Sarasehan dengan peserta terbatas ini sebagian besar diikuti oleh kalangan akademisi dari berbagai kampus di Jawa (meskipun bertaraf Nasional, sayang sekali hanya saya satu-satunya peserta dari luar Jawa, apakah karena publikasi atau undangan yang terbatas?)
Sarasehan ini bertujuan untuk mengenali tantangan keindonesiaan di masa datang dan menyiasati metode berarsitektur yang dibutuhkan untuk Indonesia.
Dengan suasana yang serius namun tetap santai oleh ulah para panelis yang sesekali bercanda. Prof. Josep bahkan mengkritik tegas tentang kurikulum pendidikan arsitektur di beberapa kampus besar di Indonesia (khususnya di Jawa) sambil menceritakan bahwa di ITS bahkan belum ada mata kuliah tentang Arsitektur Nusantara, sehingga beliau “nganggur” di bidang keahliannya tersebut.
Tidak bisa dipungkiri bahwa mata kuliah tentang Arsitektur Indonesia, entah dengan nama Sejarah Arsitektur Indonesia, Arsitektur Tradisional dan Vernakular atau Arsitektur Nusantara sering dianggap sebagai mata kuliah pendamping bahkan ada yang hanya masuk kategori mata kuliah pilihan (yang tentu tidak akan dipilih oleh semua mahasiswa)
Bagaimana mau meng-Indonesia karya arsitektur kita jika sedari bangku kuliah saja tidak diajarkan dengan penuh tentang Arsitektur Tradisional Indonesia? Sebagaimana diungkap Oleh Prof. Josep dengan nada sindiran “ Apakah ada kampus di Eropa yang mengajari mahasiswanya tentang arsitektur Indonesia?...Tidak ada. Apakah ada kampus di Indonesia yang tidak mengajari tentang arsitektur Eropa (yunani-romawi) ?...Tidak ada!!
Kata beliau “ Kita memang tertinggal, dan karena itu perlu mengejar ketertinggalan itu. Mengejar ketertinggalan, perlukah meninggalkan tinggalan? “ Arsitektur Nusantara harus setara, sepadan dan sejajar dengan arsitektur Eropa, tegas beliau.
Sudah saatnya kita berani untuk mempelajari arsitektur Nusantara dengan porsi yang lebih besar daripada mempelajari arsitektur manca Negara, sehingga kurikulum pendidikan asritektur perlu dibongkar, ungkap beliau.
Prof. Totok bertanya dengan sejumlah gambar-gambar desain yang diperlihatkan di presentasinya tentang karya-karya arsitek ternama manca negara, mahasiswa mana yang tidak mengenal karya-karya tersebut?...
Informasi yang membanjir begitu pesat tentang karya-karya ternama para arsitek manca negara (termasuk juga dalam perkuliahan) tidak diimbangi dengan ilmu tentang arsitektur Indonesia, arsitektur tradisional yang tersebar dari sabang sampai merauke.
Menurut Prof Totok, Arsitektur Tradisional sering dipelajari dari pendekatan sosial budaya saja, padahal dari sisi teknologi bangunan (Building science) arsitektur tradisional kita kaya akan ilmu yang sangat tepat diterapkan untuk masa kini. Hal ini menjadi peluang sekaligus tantangan kepada para peneliti tentang ilmu bangunan, yang membahas keunggulan arsitektur tradisional, khususnya terhadap iklim tropis. Lihatlah bagaimana atap-atap rumah tradisional yang dibuat tinggi dengan rongga atap yang luas, untuk mengatur sirkulasi udara agar ruangan yang dinaunginya tidak panas (termasuk pada Arsitektur indis dan arsitektur jengki –arsitektur Indonesia perpaduan antara tradisional dan modern-), ungkap Prof Totok.
Dunia yang semakin cepat perkembangan teknologi informasinya membuat tantangan bagi kalangan akademisi dan professional arsitektur, sehingga dosen diharapkan dapat secara tepat mendidik dan mengajar mahasiswa. Arsitektur tradisional ada di sekitar kita, apakah kampus dengan media belajar kreatif dan interaktif mau mendekati dan menjelajahinya? Sehingga tidak ada alasan keterbatasan informasi dan referensi tentang arsitektur tradisional Indonesia. Selanjutnya diikuti dengan penelitian mendalam dan mempublikasikannya dalam bentuk tulisan ilmiah dan buku.
Mahasiswa harus dididik dan diajarkan untuk pandai memilih dan cerdas menafsirkan tentang arsitektur tradisional, sebagaimana diungkap Dr. Yuswadi Saliya. Kita tidak perlu lagi mendebatkan antara arsitektur nusantara dan arsitektur manca Negara, karena pada prinsipnya arsitektur itu berpulang kepada manusianya, manusia sebagai organisme akan terus mengalami proses belajar dan pengaplikasiannya, sambung beliau.
Menarik memang, ketika di sekolah-sekolah arsitektur, mahasiswa sudah diajarkan dan dilatih untuk betul-betul memahami arsitektur tradisional Indonesia, termasuk pada tataran konsep dan filosofi, kita tidak perlu khawatir tentang pengaruh arsitektur manca yang begitu kuat. Karena ketika lulus dan menjadi arsitek, mereka akan lebih cerdas dan cekatan merumuskan konsep untuk mendesain sesuai dengan kaidah-kaidah ke-Indonesiaan (sesuai konteks Indonesia : masyarakat, iklim, sosial, budaya)
Indonesia selain dipahami sebagai kesatuan ideologi politik, perlu juga diingat kembali bahwa Indonesia adalah suatu kesatuan geografis, sebagai negara kepulauan dengan iklim tropis dan kondisi masyarakat dengan suku bangsa yang berbeda-beda. Dengan kondisi yag beragam ini, munculah desain yang beragam pula, tetapi tetap menjadi suatu kesatuan karena tanggap terhadap kondisi iklim dan manusianya.
Arsitektur hadir sebagai bagian hidup manusia, karena manusia adalah mahluk yang senantiasa beradaptasi untuk melangsungkan hidupnya. Sehingga upaya-upaya yang dilakukan untuk berlindung, bernanung dari kondisi alam (termasuk gangguan mahluk lain) adalah upaya berarsitektur. Prof Gunawan mengungkapkan bahwa ketika kita melihat suatu ruang, jangan melupakan siapa dibalik ruang tersebut. Arsitektur syarat akan makna dan nilai.
Prof. Gunawan juga menyinggung tentang sistem kurikulum arsitektur yang harus lebih dikuatkan pada kemapuan analisis dan membentuk pola pikir. Universitas adalah tempat berpikir, itulah yang dilakukan orang-orang di kampus. Dan , penerapannya kemudian dilakukan dalam dunia kerja, secara professional. Sehingga, pola-pola pengajaran didikan Belanda sudah harus ditinggalkan (pola belajar yang bertujuan menghasilakan lulusan sekolah arsitektur sebagai tenaga kerja pembantu/ tukang gambar saja)
Dr. Galih mempertegas bahwa, ketika belajar tentang arsitektur nusantara, jangan hanya melihat bentuknya saja, tetapi juga mengetahui konsep dan filosofinya. Konsep dan filosofi inilah yng harus diterapkan pada desain-desain masa kini. Apa yang harus dikerjakan sekarang adalah : Rekonstruksi kelembagaan, Reorientasi pendidikan dan Riset; sebagai penerapan keberpihakan kepada manusai dan alam nusantara. Beliau juga berkoar-koar menjelaskan bahwa Indonesia begitu luas dan beragam untuk dipelajari, bukan hanya di Jawa saja.
Mengikuti sarasehan ini bagi saya menjadi menarik karena selain bisa bertemu langsung dengan para Begawan Arsitektur Indonesia (Para Guru Besar), juga pada tataran konsep arsitektur, ternyata masih ada beberapa ganjalan di lingkungan akademik, tempat dimana para calon arsitek ditempa. Sehingga, upaya untuk menghadirkan arsitektur yang terbaik untuk Indonesia adalah memang harus dimulai dari dunia pendidikan (kampus). Disamping itu, kalangan praktisi professional saat ini juga harus mau dan berani menonjolkan ke-Indonesia-an dalam desain mereka, sebagaimana telah dilakukan beberapa arsitek Indonesia.
Jadi, jika bukan kita (arsitek dan akademisi arsitektur), siapa lagi yang akan mempersembahkan arsitektur yang terbaik untuk (memperkuat jati diri) Indonesia? Indonesia terlalu luas dan menarik untuk tidak dijelajahi arsitektur tradisionalnya, untuk mengenali konsep dan filosofinya dan menerapkan pada desain-desain masa kini, yang membumi untuk kehidupan orang Indonesia.