Jika ingat peristiwa ini saya terkadang tanpa sadar senyum-senyum sendiri. Geli campur iba dengan petugas Pajak Bumi dan Bangunan ini. waktu itu sekitar tahun 1996 kalau tidak salah, kami sedang mengurus soal kepemilikan rumah yang sekarang kami tempati. Dan salah satu berkasnya ditangani oleh seorang petugas yang ketika itu datang ke rumah di saat suami saya kebetulan sedang tidak ada di rumah. Beliau membawa sebuah map yang berisi berkas-berkas yang diperlukan untuk urusan pembayaran PBB kami.
Saat ia datang, ia sebelumnya bertanya: “Bapak ada ya, bu?” Saya jawab, “Bapak sedang keluar. Ada apa ya, pak?” Ia pun duduk, sembari mengeluarkan map yang rupanya berisi dokumen yang diperlukan dalam mengurus PBB tersebut. Saya kemudian menerimanya sambil tak lupa mengucapkan terima kasih atas bantuannya.
Ia masih tetap duduk, tidak berusaha beranjak dari kursinya. Malah ia mengeluarkan rokoknya sebatang, menyalakan korek apinya, dan duduk santai. Dalam hati saya heran, urusannya apa lagi ya koq bapak ini belum juga pergi? Jadi saya bertanya, “Mungkin ada yang belum selesai, pak? Nanti saya sampaikan ke bapak.” Dia jawab: “Biasa bu. Ada uang rokoknya?” Oh, begitu? Dengan lugu dan naifnya saya balik bertanya.
Sambil dalam hati terus merasa heran, koq bapak ini berani “minta” uang rokok ya? Saya keluarkanlah selembar uang 5000 rupiah. Lumayan sih nilainya waktu itu. Masih bisa dapat sebungkus rokok murah, pikirku. Hihihi…….. Jujur dalam kepala saya saat itu, benar-benar saya memberinya “uang untuk beli rokok” Tidak berusaha melebihkannya. Ini pun saya masih membatin, itu kan sudah tugasnya pak, koq masih minta bayaran? Tapi bapak itu tetap menerimanya dan pergi setelah pamit.
Sepulang suami ke rumah, saya ceritakanlah kejadian tadi siang. Ia tertawa sambil bilang: “Haha, mana ada sekarang harga rokok segitu?” yah, saya mana tahu harga rokok yang terendah berapa? Pesan yang mau saya sampaikan ke bapak itu adalah, kalau mintanya uang rokok, yah saya kasih uang rokok. Dasar saya kuper waktu itu. Harga-harga di luaran sana saya tidak tahu. Tapi ada hikmahnya juga, karena lugu jadinya uang yang keluar juga sedikit.
Pernah juga ada kejadian, sekitar 4 tahun lalu, saya kehilangan kartu ATM sebuah bank. Lalu oleh petugass Customer Servicenya saya diminta untuk mengurus surat kehilangan di kantor polisi di wilayah domisili kami. Saya dan suami pun mendatangi kantor polisi yang dimaksud.
Saya ditunjukkan ruang untuk melaporkan kehilangan, dan ditanyai oleh pak polisi yang sedang bertugas saat itu. Hanya butuh waktu beberapa menit, surat pun selesai dibuat. Ia menyerahkan surat tersebut kepada saya, saya menerimanya dengan polos sambil menguc apkan terima kasih. Di luar, saya sempat ditanya oleh suami, bayar berapa? Haaa???? Bayar untuk apa? Saya tidak membayar sepeser pun. Memangnya harus bayar? Lagi-lagi keluguan saya berguna. Dalam benak saya sebagai warga biasa, semua persuratan yang dibutuhkan dan diproses oleh petugas di mana pun mereka berada, adalah tugas mereka. Untuk apa lagi dibayar? Pertanyaan yang sama pun dilontarkan oleh petugas CS saat saya menyerahkan surat keterangan kehilangan tersebut. Mungkin dalam hati ia heran, koq bisa gratis? Hehe….
Terkadang kebiasaan korupsi, pungli, dan apa pun namanya banyak ditumbuhsuburkan atau didukung oleh warga itu sendiri. Tak kuasa menolak atau minimal mempertanyakan “kenapa harus bayar?” Jika setiap kita mau bersikap kritis akan setiap jenis pungli ataupun pembayaran yang tak jelas tujuannya, maka aparat yang bertugas pun akan “merasa aneh”. Tapi jika sebaliknya, maka mereka bisa jadi akan menganggap perbuatan tersebut sesuatu yang biasa dan direstui. Jadi kesimpulannya, salah satu dari kedua belah pihak mesti dalam kondisi sadar. Sadar untuk selalu mengingatkan diri sendiri dan pihak lain jika menemukan adanya penyimpangan.