Saya bukanlah seorang guru yang mengajar anak-anak di sekolah dasar atau menengah, tapi yang saya ajar adalah anak-anak usia SD bahkan awal SMP untuk bisa pintar membaca Al-Qur’an. Pekerjaan ini saya lakoni sudah sekitar tiga tahun. Dengan berbekal bisa membaca huruf-huruf Al-Qur’an saya lalu menawarkan diri untuk ikut mengajar di kelas tersebut. Saya sangat bangga dengan profesi ini. Jika ada yang bertanya soal pekerjaan, saya akan mencantumkan profesi guru mengaji sebagai salah satu pekerjaan saat ini. Kebanggaan ini pun hasil turunan dari guru saya, Ust. Muhammad Rusli Malik.
Kami bertiga mengajar kurang lebih 60-an santri. Setiap hari Senin-Sabtu, selama 3 jam (pagi dan sore). Kegiatan belajar mengaji dimulai jam 7 pagi sampai jam setengah 9. Kemudian dilanjutkan pada sore harinya pada jam 4 sampai jam setengah 6. Di antara kedua teman yang mengajar (lulusan S1), saya satu-satunya yang berprofesi ibu rumah tangga. Tapa latar belakang akademik, hanya karena kecintaan kepada dunia pendidikan anak, saya mau terjun membantu lembaga ini.
Jika selama ini pengetahuan tentang pendidikan anak sebagiannya adalah teori, maka dengan mengajar anak-anak ini, saya bisa mensinergikan antara teori dari buku dan praktek langsung di lapangan. Kalau dalam buku diajarkan bagaimana anak-anak diarahkan untuk mampu menemukan penyelesaian sendiri setiap kali mengalami masalah, maka dalam prakteknya ia menjadi sebuah tantangan ketika guru mesti trial and error dalam pelaksanaannya.
Awal-awal diterapkannya teori tersebut, saya masih terkadang salah skenario. Anak yang bertengkar dengan temannya saya hadapi dengan cara dialog untuk anak yang kesakitan karena terjatuh dari atas meja. Atau terkadang karena faktor emosional yang kurang terkontrol, anak-anak saya bentak dan marahi di depan teman-temannya. Mungkin guru-guru banyak yang tidak peduli dengan perasaan anak-anak didiknya. Tapi bagi saya, anak-anak adalah manusia yang memiliki hati dan perasaan yang sama dengan orang dewasa.
Menghadapi anak-anak butuh kesabaran. Mengajarkan sesuatu perlu step by step. Mereka butuh detail. Karena persepsi orang dewasa tidaklah sama dengan persepsi anak-anak. Menyuruh mengambil barang di suatu tempat, perlu dirinci barangnya seperti apa, letaknya dekat apa, dan sebagainya. Kesalahan kita para orang dewasa umumnya, ketika anak-anak salah mempersepsikan sesuatu, adalah memarahi anak. Menganggap mereka tidak mau mendengar, malas, dll. Kasihan anak-anak ini.
Saya suka menatap mata anak-anak. Dalam bening sorot matanya tersimpan kerinduan untuk memberi kebahagiaan kepada orang dewasa di sekitarnya. Saya tahu itu karena sering berbincang dengan mereka. Saya senang mendengar celotehannya, misalnya tentang adiknya yang suka merampas bukunya, tentang kakaknya yang sekarang sudah duduk di SMU, atau bagaimana ia semalam membantu ibunya mencuci piring, dll.
Anak-anak hanya butuh teling-telinga orang dewasa untuk mendengarkan ceritanya. Tanpa perlu memberikan tanggapan atau solusi apa-apa atas ceritanya. Mendengarkan mereka adalah salah satu pertanda bahwa orang dewasa di sekitarnya mencintainya.
Seiring waktu, saya banyak melatih kecakapan-kecakapan dalam menghadapi anak-anak didik. Berbeda dengan sebelumnya, dimana latihan-latihan yang saya lakukan hanya terbatas pada anak-anak dalam rumah, ditambah kemenakan-kemenakan yang jumlahnya sudah mencapai 20 orang.
Pada dasarnya teori tanpa praktek akan terasa kering, begitupun praktek tanpa landasan teori, ibarat berjalan dalam gelap. Berjalan tanpa panduan pasti akan memakan waktu yang lebih lama karena minim teori atau pengalaman dari orang lain. Untuk dapat bertahan dalam proses tersebut, cinta adalah salah satu kuncinya. Cinta pekerjaan, cinta anak-anak.
*********************