Apakah betul menjadi orangtua itu gampang? Tidak mungkin. Pekerjaan menjadi orangtua itu adalah pekerjaan terberat dan seumur hidup. Jadi tidak mungkin gampang. Barangkali ini adalah salah satu jawaban protes jika ada yang mengatakan pekerjaan ini gampang.
Saya termasuk orang yang protes jika benar ia gampang. Yang ingin saya sampaikan di sini adalah bahwa ada satu kiat atau cara yang sangat jitu jika seseorang ingin menjadi orangtua yang berpengaruh terhadap anak-anaknya. Bukan bermaksud mengajari, namun ini adalah contoh dari pengalaman sehari-hari saya sebagai orangtua ditambah dengan sumber-sumber referensi dari buku.
Pertama-tama, sebagai orangtua kita perlu memahami pembagian peran di dalam keluarga. Ibarat pemimpin dalam sebuah organisasi, orangtua pun sesungguhnya adalah pemimpin bagi anak-anaknya. Jika ini dipahami dengan baik, maka masing-masing pihak diharapkan dapat menjalankan perannya dengan sebaik-baiknya.
Sebagai pemimpin, orangtua adalah panutan, role model, guru, mentor, fasilitator, dan fungsi-fungsi kepemimpinan lainnya. Siap menjadi orangtua berarti siap pula menjadi pemimpin. Salah satu kekuatan seorang pemimpin adalah mampu mengajak orang lain untuk ikut bergerak bersama dengannya. Bukan hanya memberikan perintah, tapi turut serta melakukannya.
Ada satu aturan dasar yang jika ia dipahami dan dilaksanakan dengan baik, akan menghasilkan perubahan yang sangat besar. Yakni seorang pemimpin jika ingin berhasil dan secara efektif membuat perubahan ke arah yang lebih baik, mesti mau melakukan pekerjaannya dua kali lipat lebih banyak dari orang-orang yang dipimpinnya. Artinya, perubahan itu dimulai dari diri sendiri, dengan kadar yang lebih banyak dari pengikutnya. Jika hal ini tidak mampu dilakukan, maka jangan heran kalau hasilnya pun setengah-setengah alias tidak memuaskan.
Gampangnya di mana?
Orangtua biasanya identik dengan “perintah”. Jadi orangtua yang memerintah atau menyuruh itu adalah wajar. Kan mereka adalah orangtua kita? Untuk penilaian norma agama, maka hal ini bisa dibenarkan. Karena agama mengajarkan kita untuk menuruti perintah orangtua sepanjang ia tidak bertentangan dengan perintah Tuhan.
Namun agama juga di sisi lain mengajarkan kita untuk senantiasa berkasih sayang dan lemah lembut dengan sesama manusia. Maksudnya, meskipun orangtua boleh memerintah/menyuruh anaknya, namun ia akan jauh lebih baik jika disertai dengan metode yang baik dan tepat pula. Tidak dengan mengedepankan kekerasan.
Misalnya, orangtua yang menyuruh anaknya sholat, mengaji, rajin baca buku, dll. Sebelum orangtua memerintahkan si anak, maka alangkah bijaknya jika mereka terlebih dulu melakukannya. Sehingga si anak pun akan dengan senang hati melakukannya. Dengan cara seperti ini, orangtua tidak butuh waktu lama untuk menyuruh si anak, tidak perlu pakai acara adu mulut dengan si anak, dan serentetan aksi yang tidak mengenakkan lainnya.
Menyuruh anak bangun subuh jam 5 misalnya. Nah, orangtua perlu bangun lebih di awal lagi. Minimal jam 5 juga. Tapi kalau mau lebih berhasil lagi, usahakan bangun jam 4. Kenapa? Karena hukum sebab-akibat yang efektif bekerja adalah: Jika pemimpin melakukan 1 maka yang dipimpin hanya melakukan setengahnya. Menceramahi anak untuk jangan terlalu lama menggunakan internet, lha kita sendiri setiap jamnya selalu stand by online tanpa tujuan yang jelas. Begitu pula sebaliknya, bahkan lebih parah. Orangtua melakukan 1 perbuatan salah, si anak biasanya akan melakukan 2 kali lipat lebih banyak. Intinya: meniru kesalahan bisa dua kali lipat hasilnya. Meniru perbuatan yang benar hanya bisa setengahnya saja.
Ini berlaku umum di mana pun ia diterapkan. Dalam keluarga, sekolah, organisasi, dan bahkan negara. Tidak heran jika kita melihat banyak negara dengan pemimpin yang sederhana justru memiliki power dalam memimpin rakyatnya dibandingkan bangsa dengan pemimpin yang hidup jauh di atas garis kesederhanaan.
Sehingga akan semakin jauhlah dari harapan, jika sebagai orangtua, kita melakukan hal-hal yang tidak mengarah pada perubahan ke arah yang baik, tapi justru melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma kemanusiaan. Karena anak-anak tidak mendengar dengan telinganya, akan tetapi mereka mendengar dengan matanya.