Itulah kalimat yang sering terdengar di bidang Arsitektur dan Perkotaan. Ditambahkan pula oleh Prof. Eko Budiharjo (Arsitek, mantan Rektor Undip, ketika memberi kuliah umum di Universitas Khairun, 2010 lalu) : Jika Kota tanpa ingatan, bagaikan orang gila, jika Kota gila, maka Walikotanya adalah orang pertama yg gila. Dengan nada guyonan dan sindirannya pada Pemerintah Kota-kota di Indonesia yang sudah tidak peduli dengan bangunan-bangunan tua.
Tidak bisa dipungkiri bahwa identitas suatu kota terlihat jelas dgn adanya bangunan-bangunan dan kawasan tua. Kota dapat dibaca sebagai artefak kebudayaan, ilmu pengetahuan dan seni dari jejak rekam peninggalan-peninggalannya berupa artefak kota (urban artifact, seperti : gedung, jalan, pelabuhan, tugu, gerbang, lampu, jalur pejalan kaki, jalur kereta,...)
Demikian halnya dengan Kota Ternate, sebuah kota kecil di kepulauan Maluku. Kota pulau gunung api aktif, dengan jumlah penduduk 185.660 jiwa (sensus 2010), luas wilayah 5.795,4 Km2 sementara luas pulau Ternate hanya 76 Km2. Ternate yang kaya akan Pusaka (Cultural Heritage, Natural Heritage, Landscape Heritage), juga sebagai sebagai peninggalan kebudayaan masa lalu, baik kebudayaan Ternate sendiri maupun kebudayaan luar Ternate, seperti Halmahera dan kepulauannya, Cina, Arab, Jawa, Makassar, Portugis, Belanda, Inggris, Jepang (empat yang disebut terakhir adalah Bangsa Penjajah).
Pusaka Ternate
Salah satu Pusaka Ternate adalah Bangunan-bangunan Tua (gedung, benteng, tugu, gerbang, jembatan, pelabuhan, makam/kuburan). Benteng-benteng yang berhamburan di berbagai pelosok pulau-berfungsi sebagai pertahanan maupun pengintai-memberi bukti betapa pentingnya pulau ini bagi bangsa asing. Di pusat Kota (Kel. Gamalama dan sekitarnya) masih tersisa rumah-rumah peninggalan Belanda, baik yang dibangun di dalam benteng Oranje maupun di luar benteng. Rumah-rumah ini tersebar di sepanjang Jalan Merdeka (termasuk yang diperkirakan Rumah yang pernah dihuni oleh seorang ilmuan Inggris, Alfred Rusel Wallace, penggagas teori evolusi setahun sebelum Darwin, yang dikenal dengan Letter from Ternate, 1858)
Rumah-rumah orang Cina dan Arab dapat dijumpai di kawasan Kampung Cina, berupa rumah-rumah dengan arsitektur khas rumah toko Cina dan beberapa rumah berciri Nusantara yang masih dihuni oleh orang-orang keturunan Arab (termasuk bekas rumah Kolonel Arab/pemimpin komunitas Arab). Sementara rumah khas Ternate tersebar di berbagai kelurahan di Kota Ternate. Rumah dengan ciri arsitektur Ternate : Fala Kanci, Fala Boga, Fala Mafana Romtoha. Gerbang sekaligus gedung pengadilan, dikenal dengan nama Ngara Lamo. Jembatan peninggalan Kesultanan Ternate (Dodoku Mari, saat ini berganti nama menjadi Dodoku Kapita Lao Ali) dan jembatan peninggalan Residen Ternate (dikenal dengan nama Jembatan Residen)
Pusaka Ternate Saat ini
Saat ini, rumah-rumah/bangunan tua tersebut sebagian besar telah mengalami perubahan bentuk, bahkan musnah karena diganti dengan yang baru atau di desain baru dengan tidak kontekstual. Sangat disayangkan, musnahnya Tugu peringatan kemerdekaan Indonesia di lokasi halaman benteng Oranje (bekas terminal lama), berubahnya bentuk Benteng-benteng (akibat salah pugar, salah urus, salah desain dan ketidak pedulian para pemangku kepentingan) dan gedung-gedung Tua di dalam benteng Oranje (termasuk gedung Rumah Gubernur VOC, yang dipugar kembali tanpa memperdulikan bentuk asli, saat ini digunakan sebagai kantor Disbudpar Kota Ternate), musnahnya Gedung Sekolah Cina di ujung selatan Jl. Busoiri karena diganti dengan Ruko, rumah-rumah peninggalan Belanda di Jalan Merdeka, yg berubah menjadi Restoran, Kafe, Rumah Makan, Apotik yang menghilangkan bentuk asli/arsitektur indis (termasuk Rumah yang pernah dihuni Wallace, telah hilang bukti fisik gedungnya).
Sementara rumah-rumah berciri arsitektur Ternate di Kel. Soa Sio dan Makassar Timur sebagian sudah rusak karena tidak terawat. Beruntung jika rumah-rumah tersebut masih dihuni oleh ahli waris yang peduli dengan keaslian bentuk dan pelestariannya, seperti beberapa rumah di Kel. Marikurubu, Makasar Barat, Kasturian, Sangaji, Dufa dufa dan bagian Ternate lainnya, masih terlihat asli arsitektur Ternate.
Pola pikir yang menganggap bangunan tua sudah tidak jamannya lagi adalah pola pikir yang ketinggalan jaman. Saat ini, Negara-negara lain berlomba-lomba untuk menunjukkan identitasnya melalui artefak kebudayaan, bangunan tua salah satunya. Orang lain begitu menghargai warisan masa lalu, kita malah melupakannya dan menjadi latah karena globalisasi salah kaprah, ditambah peran media (Televisi) yang begitu kuat memberikan sihir yang mempengaruhi kebudayaan asli, bahwa apa yang tampak di rumah sinetron-sinetron adalah desain yang terbaik, bahwa sesuatu yang bagus itu harus bergaya modern, kinclong atau mengkilap.
Pelajaran Penting
Banyak pelajaran yang dapat kita ambil dari konservasi dan revitalisasi yang dilakukan di negara-negara lain (bangunan tua dirubah menjadi pertokoan/restoran tanpa merubah bentuk -tampak- aslinya, mengundang wisatawan untuk menikmatinya. Pabrik sepatu tua di Jepang yang didesain kembali menjadi pusat perbelanjaan tanpa menghilangkan karakter bentuk asli) serta upaya memunculkan identitas lama berpadu dengan yang baru (desain-desain modern sebagai interpretasi dari nilai-nilai lokal, berdampingan/kontekstual dengan bangunan lama, sebagai pemicu untuk keberlanjutan nilai ekonomi dan sosial), termasuk pelajaran dari gedung bekas kantor Kereta Api Kolonial Belanda, yang dikenal dengan nama Lawang Sewu di Semarang, yang saat ini sudah berubah fungsi menjadi pusat kerajinan tradisional, dengan tetap mempertahankan bentuk asli. Di Ternate khususnya, upaya-upaya ini dapat dilakukan sesuai dengan konteks masing-masing kawasan (disesuaikan dengan kebutuhan kota, norma adat dan budaya luhur Ternate), tidak sekedar ikut-ikutan (copy paste dari Kota –kota lain).
Nasib bangunan Tua yang terbengkalai tidak hanya dialami oleh Kota Ternate, beberapa kota besar di Indonesia juga demikian. Lihat saja pembongkaran benda cagar budaya (BCB) yang dilakukan di Bandung, Bogor, Belitong, Riau, Pontianak. Termasuk kasus yang sedang hangat di media, tentang pembongkaran pabrik es Saripetojo di Solo karena akan dibangun pusat perbelanjaan (mall). Kasus di Solo menjadi menarik karena bangunan Tua tersebut ternyata belum masuk kategori BCB (menurut tim ahli, yg juga masih diperdebatkan sampai saat ini), sementara walikota dan warga sudah terang-terangan menolak pembangunan pusat perbelanjaan tersebut, karena dianggap akan merusak nilai kawasan baik dari segi sosial budaya maupun ekonomi.
Keberadaan bangunan tua adalah bukti kuat tentang suatu peradaban, seni, ilmu pengetahuan dan budaya suatu tempat pada suatu masa, -baik yang sudah dinyatakan sebagai BCB maupun belum-. Bangunan tua juga memberi kekuatan ingatan bersama (collective memory) membentuk ciri khas dan identitas suatu daerah atau kota, atau sekedar sebagai pengingat suatu tempat. Sebagaimana kesan seorang news anchor sebuah televisi swasta nasional kelahiran Ternate yang pulang kampung bulan lalu; saking pesatnya perkembangan kota Ternate dengan bangunan-bangunan baru, dia lupa dimana persisnya rumah orang tuanya. Bangunan Tua sudah selayaknya diperlakukan sesuai konteks (kebutuhan dan keberadaannya sesuai lokasi masing-masing, terkait dengan sosial, budaya, arsitektur dan perencanaan kota)
Upaya-upaya seperti Revitalisasi melalui penggunaan kembali bangunan tua dengan fungsi baru yang sesuai konteks (adaptif re use) diharapkan dapat menjadi solusi untuk melestarikan bangunan-bangunan tua, terutama di kota Ternate, dengan kerjasama yang baik antara pribadi pemilik bangunan tua dan pemerintah (public-private partnership) yang diikuti oleh aturan serta penegakkan yang jelas dan tegas oleh Pemerintah Kota (Perda Bangunan Tua dan Kawasan Pusaka). Revitalisasi jangan hanya dimaknai sebagai kegiatan untuk mengembalikan bentuk/fisik atau memperindah semata (sebagaimana yang dilakukan di Ternate selama ini), terlebih dari itu, revitalisasi adalah upaya untuk mengembalikan kejayaan dari segi ekonomi, sosial dan budaya atas sebuah bangunan tua (atau kawasan tua bersejarah), berdampak pada peningkatan nilai ekonomi masyarakat kota tersebut.
Akhirnya, dengan menjaga kelestarian bangunan tua (termasuk kawasan tua/bersejarah) memperkuat kesan Ternate sebagai Kota Pusaka (Ternate The Heritage City). Apakah Ternate dengan “Bahari Berkesan” bisa?
- jangan sampai kita telah menjadi 'amnesia' beramai-ramai -
Selamatkan Bangunan Tua, Selamatkan Pusaka Ternate !!