Pada masa itu, Islam memancarkan cahaya dari berbagai bidang kehidupan terutama pada bidang pengetahuan yang sangat erat kaitannya dengan term literasi. Kemudian, literasi inilah yang menjadi tonggak majunya dunia pendidikan yang mengakar pada pembangunan sosial.
Isu kemunduran peradaban Islam diperbincangkan dalam diskusi produktif hingga menggali ke belakang sejarah masa klasik, di mana pada masa tersebut kemajuan peradaban Islam mengalir dari hulu ke hilir. Jungkir balik, saat ini peradaban Islam didiagnosis melangkah ke belakang akibat kemampuan literasi umatnya yang luntur. Term literasi pula yang digadangkan sebagai faktor utama mundurnya peradaban Islam saat ini.
Menilik sedikit peradaban Islam di Indonesia, term literasi bukanlah pembahasan yang membuat lesu untuk sekedar dikisahkan. Bahkan, ulama di Indonesia ikut berkontribusi dalam progres edukasi masyarakat Indonesia pada waktu yang tidak sebentar. Â Selain itu, literasi juga ikut berpartisipasi dalam melengkapi naskah-naskah Islam Nusantara.
Produk literasi Islam di Indonesia bahkan telah eksis pada sebelum era percetakan (sebelum abad ke-19) muncul berupa manuskrip-manuskrip berisi tata cara ibadah. Setelah era percetakan, Kiai Soleh Darat pertama kali menyusun kitab Fasalatan (panduan salat) dengan aksara Pegon dan berbahasa Jawa Ngoko. Sampai di sini, Indonesia ikut mengangkat peradaban Islam melalui kearifan lokal yang diakulturasikan dengan tradisi Islam.
Sejak awal berkembangnya Islam di Indonesia telah dibangun sumber daya manusia yang bersifat religius dan nasionalis melalui pembentukan karakter pada pelajar yang menimba ilmu di lembaga pendidikan pesantren atau lumrah disebut dengan santri. Adanya lembaga pendidikan tersebut menambah koleksi tradisi Islam di Indonesia. Kelompok masyarakat yang menetap di pesantren menciptakan berbagai kebudayaan yang khas dan sedikit banyak mempengaruhi sosiokutural di Indonesia.
Budaya di pesantren tersusun atas aktivitas keseharian yang dirancang oleh sistem kepengurusan dengan nilai filosofis yang tinggi. Nilai-nilai kehidupan disertakan dalam rangka mendidik jiwa agar siap menapaki dunia luar yang terus berevolusi. Budaya di pesantren selalu memperhatikan hal-hal kecil hingga besar dengan tujuan ikut menjaga esensi keislaman yang rahmatallil'alamin.
Beberapa budaya di pesantren diantaranya membaca Al-Qur'an dan kitab klasik, menghafal Al-Qur'an dan bait nadzam, kegiatan sorogan, bandongan, bahthu al-masa'il, mushawarah, muthala'ah, dan muraja'ah. Kegiatan-kegiatan tersebut mengasah kemampuan santri untuk melakukan kegiatan literasi mencakup kemampuan membaca, menulis, menganalisis, dan kritis terhadap suatu objek.
Inilah kemampuan dasar ulama terdahulu yang berhasil memproduksi karya-karya fenomenal yang telah teruji relevansinya sebagai panduan berkehidupan hingga mampu memajukan peradaban dunia Islam. Menimbang eksistensi santri di Indonesia, mampukah kelompok masyarakat tersebut berkontribusi mengangkat peradaban Islam yang telah dianggap mundur?
Intervensi ulama dalam produktivitas literasi Indonesia telah terbukti dengan karya tulis yang terus dibumikan hingga kini. Ulama Indonesia menulis karya tulis kitab sebab urgensi pemahaman ilmu agama sebagai petunjuk dalam menjalin hubungan terhadap Tuhan dan sesama manusia.
Meskipun, karya-karya demikian tersebut telah ada sebelum Islam masuk ke Indonesia, ulama Indonesia memberikan sajian baru yang diakulturasikan dengan kebudayaan Indonesia. Tujuannya tidak lain untuk mempermudah masyarakat Indonesia memahaminya dan nilai lebih sebagai warna baru keragaman budaya di Indonesia. Demikian ini adalah salah satu hikmah dari Islam yang ramatallil'alamin.
Pada era milenial saat ini, santri dihadapkan pada perubahan sosiokultural yang terpengaruh dengan globalisasi dan lajunya kemajuan teknologi. Dampak yang muncul harus disaring agar tidak terjadi keretakan budaya yang telah tertata rapi membangun peradaban Islam di Indonesia. Maka, perlu dibangun kerakter santri yang melek dan paham akan nilai religius dan nasionalis.
Konsep religius-nasionalis merupakan perspektif ulama Indonesia terdahulu yang dijadikan benteng dalam kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara. Oleh sebab itu, al-maghfurlah K.H. Maimoen Zubair menjadikannya sebagai pesan cinta yang diwariskan kepada seluruh warga negara Indonesia.
Produktivitas literasi dari budaya pesantren terus berkembang hingga saat ini dengan terciptanya karya tulis ulama. Berbagai kajian keilmuan yang menjawab pertanyaan umat dengan kredibilitas yang bersumber dari karya ulama salaf ditulis oleh generasi-generasi pembaharu. Selain itu, santri juga telah mampu memasuki dunia sastra Indonesia dengan mengajukan nilai dakwah sebagai produk literasinya.
Tradisi yang telah terbentuk harus dipertahankan oleh generasi selanjutnya agar tidak terdapat ruang hampa pada peradaban yang telah berhasil dibangun oleh para pendahulu. Peran santri telah berevolusi menjadi tugas yang harus diemban dengan rasa tanggung jawab dan pengabdian kepada tanah air. Peradaban Islam tidak boleh stagnan hanya karena problem yang sebenarnya mampu diselesaikan secara nyata. Orasi melek literasi harus digerakkan oleh semua pihak agar peradaban Islam kembali melangkah ke depan.