“Jika tak siap kalah maka jangan bertarung” begitu yang sering kita dengar dalam setiap ajang pencarian bakat vocal terutama pada perhelatan politik 9 April yang telah berlalu. Dana Pemilihan umum yang dikeluarkan Negara kurang lebih mencapai 72 Triliyun Rupiah ini, selalu diharapkan memberi output Wakil Rakyat terbaik yang akan duduk sebagai Legislatif. Tak peduli anggaran di luar 72 T yang dikeluarkan Negara, belum termasuk anggaran dana kampanye yang dikeluarkan oleh masing-masing Calon Legislatif (Caleg).
Cerita mengenai kekecewaan para Caleg dalam memperebutkan kursi Legislatif ini pun banyak dirilis media-media, dan meski saya sendiri kemarin ikut meramaikan ajang Pileg sebagai salah seorang kandidat Caleg, saya tak ingin berlama-lama larut dalam kegembiraan dan kekecewaan melihat fakta-fakta yang ada. Dan saya memilih untuk menulis beberapa rekam jejak sebagai bahan refleksi ke depan.
Termasuk dari salah satu status yang pernah ditulis oleh salah serang teman di jejaring sosial yang mengatakan “saat Pemilu kok Masjid dekat rumah sering sekali mengadakan peletakan batu pertama”. Menurutnya ini indikasi bahwa sarana Ibadah juga seringkali dijadikan salah satu ajang untuk meraih simpati pemilih. Maka, tak heran menjelang Pemilu atau proses politik berlangsung, selalu dibarengi dengan munculnya donatur, dermawan yang semoga saja mereka tulus ikhlas memberikan amal.
kliping Koran Media Pembaruan: Jumat 11 April 2014
Dari salah satu desa di Kecamatan Praya Timur Kabupaten Lombok Tengah, pada tanggal 10 April sehari setelah pemungutan suara berlangsung. Warga desa Beleka beramai-ramai mendatangi Masjid yang berlokasi di pinggir jalan raya tepatnya di dusun Penyambak, mereka hendak bergotong royong untuk membuka pavingblock yang belum genap tiga bulan terpasang.
Dari sumber yang saya dengar, pavingblock masjid tersebut akan dikembalikan kepada salah satu Caleg provinsi dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di dapil tersebut karena warga tak terima atas penghinaan dari Timses Caleg bersangkutan yang merasa keberatan karena sumbangan yang diberikan tak sebanding dengan jumlah suara yang di dapat oleh Calegnya.
Belum lagi kasus yang terjadi di Desa Prai Meke Kecamatan Praya Tengah Lombok Tengah. Salah seorang Caleg yang juga Pengurus Kabupaten dari Partai Gerakan Indonesia Raya (GERINDRA) yang kini dilaporkan ke pihak Kepolisian oleh Caleg dan Timses dari Partai Bulan Bintang (PBB) atas kasus pencekikan yang dilakukan kepada Timses karena mensinyalir Timses caleg PBB tersebut membagikan uang kepada warga.
Tak hanya menganggapnya sebagai penyempurna kisah-kisah dan cerita refleksi, akan tetapi tindakan tegas untuk menindak segala bentuk kecurangan yang dilakukan juga salah satu upaya tindakan maju yang lebih penting. Kejahatan yang mencedrai moral dan etika politik tak seharusnya dilakukan.
Dari dua kasus yang sempat dirilis media masa lokal tersebut, menjadi menarik untuk merefleksikan ketidak siapan mental Caleg, konstituen serta perangkat pelaksana pemilu. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sedianya telah memeriksa dengan teliti kesiapan pelaksanaan pemilu, selain itu Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) juga hendaknya memberikan kontrol yang ketat terhadap beberapa bentuk penyimpangan yang terjadi.
Sejauh ini, tindakan tegas harus diberikan terhadap segala bentuk pelanggaran pemilu, perolehan suara yang banyak dengan melakukan deal-deal politik tanpa caleg bersusah payah memeparkan visi-misi dan strategi yang baik dalam prosesnya hanya akan membawa sejarah kelam dan rentetan dosa-dosa dari jejak generasi selanjutnya.
Sangat miris melihat banyaknya perpecahan yang terjadi di masyarakat karena proses politik di bawah. Anggaran politik memang tak murah, tetapi Bangsa ini juga penting untuk merubah sistim merubah cara pandang masyarakat terhadap proses politik yang baik.
Beberapa keluhan terkait soal maraknya transaksi politik uang juga bukan hal yang tabu dibicarakan oleh masyarakat. Tak terkontrol jelas bagaimana proses ini dilakukan. Proses politik solah ingin mengatakn “tanpa uang, sulit menang”. Maka, seberbusa apapun anda berbicara tentang pengawalan proses yang baik, selalu saja ruang perdebatannya akan mentok pada kalimat penutup “wani piro?”
Tapi kita tak ingin berlama-lama meratapi kegagalan karena minim finansial, bahwa proses yang baik untuk sebagian besar orang yang juga berharap ada perubahan harus tetap di kawal. Ini memang proses panjang karena Politik tak hanya soal “memberi pekerjaan” pada segelintir orang. Lebih dari itu, Politik adalah komitmen. "Bonnum commune" dasar argumen. Tanpa itu, politik cuma permen, pemanissementara yang hanya lewat dilidah bahkan membuat sakit gigi. Kita belum terlambat untuk berbenah. Maka partai sebagai wadah politik sudah saatnya kembali melakukan regenerasi, pendidikan politik untuk investasi ke depan jika kita bersepakat “Indonesia harus berubah”. Allahualambissawab