Panganan berbahan baku beras ketan, diaduk bersama perasan santan dan garam. Selanjutnya dibungkus daun pisang yang dipotong kecil-kecil, setelah lembaran kecil daun pisang terisi rapi, barulahsepuluh sampai dua belas bagian tadi disatukan dalam bungkusan daun pisang ukuran besar lalu diikat erat sampai akhirnya direbus sampai matang. Kami menyebut panganan lokal ini dengan nama“Burasaq”atau “Bau rasaq” (arti dalam bahasa Indoensia: Dapat dinikmati/merasakan)
Kemasan panganan sederhana ini cukup unik karena tingkat kerumitannya pada proses menata kemasannya. Tangan Suyatni cukup trampil menata dan membungkusnya, Keterampilan memang soal sense dan sukacita kita untuk melakukannya. Dan saya mengingat pesan sorang Guru, penting untuk konsisten (Istiqomah) dalam melakukan kerja apa saja.
Sehari-hari produk yang dijual Suyatni di pasar desa ini termasuk laris terjual, per ikat Bau Rasaq tergantung dipatok dengan harga Rp.2.500, kita sudah dapat menikmati rasa legit panganan ini apalagi jika ditambahkan tape ketan sebagai pengganti Uli.
Meski usahanya tak menghasilkan pendapatan cukup signifikan per bulan, Suyatni mencoba Istiqomah untuk terus menggeluti usaha ini, menurutnya tak mudah berdiam diri tanpa mengisi hari-hari dengan aktifitas, terutama dapat berkumpul dengan Ibu-Ibu tetanga yang secara sukarela membantunya untuk membuat panganan-panganan produksinya. Sekali lagi, tenaga sukarela dari tetangga, tanpa bayaran. Karena aktifitas Suyatni, memang diketahui mereka. Ibu dua orang anak itu, harus tetap bekerja untuk membiyayai pendidikan dua orang putra putrinya yang tahun ini hendak melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah dan itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Sebagai hasil olahan Panganan tradisional, Bau Rasaq memang tak setenar Tape Bondowoso atau Asinan Bogor (misalnya) padahal, tak jarang Bau Rasaq buatannya itu dijadikan oleh-oleh khas dan kadang Suyatni merasa kewalahan menerima pesanan. Tapi sayang, memang belum menjadi brand yang dilirik sebagai potensi lokal untuk dikembangkan.
Bagi saya Bau Rasaq, bukan sekedar nama panganan lokal, yang sewaktu-waktu dapat dinikmati dan kita peroleh di pasar tradisional desa kami. Lebih dari itu, kelangkaan bahan baku sederhana seperti sulitnya mendapat daun pisang menjadi tantangan sekaligus potensi karena tak jarang Suyatni juga membeli daun pisang dari desa tetangga jika pesanan cukup banyak. Selain itu, akses modal usaha, sarana produksi pun masih menjadi kendala yang dikeluhkan tak hanya Suyatni, rata-rata Perajin panganan lokal di daerah.
Keterbatasan-keterbatasan itu, seolah menjadi seleksi alam bagi usaha-usaha kecil rumahan di pedesaan, yang tak siap dengan naiknya harga bahan baku atau tak cukup kreatif berinovasi sehingga kehilangan pasaran menyebabkan tak sedikit diantara mereka yang gulung tikar.
Hambatan yang juga pernah dikeluhkan Suyatni mengenai sulitnya mengurus administrasi untuk mendapatkan bantuan pinjaman modal dari Bank. Ia juga pernah berurusan dengan rumitnya mengurus administrasi untuk mendapatkan Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP) dimana salah satu point syaratnya, individu/ perusahaan harus memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Sementara dalam logika sederhana, mestinya usaha yang sudah berjalan-lah, dengan penghasilan tetap sesuai batas penghasilan wajib pajaklah yang mestinya dikenai Pajak. Lalu bagaimana bisa, usaha kecil dengan pendapatan dibawah rata-rata, pun dibebani dengan urusan NPWP.
Jika dikatakan usaha rumahan seperti usaha Suyatni (seandainya) ditaksir untuk maju kelak, maka dapat dikatakan hari ini Suyatni akan baru memulai usahanya menjadi usaha yang lebih besar dengan mengajukan pinjaman modal, sehingga Ia berusaha mengurus SIUP-nya maka bagaimana mungkin usaha tersebut terregistrasi wajib pajak sementara ijin usaha untuk melakukan produksi belum ada?. Tumpang tindih pemahaman dan penerapan administrasi pun menjadi salah satu penghambat dari akses produksi dan bantuan modal bagi usaha ekonomi kecil.
Suyatni, seorang Ibu Rumah Tangga, tak tamat bangku SD, satu diantara sekian ribu Perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga yang mungkin tak memahami sejauh itu perananannya terhadap sumbangsih produksi dagangnya terhadap upaya menjaga iklim pasar agar tetap stabil. Tak bayak yang menyadari, pasar-pasar tradisional sejauh ini cukup imun terhadap inflasi.
Mungkinkah memberikan pemahaman ekonomi makro dan mikro terhadap seorang Suyatni dan beribu-ribu lagi pedagang-pedagang kecil lainnya? Sungguh Teori hanya dapat lahir dari ruang empirik. Kadang menawarkan solusi tapi kadang menikmatinya sebagai rasa pahit melihat kondisi. Melihat perjuangan perempuan-perempuan desa seperti Suyatni, yang sekolah saja tak tamat di bangku SD. Namun spirit untuk terus tumbuh dari bawah, memperkuat jalinan kekerabatan dan kerja gotong- royong, mengorganisir diri, berbanding terbalik dengan realitas pembangunan dengan sistim pelayanan administrasi ijin yang berbelit.
Semangat “Bau Rasaq” yang terbungkus dalam kesederhanaan panganan lokal, sejatinya memang mesti juga di rasakan oleh para elit pemangku kepentingan. Jargon-jargon menjelang gawe politik seperti Pemilihan Kepala daerah (Pilkada) dengan janji politik untuk menghidupkan sekian ribu wirausahawan baru, menciptakan lapangan kerja untuk rakyat. Tanpa diikuti dengan sense, niat untuk mau merasakan betapa banyak keluhan yang muncul karena berbelit-belitnya sistim yang ada, hanya akan menambah daftar panjang surplus kata-kata mengatasnamakan “Kesejahtraan Rakyat” diputar berulang-ulang hanya menjadi iklan politik tetapi defisit pada tataran penerapan kebijakan dan pembenahan sistim pelayanan.
“Bau Rasaq” mestinya tak lagi hanya dinikmati seperangkat orang-orang dalam lingkaran suksesi kekuasaan, tetapi juga menjadi aset berharga bagi munculnya tradisi politik baru yang lebih mementingkan semangat bekerja dan pengabdian dari sekedar gandrung Ketokohan pada akhirnya hanya meninggalkan nama besar namun minim prestasi pembangunan Kedepan, semoga saja akan terus ada Pemimpin yang memiliki sense “Bau Rasaq” (mampu merasakan) harapan rakyat, mampu menangkap gejala sosial yang kompleks dan menawarkan solusi penyelesaian persoalan secara cepat dan tepat. Berkomunikasi dengan bahasa yang sederhana, melibatkan semua lapisan masyarakat dalam pembangunan, membawa angin baru perubahan yang lebih baik untuk pelayanan publik di daerah yang kita cintai ini.. Wassalam**
diterbitkan Koran Harian Lombok Post Pada Kamis, 7 Agustus 2014