Baru saja saya dapat telfon dari adik perempuan yang menceritakan soal anaknya yang kabur dari pesantren “x”. Sebenarnya beritanya sudah heboh sejak hari pertama si anak meninggalkan pesantren tersebut. Hanya kembali diceritakan ulang ke saya, untuk mendapatkan dukungan yang mengharapkan uang masuknya bisa kembali walaupun mungkin hanya setengahnya saja.
Ceritanya, si anak yang baru saja menyelesaikan SD-nya ini oleh ibunya dimasukkan ke sebuah pesantren yang masih satu propinsi dengan tempat tinggal orangtuanya. Jaraknya kurang lebih 700 km. Untuk sampai ke pesantren ini dibutuhkan waktu sekitar 12 jam dari tempat asalnya.
Sejumlah uang masuk pun dibayarkan ke pihak pesantren. 2 minggu pertama si anak mulai beradaptasi dan belajar bersosialisasi dengan teman-temannya di tempat tersebut. Hal itu tidak terlalu sulit mengingat beberapa teman SD-nya pun melanjutkan di tempat yang sama.
Setelah 2 minggu, karena menjelang Ramadhan murid-murid diliburkan. Banyak dari anak-anak ini yang kemudian memilih untuk pulang ke rumah orangtuanya masing-masing. Termasuk si ponakan ini. Setiap bercerita soal situasi pesantren, ia sesekali menyelipkan rasa agal kesal, jengkel, atau perasaan sejenisnya yang bisa dimaknai “tidak siap”nya ia untuk mengikuti aturan-aturan yang ada di dalam pondok tersebut. Namun oleh orangtuanya ia masih tetap diminta untuk mencobanya lagi. Mungkin semua itu disebabkan oleh faktor “belum terbiasa” saja.
Si anak pun kembali diantar oleh ayahnya untuk masuk kembali setelah libur 2 pekannya berakhir. Sayangnya, kehadiran kedua kalinya ini rupanya adalah puncak dari perasaan tak tertahankannya ia berada di tempat tersebut. Maka ia pun nekat kabur bersama dua orang temannya. Orangtuanya kaget bukan main, terlebih lagi pihak pesantren yang seperti kebakaran jenggot mendapat laporan dari orangtua santri tersebut.
Aksi nekatnya pun tak tanggung-tanggung. Bersama termannya, ia membayar seorang seniornya untuk menunjukinya jalan keluar meninggalkan pesantren. Karena tempat tersebut agak terpencil masuk jauh dari pemukiman warga, maka dia gunakanlah ojek untuk bisa mencapai pinggir jalan raya. Di sana mereka lalu menahan mobil angkutan yang lewat yang mengarah ke kota tempat keluarga anak-anak ini tinggal. Si senior pun kembali pulang ke pondok. Berdua dengan temannya ia melanjutkan perjalanan ke arah kota.
Karena belum mengenal medan atau jalur yang dilalui, kedua anak usia 13 belas tahun ini sempat salah turun. Rumah yang dituju masih sangat jauh (sekitar 10 km) mereka sudah minta turun dari mobil yang mereka tumpangi. Terpaksalah dengan berjalan kaki, mereka menyusuri pinggir jalan besar yang akhirnya si ponakan inisiatif untuk menahan lagi mobil ‘pete-pete’ (angkot) yang mengarah ke kota.
Alhasil, si anak tiba di rumah omnya sekitar jam 8 malam. Seisi rumah tentu saja kaget dengan kemunculannya yang tiba-tiba pada malam itu, dan tanpa pemberitahuan sama sekali. Orangtuanya pun ditelfon, dikabari soal insiden tersebut. Ujung-ujungnya si anak sudah tidak mau lagi kembali ke pesantren. Baik dengan bujuk rayu, iming-iming, ancaman, semua sudah tidak mempan untuk mengembalikan hatinya ke sana.
Siapa yang harus bertanggung jawab?
Jawaban penulis adalah: kedua pihak harus bertanggung jawab terhadap terjadinya kasus-kasus seperti ini. Ada dua kemungkinan yang menjadi sebab si anak tidak mau lagi kembali ke pesantren tersebut, di antaranya:
Pertama, ia belum cukup disiapkan untuk belajar dan tinggal di sebuah asrama yang bernama pesantren. Yang mana sangat berbeda dengan dunia luar atau lingkungan tempat tinggal si anak selama ini. Misalnya dalam hal peraturan dan tata tertib.
Kedua, pihak pesantren yang belum mampu mengakomodasi berbagai bentuk perilaku, sifat, dan karakter anak yang berbeda-beda.
Sebagaimana guru pada sekolah-sekolah umum lainnya, pembina di tempat-tempat seperti ini pun semestinya mampu melakukan pendekatan-pendekatan tertentu dalam menghadapi sifat anak yang beragam. Apalagi si anak harus tinggal dalam waktu yang lama di tempat tersebut. Berbeda dengan siswa di sekolah-sekolah umum yang setiap hari bisa bolak-balik bertemu dengan orangtua dan keluarganya.
Ketika kemudian orangtua dengan berat hati harus memindahkan si anak ke tempat lain, tentunya wajar kalau permohonan uang kembali min 50% bisa dikabulkan. Mengingat kasus yang menimpa anak terjadi di lingkungan pesantren, maka otomatis menjadi tanggung jawab pihak pesantren. Parahnya lagi, si anak kabur tanpa sepengetahuan para pengawas atau pembina yang bertugas pada saat itu. Jika terjadi sesuatu yang menimpa si anak, tertabrak atau kecelakaan dalam proses pelariannya itu, tentu pihak pesantren juga yang akan dimintai pertanggungjawaban.
Meski dalam peraturan dikatakan uang biaya masuk tidak akan dikembalikan apa pun nanti yang terjadi, lalu bagaimana dengan kasus kaburnya si anak yang masih menjadi tanggung jawab pihak pesantren? Bisa-bisa malah ia yang akan dituntut, karena telah melalaikan tanggung jawab mengawasi dan membina anak santrinya.
Pada dasarnya sebuah institusi, sekolah, lembaga, atau pondok pesantren pada dasarnya bagus, hanya saja dalam pelaksanaannya, tetap masih menyimpan potensi kasus-kasus yang menjadi pekerjaan rumah bagi pihak pengelolanya bersama para orangtua santri yang mondok di tempat itu.
Artinya, masalah yang terjadi di atas adalah sebuah ‘musibah’. Dibutuhkan empati tersendiri dalam menyikapinya. Laiknya produsen dan konsumen, ketika si konsumen tidak puas terhadap suatu barang atau jasa, tentu tidak kemudian dibalas dengan sikap yang sama dari pihak produsen. Yang dibutuhkan saat ini adalah empati dan kearifan dalam mencari solusi yang terbaik untuk kedua belah pihak.