan sayuran, dilemparkan begitu saja oleh Malik. Semua binatang buas yang mengikutinya, semburat berhamburan lari masuk ke dalam hutan. Malik lari sekuat tenaga menuju rumah mungil yang terlalap jago merah. Aku hanya bisa melihatnya dari kejauhan, sambil berlari-kecil untuk mengikutinya dari belakang.
Kerumunan orang-orang yang berada di halaman rumah, aku lihat hanya diam menyaksikan kobaran api yang semakin membesar. “Istriku, mana istriku….apa yang terjadi,” teriak Malik mencari jawaban kepada kerumunan orang-orang.
Salah seorang diantara kerumunan itu menjelaskan kepada Malik, kalau mereka hanya mendengar suara ledakan dari rumah Malik. “Mungkin gas elpiji yang meledak. Warga yang berlarian ke sini tidak bisa berbuat apa-apa, karena kran air tidak berfungsi. Mau ambil air dari sumur juga tidak ada kerekannya,” jelas Pak RT kepada Malik yang terlihat sangat bingung dan sedih.
Dia berkali-kali menanyakan dimana istrinya. Dan orang-orang hanya bisa menggelengkan kepala. Lalu dia jatuh terduduk lemas di tanah sambil berteriak memanggil-manggil istrinya.
Aku dekati Malik dan mencoba untuk membuat dirinya tenang. Rumah mungil yang dilahap api itu, tiba-tiba roboh. Air mata Malik bercucuran deras dan dari mulutnya terus berkomat-kamit menyebut asma Allah. Dan kebesaran Allah pula, sesaat kemudian hujan turun sehingga api segera padam dengan sendirinya.
Dari puing-puing sisa kebakaran, ditemukan dua mayat yang sudah gosong sedang berpelukan di kamar tidur Malik.
Orang-orang saling berbisik dengan bergunjing membicarakan peristiwa itu. Malik hanya bisa diam membisu, terlihat malu dan bisa aku rasakan bahwa dia mengalami depresi yang sangat berat.
“Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta benda, jiwa dan buah-buahan. Dan berikan kabar gembira bagi orang-orang yang sabar,” aku mencoba menenangkan Malik dengan mengutip ayat Qur’an surat Al Baqarah 155.
Malik terdiam memandangiku, lalu dia berkata,”Saat cinta berpaling, saat rumah tangga berubah menjadi prahara, saat ujian besar yang datang dariNya mengguncang lahir dan bathin, saat kebencian, kesedihan dan kesepian ditanggungnya sendiri, kemanakah seseorang mencari kekuatan agar hatinya tetap terus bertasbih selain kepadaNya.
Aku ridho, Mir. Aku akan mencoba untuk tetap sabar dan ikhlas. Tidak semua keadaan yang buruk akan memberikan hikmah yang buruk pula. Aku yakin itu, gusti Allah tidak tidur dan tahu apa yang terbaik buat hambaNya.”
+++++++
Dua tahun sejak musibah kebakaran yang menimpa rumah malik dan menewaskan istrinya, aku dan Malik aku tidak pernah bertemu dan kontak dengan Malik. Mumpung ada rejeki, aku hari ini mengunjungi dia lagi.
“Assalamu’alaikum…” aku lihat rumah Malik sudah berubah lebih bagus, lebih asri dan banyak tanaman bunga di halaman depannya
“Wa’ alaikumu salam…” kog yang menjawab suaranya lembut banget. Jangan-jangan bukan rumahnya Malik lagi. Seorang bidadari cantik berjilbab persis tokoh Khumaira dalam film Ayat-ayat Cinta, muncul dari dalam rumah.
“Maaf, apa benar ini rumahnya Abdul Malik, “ tanyaku kepada bidadari cantik itu.
“Iya betul, saya istrinya. Bapak siapa, ya ? “ katanya dengan nada yang sangat santun.
“Saya Amir, sahabatnya suami mbak, saya dari Jawa,” ternyata benar juga bahwa dibalik kesulitan pasti ada kemudahan. Dibalik kesusahan pasti ada keberkahan.
Tidak lama kemudian, Malik keluar dari dalam rumah dan langsung memeluk aku dan adegan keharuan seperti dalam film drama itu terulang kembali. Lalu aku membisikan kepadanya,”Alhamdulillah, ternyata Allah telah memberikan ganti yang lebih baik kepadamu. Selamat ya.”
Dan Malik hanya tertawa terkekeh-kekeh, sementara istrinya menyaksikan dengan senyum penuh tanda tanya. Kini aku lihat tidak ada lagi guratan wajah yang layu. Dalam setiap obrolan, dia sekarang banyak tertawa lepas. Dia sudah menjadi pengajar tetap di pondok pesantren Wak Umar.
Dan aku perhatikan, kehidupan ekonominya pun lebih baik dibandingkan ketika dia beristrikan Halimah. Dia sudah punya sepeda motor meskipun kredit. Hanya saja ada yang berbeda dalam diri Malik, sekarang dia sudah tidak lagi diikuti hewan-hewan buas. Dia bukan saja berhasil menjinakkan kebuasan hewan-hewan itu, tapi juga sudah berhasil menjinakkan rasa dendam, kebencian, hawa dan nafsu yang sebelumnya selalu berselimut dalam hatinya.
“Mir, manusia boleh saja merencanakan yang terbaik buat masa depan dirinya. Tapi tetap saja Allah yang menentukan hasilnya,” aku hanya menganggukan kepada sambil menepuk pundak dia berkali-kali. Aku bangga kepadanya dengan kesabaran, keikhlasan dan istiqomahnya, ternyata dia bisa melewati prahara kehidupan yang berat dengan happy ending. Sudah selayaknya dia dapatkan kebahagiaan itu, setelah sekian lama dia nikmati segala ujian dan penderitaan dengan rasa bersyukur.
(******)