Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Ku Biarkan Anakku Mengemis

15 April 2011   19:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:45 106 1
Jam 21.45 malam, setelah rintik hujan berakhir..aku baru turun di terminal kampung melayu. sebenarnya ingin pulang cepat. tapi karena asyik chating dan membaca apa saja di internet, maka lupalah aku akan pulang. Tiba - tiba tanpa terasa jam sudah menunjukkan pukul 21 lewat beberapa menit.
" saaayyy..waaahh..udah malem euy..hayuu pulang!" jeritku pada teman yang sama - sama begadang di kantor. "haaaahh???..yang benerr ciiinn..dah malem yaa??kok gak terasa seehh?" teriaknya, sama kagetnya denganku yang tidak menyadari waktu telah terlalu larut bagi kami untuk nongkrong di kantor. maklumlah..kami dua orang single fighter yang paling malas untuk pulang ke rumah. daripada nongkrong tak jelas, lebih baik stay di office lah. sampe rumah tinggal cape dan tiduurrrr.

dan akhirnya, seperti yang ku ceritakan tadi..hampir jam 10 malam aku baru sampai di kampung melayu. padahal masih ada satu angkot lagi yang harus ku naiki untuk sampai ke rumah, dan memerlukan jarak tempuh kira - kira 20 menit lagi lah.

Capek banget, itu yang ku rasakan ketika naik ke angkot arah Kalimalang Bekasi, ingin rasanya tidur..tapi jarak tempuh yang hanya 20 menit membuatku tak boleh tertidur. Alhasil..dengan muka kuyu dan kelelahan sangat, aku coba untuk menyandarkan kepalaku ke kanan, di bangku belakang supir. Itu posisi favoritku. duduk di belakang supir, selain untuk memudahkanku turun, juga supaya aku tak harus berteriak lantang ketika meminta berhenti. Secara geto looch..suaraku kan terlalu lembut untuk di perdengarkan di muka umum.hehe. Maksuudnya???

Saat menikmati kepalaku yang tersandar itu, tiba - tiba naiklah seorang anak kecil yang mungkin berusia 6 atau 7 tahun. Loh kok? malam - malam gini? Dia berdiri di pintu, dan dengan tangannya yang mungil dia bertepuk sambil menyanyikan sebuah lagu. Nyanyian orang dewasa, dengan suara parau..

Ini hampir jam 10 malam loh? dan dia bernyanyi..dia ngamen? haiii..apa kabar orang tuanya? kemana aj? kok anak sekecil ini masih berkeliaran tengah malam? Tidakkah ia terlalu kecil untuk bekerja?

huhuhu..pikiranku langsung melayang pada anak kecil yang ku tinggal di Kalimantan, merasa sedikit berdosa karena pergi darinya tanpa pamit. Seharusnya sebelum pergi aku sempat menemuinya. Tapi kekecewaan merantaiku lebih besar. (aku kan bercerita di tulisanku selanjutnya).

Kejadiannya kira - kira satu setengah tahun lalu. Saat aku masih menjadi guru privat untuk murid - muridku. Sebagai pelajaran tambahan di luar jam sekolah mereka. Waktu belajar biasanya di mulai pukul 19.00 dan berakhir pukul 21.00 wita. Malam memang, tapi begitulah adanya.

Saat pulang mengajar itulah, biasanya aku akan melewati daerah pertokoan. Sebuah tempat yang dulunya adalah tempat berdagangnya kaki lima tapi kemudian di modernisasi menjadi toko - toko yang rapih. Biasanya, toko - toko itu akan buka pukul 9an pagi dan tutup kira - kira sebelum maghrib. Nah..setelah maghrib itulah, di depan pertokoan tersebut akan di isi oleh pedagang - pedagang kuliner yang bersaing memperebutkan pelanggan.
Sebagai single fighter yang memang malas untuk memasak di rumah, jejeran pedagang makanan tersebut menarik minatku. Kadang aku turun untuk membeli, atau seringkali malah hanya memperhatikan sepanjang jalan, mencoba mengecek seleraku malam itu.

Karena ku lakukan hampir setiap malam, aku sampai hapal apa saja yang ada di sepanjang emperan pertokoan itu.
Termasuk tentu saja, siapa - siapa yang selalu "hadir" di sana.
Dari mulai tukang sate favoritku, tukang parkir yang selalu semprat semprit, perempuan malam yang mulai keluar (aku tau dari si tukang sate, juga karena dandanannya yang berbeda agak norak, dan yang paling penting..karena mereka tak pernah absent, biar hujan sekalipun), sampai sekelompok pengemis yang sibuk merapihkan kardus dan plastik sebagai alas mereka tidur.

Biasanya, jika sedang menunggu sateku di bakar, aku akan menyempatkan diri untuk bertanya tentang siapa saja "penghuni" di sana dan apa saja kebiasaan mereka.
yang paling menarik perhatianku selain perempuan - perempuan malam itu (maaf, aku masih normal untuk tidak jeruk makan jeruk.hehe), adalah pengemis - pengemis yg sibuk menata tempatnya.
mereka terdiri dari beberapa perempuan tua ( akhirnya ku panggil mereka mbah) dan seorang anak kecil berusia 3 tahun.
Mengapa mereka bisa berakhir di sana? kemana anak mereka? bukankah seharusnya mereka tak perlu tinggal di emperan?
Pertanyaan - pertanyaan itu jelas mengusikku.
Akhirnya, daripada sekedar bertanya..ku coba untuk mengenal mereka lebih dekat. Siapa mereka dan darimana asal mereka.

Cerita pun mengalir lancar.
Satu persatu, mbah endang, yang paling lincah dan cerewet selalu memposisikan dirinya menjadi juru bicara teman - temannya.
Ia (mbah endang) mengemis karena hidupnya susah, anak semata wayangnya mengalami keterbelakangan mental, yang akhirnya juga mengemis bersamanya di depan sebuah masjid. Usia anak perempuannya itu kira - kira 25 tahun, tetapi tak lancar berbicara. Tiap seminggu sekali, sang ayah akan datang ke emperan toko itu untuk mengambil uang hasil pendapatan mereka mengemis. (sayangnya kisah ini baru ku ketahui belakangan).
Lalu ada juga seorang mbah yang aku lupa namanya- karena ia tak pernah bicara, kecuali senyum dan mengangguk-Ia menjadi pengemis karena anak tunggalnya yang jadi tentara pindah tugas ke Jakarta.. kehilangan kontak, (saat pindah tugas itu, belum ada fasilitas HP seperti sekarang). Lalu suaminya meninggal setahun lalu. Tak punya siapa - siapa, jadilah akhirnya ia mengemis di jalanan untuk menghidupi dirinya. Tragisnya, beberapa bulan sebelum aku pindah ke Jakarta, aku mendapat kabar bahwa si mbah meninggal di gubuk, di ladang orang. Dan mayatnya baru di temukan 3 hari kemudian. aku menangis mendapat berita itu. ia yang tak pernah bicara, justru terasa bercerita banyak denganku. aku teduh menatap matanya.

Lalu ada lagi satu mbah, biasa ku panggil mbah Deny, karena anak 3 tahun yang selalu di bawanya itu bernama Deny. Ku tanyakan asal usulnya, ternyata dia adalah cucunya si mbah.
Sebelumnya mbah punya satu anak laki - laki yang tinggal di Kalimantan, suami si mbah sudah meninggal. Suatu hari anak laki - lakinya itu pulang ke Jawa dan membawa istrinya yang sudah hamil 5 bulan. Betapa senangnya si mbah, berkumpul kembali dengan anak kebanggaannya.
Tapi sayang, untung tak dapat di raih dan malang pun tak dapat di tolak. 2 bulan di kampung halaman, sang anak lelakinya tiba - tiba meninggal karena kecelakaan. Saat itu kandungan istrinya sudah menginjak bulan ketujuh.
Belum lagi lewat masa berduka, tiba - tiba si istri, menantu barunya itu, melahirkan..pendarahan..dan akhirnya..meninggal.
Bisa di bayangkan..apa yang di hadapi oleh si mbah saat itu? dua kematian berturut - turut, dan kewajiban mengurus satu bayi yang di tinggalkan. Ia yang tidak muda lagi.

Setelah dua tahun umur si bayi, mbah merasa bahwa ia takkan mampu lagi untuk merawatnya, maka terpikirlah ia untuk membawa si bayi pada kerabat ibunya di Kalimantan.Di sertai harapan si anak akan memiliki kehidupan yang layak dan masa depan yang cerah.
Dengan bekal yang di bawa hasil penjualan rumah satu - satunya, berangkatlah ia menumpang kapal ke Kalimantan.Sayangnya..mbah tak pernah ke Kalimantan sebelumnya, dan kota yang ia datangi pun hanya ia tahu sebatas cerita dari menantunya.
Ketika sampai, ia tak pernah berpikir tempatnya akan seluas itu, dan alamat yang di punyanya tidak mengantarkannya pada siapa pun. Tak ada kerabat menantunya, tak ada yang bisa menunjukkan kemana dia harus mencari.  Ia benar - benar buta tak tahu arah, dengan anak kecil berumur dua tahun saat itu.
Ia mengontrak rumah kecil untuk berhemat, ia membeli alat seadanya untuk bertahan hidup, selain itu ia tak memiliki apa - apa. Bahkan kasur untuk tidur sekali pun. (aku tau karena aku pernah ke kontrakannya si mbah).
Perlahan tapi pasti..uang simpanannya pun habis, tak mengerti harus bekerja apa dan tak bisa meninggalkan cucunya pula, akhirnya ia terdampar dan berkenalan di dunia mengemis. Membawa Deny kemana - mana, mengajarkannya menadahkan tangan.
Pulang kembali ke kampung halaman tak mungkin, karena ia sudah tak memiliki apa - apa lagi.

Semua cerita - cerita di atas, tak pernah terbayangkan olehku sebelumnya. Sebuah pelajaran hidup yang membuatku tak bisa melepaskan diri dari mereka. Aku terpesona.
Kehadiranku kemudian menjadi rutin bagi mereka. Setiap pulang mengajar aku selalu menyempatkan diri untuk mampir dan menyapa mereka. Bertanya apa saja yang mereka alami hari itu. Bertanya apakah mereka sudah makan atau belum. Dan mengingatkan mereka untuk tetap menjaga kesehatan, karena cuaca sering tak bersahabat.
Soal makan, mereka tak masalah. Jika malam tiba selalu ada saja orang - orang yang lewat dan iba membawakan mbah - mbah itu makanan atau nasi bungkus. Lebih banyak lagi jika malam jumat, makanan akan berlimpah ruah hasil pembagian orang - orang yang mengadakan yasinan atau pengajian di rumahnya.

Tetapi yang membuatku khawatir adalah, jika hujan turun malam hari. emperan toko tak cukup luas untuk menampung mereka dari tempias derasnya hujan. Walaupun sudah berkurung plastik, tetap saja mereka akan basah kuyup.
Alhasil..Deny lah korban paling sering dari buruknya cuaca. Kalo sudah begitu, esoknya Deny akan nangkring di motorku untuk "jalan - jalan" ke puskesmas.

Kedekatanku dengan Deny menjadi spesial dan berbeda ketika ia sakit. Pernah suatu malam, jam 3 dini hari aku di telepon si mbah yang mengabarkan Deny sakit panas dan tak bisa tidur. Ia selalu memanggil ibu..ibu..ibu..
Ku minta pada mbah untuk berbicara langsung pada Deny, dan memintanya sabar malam itu, aku janji untuk datang secepatnya esok hari.
Mungkin karena aku yang berbicara langsung, perlahan Deny bisa tidur dan menyambutku dengan ceria esok paginya.
Senang rasanya bisa membuat diri ini berarti di mata seorang anak kecil tak beribu seperti Deny.

Bicara tentang "tak beribu", suatu kali aku pernah iseng bertanya pada mbah, bolehkah aku merawat Deny ketika besar nanti. Dan tentu saja tawaran itu tak di tampik dan di terima dengan senang hati oleh mbah.

Deny? Jangan di tanya..kemana - mana ia selalu bercerita bahwa ia punya ibu kini.
Ia tak akan tidur, sebelum aku lewat dan menyapanya.
Aku pun berbunga - bunga menikmati di panggil ibu oleh anak kecil yang tulus dan lucu ini.

Pertanyaan kalian dan teman - temanku pasti sama sekarang. Kenapa harus menunggu dia besar? Kenapa tidak mengambilnya sekarang dan merawatnya sendiri,  bukankah lebih cepat lebih baik? Lagi pula umur 3 tahun kan terlalu kecil di biarkan kehujanan di emperan toko.

waduuuhh..andaikata semudah itu, aku tak kan menolaknya.
Tetapi situasinya kan berbeda, aku masih single, belum pernah menikah. Tinggal sendirian jauh dari keluarga. Belum mapan pula, kalau uang gajiku cukup.. manalah mungkin aku jadi guru privat dan ambil kerjaan malam - malam.
Membawa Deny ke rumahku, harus di pikirkan siapa yang akan menjaganya? si mbah?Pastilah! karena otomatis mereka tak kan bisa di pisahkan kan, secara..Deny kan cucu satu - satunya si mbah dan garis keturunannya yang terakhir.
Jadii..tak mungkin memisahkan mereka, ambil satu harus membawa semua.
Daaann membawa mereka semua, artinya harus kembali lagi ke point gajiku yang tak cukup tadi. Pusing kaaann?
Belum lagi jika berpikir, adakah laki - laki yang mau berbagi beban seperti itu bersamaku. Bagaimana jika tidak ada, haruskah aku memilih dan melepaskan salah satu di antara mereka?
Rumiiitt..!!
Lalu, bagaimana juga tanggapan ibuku nanti jika ku utarakan akan mengangkat anak ?anaknya saja sih tak masalah karena anak yatim piatu, beramal itu bagus, kata ibuku.
Tetapiii..bukan anaknya saja bu, mbahnya juga..
hhsshhhrrgh.. ibuku pasti akan bilang, lebih baik kamu pulang ke Jakarta dan merawat ibu tunggalmu ini, daripada merawat orang lain.Nah loh??

Panjang lebar kan pertimbangannya??

Akhiirrnya..dengan berat hati, melihatnya berpanas - panas ria dan tidur di emperan toko. aku tak bisa berbuat banyak kecuali membiarkannya tetap bersama mbah untuk mengemis dan menadahkan tangan.

Aku sedih tapi itulah yang terjadi..
Anakku mengemis dan aku tak bisa berbuat apa - apa..

*True story, hanya nama anakku saja yang ku ubah.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun