Kau mencintaiku tapi tak mau menemuiku karena takut menyakitiku. Tak ada ombak tak ada angin. Perahu kita tak bisa berlayar kemana-mana. hanya ada kau, aku, dan kesunyian. Aku pun bertanya:
“Kita mau kemana, mas? Aku tak bisa mendayung perahu ini sendiri?”
Dan kaupun mendayung sekuat tenaga, tapi perahu tak juga bergerak. Aku pun membantumu. Keringatmu membanjir, pipiku basah, entah oleh keringat, airmata atau darah. Tapi mungkin juga karena cipratan air.
“Kita mau kemana, mas?”
Kulihat kau pun tertunduk, matamu meredup, bahumu luruh dan kau pun menggeleng.
“Aku tak tahu, Dek. Aku bahkan tak tahu apakah kita masih bisa ada di perahu ini.”
Kau pun mengambil pelampung dan memakaikannya dan bilang:
“Maaf, aku tak pernah membahagiakanmu, pergilah Dek.”
Dan kaupun membiarkan aku di pantai itu kedinginan hanya dengan pelampung.
End …
Yaaaaa, hikmah yang bisa kuambil: sekeras apapun kita berusaha untuk tetap bisa bersatu di satu tempat atau wadah, tapi kalau tidak ada keinginan atau kesanggupan yang sama tidak akan berlayar, apakah itu sebuah perahu atau sebuah hubungan. Meskipun sekuat tenaga kita mencoba bertahan tapi ketika disodori pilihan untuk pergi, tak mungkin juga tetep disana hanya meminta untuk tetap diperhatikan.
Dan ketika hal ini terjadi, yang bisa kulakukan hanya berharap: Andai aku bisa memutar balik waktu, andai keadaan bisa lebih baik dan andai andai yang lain. Hal ini akan semakin menenggelamkan aku ke pusaran keputusasaan yang semakin dalam dan akan semakin membuatku patah arang. Yang bisa kulakukan sekarang hanya menunggu waktu yang lebih baik.