“Bagus banget…,” gumammu, Sayang.
Ya, memang bagus, Sayang. Bulatan cemerlang berpanas 6.000o Celcius itu memang selalu menawan di saat bangkit, dan juga rebahnya. Bulatan itu ibarat tukik yang menetas dan muncul dari timbunan pasir pantai. Tapi, aku tidak setuju jika kamu berkalimat bahwa pemandangan itu adalah yang terindah di jagad ini. Tidak! Aku akan mengatakan, yang terindah adalah siluetmu, yang sedang memandang bola terang itu.
Kutegaskan sekali lagi. Siluetmu indah, Sayang. Kamu tidak percaya? Mari tengok. Tubuh tegapmu menjulang dari bumi. Tatapanmu fokus pada satu tujuan. Jari-jarimu ‘yakin’ menggamit sigaret. Coba saja kamu melihatnya sendiri, mau tak mau, kamu bakal jatuh cinta dengan siluet itu. Hmm…. Agakkah aku menjadi berlebihan terhadap apa yang aku llihat, Sayang? Oh, tidak! Jangan katakan itu. Aku tidak mungkin berlebihan jika menyangkut semua tentangmu. Itu benar.
Kenapa aku menyoal siluetmu hari ini, Sayang? Sebut saja begini. Aku ingin menangkap sosokmu, menuangkannya ke atas kanvas hitam, membiarkan siluetmulah yang memiliki warna, bukan kanvasnya. Setelah jadi lukisanmu, biarkan aku pajang sesukaku. Di mana saja dan kapan saja. Sementara itu, aku pun membiarkanmu melakukan hal yang sama. Kita itu satu, yang memisahkan adalah dua raga yang berbeda. Jadi, apa pun yang kita lakukan, pastinya akan sama. Karena kita... saling memiliki.
Kamu ingat, Sayang, ketika langit berparas kelabu hari itu, yang lalu berubah biru muda cerah saat kita sampai di danau itu? Apa katamu waktu itu ya?! Semesta berkonspirasi?! Bicaramu itu, sepertinya aku pernah membacanya di suatu tempat, yang sebelumnya, aku sama sekali tidak mengerti artinya. Tapi, setelah habis waktu matahari bertengger di langit, setelah melihat banyak hal denganmu, setelah banyak pula mendengar celotehmu tentang hari-hari yang kamu lalui di belakang, aku baru sadar apa artinya dua kata itu. Begitu hebat! Dua kata bisa menjelaskan jutaan kemungkinan, menurutku.
Ketika kamu masih asyik menyimak munculnya bulatan merah itu, aku menulis sesuatu untukmu. Dan, ya, benar kamu bilang, Sayang. Semesta berkonspirasi! Karena kebetulan saja, ada kertas merah muda – agak lusuh wujudnya, aku lupa dapat dari mana kertas itu – di tasku. Begini kutuliskan:
Sayang, kamu bilang, aku selalu ada di hatimu. Kamu tahu?! Kamu pun selalu ada di hatiku. Terima kasih untuk hari-hari penuh warna yang kamu suguhkan. I don't want to say goodbye. Let’s say, see you next time. That's... better, Carinõ.
Love you, always.
Tak kuberikan setuntasnya aku menulis, Sayang. Aku simpan dulu tulisan ini. Kuberikan nanti, menjelang tubuhmu menghilang di balik pintu keberangkatan. Mungkin saja tulisan itu konyol, tapi aku menulisnya dengan sebanyak-banyaknya warna yang dapat kutemukan di kotak memoriku. Kelihatannya memang tinta hitam dari pena biasa, tapi cobalah membacanya dengan hatimu. Kamu akan melihat pelangi, sama seperti siluetmu di atas kanvas hitam tadi.
Tiba-tiba saja kamu berbisik, ketika aku tengah melipat kertas merah muda yang selesai kutulisi.
“Kamu harus pindah dari kota ini,” ucapmu.
“Kenapa?”
“Tempat ini bukan untuk ditinggali dalam jangka waktu lama. Tempat ini cuma ‘baik dan ramah’ untuk kunjungan singkat. Tiga atau empat hari, paling lama satu minggu.”
“Kenapa?”
Aku tidak tahu, Sayang, bibirku selalu berucap kata tanya itu. Aku belum mengerti ke mana arah tuturmu kali ini.
“Karena aku peduli kamu,” jawabmu, lalu kecupmu mendarat sempurna di keningku.