Beberapa dekade sebelum masa sekarang, seorang Ibu yang memilih tinggal di rumah, menjaga anak, dan membesarkannya, beserta setumpuk pekerjaan sehari-hari rumah tangga, adalah sosok yang ideal yang umumnya dilakoni oleh para perempuan yang telah berkeluarga.
Namun, seiring waktu dan perubahan zaman, telah terjadi pergeseran paham di kalangan masyarakat, khususnya kaum wanita. Bahwa perempuan selayaknya juga memiliki peran di tengah masyarakat, dimana mereka pun bisa berkarir setinggi mungkin, mengiringi laju paham emansipasi yang sementara berkembang pada saat ini.
Demikianlah gelombang paham dan kehidupan manusia. Tidak ada yang stagnan, atau berhenti. Semua mengalami pergolakan dan perubahan, seperti pemeo yang mengatakan: tak ada yang tetap di muka bumi ini kecuali perubahan itu sendiri.
Mencermati kondisi seperti ini, tentu dapat menimbulkan banyak kebingungan dan berbagai bentuk ketidakseimbangan emosi dan pikiran seorang Ibu. Apalagi jika ia sendiri secara pribadi tidak memiliki pegangan prinsip yang dapat menuntunnya dalam melalui periode-periode perubahan budaya dan masyarakat yang terjadi di sekelilingnya.
Sesungguhnya hal seperti ini tidak hanya menimpa kaum Ibu, namun manusia dewasa pada umumnya. Kenapa Ibu yang menjadi fokus pembicaraan di sini, karena perannya yang sangat menentukan baik di tengah keluarganya maupun di tengah masyarakatnya.
Membangun fondasi yang kuat
Sebagai manusia biasa, sosok Ibu tidaklah berbeda dengan sosok Ayah. Masing-masing memiliki peran yang spesifik dan berbeda antara satu dengan yang lainnya. Allah SWT mengaruniai kedua jenis manusia ini akal untuk berpikir dan mengelola kehidupannya dengan sebaik-baiknya. Olehnya itu, sekali lagi yang mampu membedakan antara manusia yang satu dengan yang lainnya, adalah amal salehnya. Lalu faktor apa yang membedakan amal manusia yang satu dengan yang lainnya? Tak lain adalah akal dan pengetahuannya.
Jika pemetaannya sudah seperti ini, maka secara sederhanan, dapat disimpulkan bahwa antara Ayah dan Ibu masing-masing memiliki potensi untuk menjadi manusia yang sempurna di mata Sang Pencipta. Namun bagi Ibu, poin lebihnya adalah karena secara psikologis ia sangat dekat dengan anak, dikarenakan proses mengandung, melahirkan, dan membesarkan yang tentu saja tidak dialami oleh Ayah.
Sungguhpun demikian, kondisi ini tetap kembali pada sejauh mana kemampuan Ibu mengelola semua potensi dan kelebihan yang ada padanya. Ibarat pisau bermata dua, ia bisa menjadi kelebihan sekaligus bisa jadi kelemahan.
Jika kelebihan tersebut mampu ia isi dengan ilmu pengetahuan yang cukup, maka ia dapat menjadi kekuatan, misalnya: ia mampu menerima segala kesulitan dan beban beratnya selama masa kehamilan, menyusui, dan masa pengasuhan tersebut dengan kepasrahan dan keikhlasan. Namun jika yang terjadi sebaliknya, maka tentu ia akan menjadi sebuah kelemahan. Misalnya, ia dengan mudah menyerah dengan segala beban kerepotan yang harus ia pikul selama masa-masa tersebut. Lebih banyak keluhan dan omelan yang keluar dari mulut dan pikirannya, dan lain sebagainya.
Untuk periode-periode selanjutnya, meskipun mungkin saja secara fisik anak tidak lagi selalu berdekatan dengan Ibu, dikarenakan masa-masa sekolah dan kegiatan anak yang sudah semakin beragam, dan begitupun sebaliknya, namun fondasi kedekatan di antara kedua belah pihak sudah terbangun dengan kuatnya, maka untuk seterusnya, mereka sisa menjaga dan mempertahankannya dengan cara terus memupuk, menyiraminya dengan kasih sayang, cinta, dan relasi-relasi yang sehat di antara keduanya.
Jika fondasi sudah kuat, maka untuk melengkapinya dengan tiang-tiang penyangga, atap, dinding, dll, dapat dilakukan seiring waktu dan kebutuhan anak.
Pengaruh Ibu dalam membentuk karakter keluarga
Ibu yang mampu mempengaruhi adalah Ibu yang memiliki pengetahuan yang memadai. Ia mampu membaca dan mengenali karakter dan kepribadian setiap anggota keluarganya terkhusus anak-anaknya. Jika kemampuan ini mampu ia pertahankan dan asah, maka akan jauh lebih mudah mengontrol dan mengendalikan perilaku-perilaku yang menyimpang dalam keluarganya, bahkan mampu mengantisipasinya sebelum terjadi.
Dalam sebuah diskusi, pernah ada yang melontarkan pernyataan, bahwa sudah banyak teori pengasuhan anak yang ia baca, namun seringkali kondisi di lapangan tidak semudah dalam teori. Nah, di sinilah tantangannya. Tanggapanku saat itu, memang tidak mudah mengasuh anak. Namun bukan berarti tidak bisa. Asalkan Ibu mau dan sungguh-sungguh berkomitmen, maka segala teori itu akan terwujud dengan mudahnya.
Peran seorang Ibu adalah sebuah peran seumur hidup dan berkelanjutan dari generasi ke generasi. Jika tidak diiringi dengan pengetahuan dan kesungguhan, maka seseorang akan dengan mudah menyerah dan memilih sikap apatis di tengah perjalanannya. Terlebih lagi dengan kompleksitas masalah yang beruntun dengan kondisi lingkungan masyarakat yang kadang tidak kondusif, membuat tugas tersebut menjadi semakin berat dan sulit.
Seorang Ibu mampu membuat masalah yang berat menjadi ringan, mampu mengarahkan suasana rumah yang berantakan menjadi lebih teratur, mampu menyetir pikiran setiap orang dalam keluarga ke arah yang dikehendakinya. Mampu mengubah perilaku yang buruk menjadi baik, dan segudang lagi kemampuan yang lain.
Semua ini mampu dilakukan oleh Ibu dengan satu catatan: Ibu memiliki ilmunya.