Setelah J. Kristiadi yang telah saya tanggapi, Â kini giliran James Luhulima (JL). Jauh-jauh di dan dari Jakarta, orang ini juga mengamati gerak perubahan di Kraton Jogjakarta. Orang ini adalah wartawan Senior Kompas, pernah di desk politik dan keamanan, dan sejak 2012 menjadi Redpel Kompas. Kali ini, dia menulis dengan judul Kraton Yogyakarta (Kompas, 23 Mei 2015).
Dalam tulisannya itu, JL menegaskan adanya Sabdaraja dan perubahan gelar Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Kalipatullah, menjadi Suryaning Mataram Senopati Ing Ngalogo Langgenging Bawono Langgeng Langgenging Tatapanatagama; dan beberapa perubahan lain. JL juga mengungkapkan soal gelar GKR Pambayun  menjadi GKR Mangkubumi, dan pengangkatannya menjadi putri Mahkota. JL juga menegaskan bahwa sabda itu wajib ditaati karena wahyu dari leluhur, dan membedakan seorang pemimpin laki-laki atau perempuan pada era sekarang, bukan zamannya lagi.
Fatalnya Wartawan Senior
Kalau saya yang menjadi redaktur Kompas, jelas tulisan ini sudah saya masukkan di keranjang. Sebab ada kesalahan fatal dari datanya. Tetapi apa lacur. Dia sendiri yang memegang rezim Kompas, sehingga tulisan sejenis itu pun bisa nongol. Dalam tulisannya itu dia menulis GKR Mangkubumi diangkat sebagai putra mahkota. Â Padahal dalam Sabdaraja yang kedua (5 Mei 2015), GKR Pembayun itu tidak diangkat sebagai putra mahkota, tetapi baru diubah gelarnya menjadi GKR Mangkubumi saja. Bahwa dia dipersiapkan sebagai putra mahkota, mungkin ia, tetapi dia belum diangkat sebagai putra mahkota.
Kesalahan fatal berikutnya adalah turunan dari kesalahan fatal pertama. Karena menganggap bahwa GKR Mangkubumi sudah menjadi putra Mahkota, dan masalahnya adalah soal suksesi, dia alpa sejadi-jadinya, karena kalau ditilik secara kritis, analitis, dan mendalam, Â perubahan gelar Sultan itu tidak semata soal suksesi. Perubahan gelar itu adalah jauh lebih besar dari sekadar soal suksesi. Soal suksesi hanyalah ikutan saja. Perubahan gelar itu merupakan pendirian Mataran Baru. Mataram yang tidak lagi terikat oleh fondasi Mataram Islam Jawa.
Informan saya di di dalam Kraton di luar grup adik-adik Sultan (dan karenanya dekat dengan grup Sabdaraja), justru menunjukkan dengan terang bahwa perubahan gelar itu ingin menjadikan Mataram Islam Jawa menjadi Mataram Purba, jauh lebih kuno dari Mataram Kuno, yang Hindu. Perubahan gelar itu, adalah perubahan dari Mataram Islam Jawa diganti dengan Mataram Jawa saja, sehingga tidak lagi bergelar Kalipatullah, tetapi langgenging panatagama. Meskipun Islam diberi tempat, tetapi dia tidak lagi menjadi fondasi Mataram Islam Jawa.
Sama seperti J. Krsitiadi, JL ini berdiri dalam sikap yang menyembunyikan soal penting itu, dan menyempitkannya semata soal suksesi. Analisisnya, yang parah  tampak seakan-akan dia menjadi orang yang sangat Jawa, tetapi perwujudan membo-membo wong Jowo-nya telah gagal. Gagalnya, karena JL tidak mendasarkan dengan tradisi Jawa,  yaitu wisik Sabda raja itu, mestinya didekati dengan laku suluk pula, untuk memperoleh petunjuk-petunjuk dari para guru Mataram Islam Jawa. Justru yang dilakukan adalah,  dengan ber-membo-membo Jowo saja dianggap sudah cukup. Akhirnya, analisis cupetnya itu, menghantarkannya tidak mau memakai logika bahwa sebuah kraton yang diubah dasar-dasarnya, pastilah telah melewati pertarungan yang luar biasa, dan sangat keras. Pada masa lalu, jelas melalui pertumpahan darah.
Pada zaman modern ini, pertarungan itu berubah, dari pertarungan bersenjata ke pertarungan kultural dan ekonomi-politik di lingkaran kraton, dan ini telah saya jelaskan ketika menanggapi J. Kristiadi. Intinya, lingkaran kraton Jogjakarta, dipenuhi oleh kekuatan ekonomi politik dan lingkaran budaya, di antaranya, yang terkuat adalah lingkaran di sekitar permasuri yang banyak diisi oleh kelompok garis keras Katholik alumni Kasebul, termasuk guru-guru spiritualnya. Saya tidak perlu mengulang lagi soal itu di sini.
Soal Wahyu
JL, yang mempoles-poles tulisannya tampak seperti orang yang Jawa banget itu, memberikan opini bahwa wahyu Allah dari para leluhur wajib ditaati keluarga kraton. Di sini juga tampak fatalnya JL. Wong wahyu Allah saja bisa diganti dengan wahyu baru, sehingga ada konsep nasakh, apalagi  wahyu seorang raja yang diterima lewat leluhurnya. Jadi, wahyu bukan hanya semata-mata diterima, tetapi keganjilan-keganjilannya itu yang harus dipertimbangkan untuk melihat Sabdaraja. Apalagi levelnya bukan level Nabi dan Rasul. Levelnya adalah Raja yang ada di dalam pertarungan dan lingkaran kraton.
Keganjilan-keganjilan itu dapat dilihat dari adanya kontrakdiksi-kontradiksi di dalamnya:
Pertama, mau menegakkan kraton baru dan merobohkan kraton lama dengan fondasi Islam Jawa, mau membuat renaissance, demokrasi kraton, dan lain-lain, tetapi tidak dengan basis nilai-nilai modern, adalah  sebuah keganjilan. Tidak ada musyawarah kerabat kraton, tidak ada musyawarah dengan para alim ulama yang menopang Islam Jawa yang menjadi basis kraton Mataram Islam; dan tidak ada referendum, menunjukkan, bahwa keinginan renaissance itu hanya isapan jempol dan akal-akalan. Dalam bahasa lain, ini ada kekuatan besar yang terlibat dalam proses rekayasa lahirnya wisik itu, yang mencoba bermain api. Masygulnya, orang-orang yang biasanya memakai cara pandang rasional seperti J. Kristiadi, James Luhulima, dan J. Sumino yang ngomong tentang teologi kualat, tiba-tiba menjadi seorang yang membo-membo sangat Jawa lebih dari para mistikus pesuluk di kalangan Muslim Jawa sendiri. Jelasnya, ini bukan suatu yang sederhana, karena tiba-tiba tampak suara koor  para intelektual di lingkaran mereka  ini untuk menanggapi suatu yang jauh di Jakarta sana. Sampai harus dibela habis-habisan menggelar diskusi di DPD, dan  tanpa penting meminta pertimbangan dari kalangan muslim Jawa dalam soal ini. Yang masuk akal adalah mereka berjejaring dengan kawan-kawan mereka di Jogjakarta, dan informasi yang saya dapatkan dari para alumni Kasebul menunjukkan ini secara gamblang, bahwa mereka adalah bagian dari jaringan ini.
Kedua, pada zaman sekarang ini, bukan soal laki-laki atau perempuan, itu sudah jelas, tetapi mempercayai semata wahyu turun tanpa dianalisis, apalagi oleh para analis yang bukan pelaku mistis dan pesuluk, sungguh menebar jaring kedangkalan dan keganjilan. Kalau para pesuluk dan pelaku mistis akan menimbangnya dengan mencari kebenaran lewat petunjuk-petunjuk, tetapi kalau seorang analis berlagak seperti pelaku suluk, sungguh ada ondel-ondel di balik batunya. Dan yang saya peroleh dari petunjuk-petunjuk, saya mendatangi para pelaku mistis, pesuluk di kalangan muslim Jawa di pusat-pusat makam Panembahan Senopati, Ki Ageng Giring,  Sunan Tembayat, Sunan Geseng, dan Sunan Kalijaga,  memberikan petunjuk secara jelas. Bahwa wisik itu diciptakan oleh lingkaran-lingkaran mereka itu yang bermain api secara kasar di kraton, yang satu sisi takut dengan Islam gaya Kauman yang menggembok Masjid Agung dari Kraton; dan di sisi yang lain mereka berkolaborasi dengan grup-grup Jawa garis keras, yang tidak lagi mempertimbangkans secara etis fondasi kraton Mataram sebagai  Islam Jawa. Adanya kontradiksisi dengan petunjuk para guru-guru muslim Jawa soal perubahana Mataram Islam ini, adalah keganjilan lain dari wisik di dalam Sabdaraja ini.
Ketiga, wisik ini yang oleh para pengerangka intelektualnya, semacam JL, Kristiadi, dll., lebih kacau lagi, karena menganggap soal laki-laki dan perempuan itu sudah kemestian zaman saat ini, dan dikira sahabat-sahabat dari muslim Jawa tidak memiliki cara  pandang yang demikian.  Inilah tipe mereka yang tidak mengerti khazanah tradisi Jawa, tradisi Islam, dan tradisi kemajuan, tetapi membo-membo  berlagak menjadi orang Jawa. Islam Jawa itu Islam yang memberikan ruang kepada laki-laki dan perempuan, bisa sesuai dengan tuntutan zaman, dan itu bisa dicari rujukannya di dalam fiqh atau di dalam tradisi Islam. Kita saja bisa menerima seorang presiden Indonesia yang perempuan, apalagi hanya seorang ratu yang wilayahnya ada di dalam satu titik kecil di wilayah NKRI. Kontradiksi wisik Sabdaraja dengan adanya kemampuan Islam Jawa yang cukup mudah bisa mewadahi keinginan renaissance, mengakomodasi laki-laki dan perempuan, justru menunjukkan keganjilannya lagi, yaitu adanya maksud-maksud tersebunyi, impulse kotor di dalam lingkaran yang melahirkan wisik ini.
Dengan keganjilan-keganjilan itu, saya dan sahabat-sahabat kami sebagai pewaris Islam Jawa tidak bisa menerima pengubahan Mataram Islam Jawa menjadi Mataram Jawa saja; apalagi kami dan komunitas Islam tidak diajak musyawarah dna berembuk soal ini; dan apalagi justru Islam Jawa dibuat bengep-bengep dikesankan Islam Jawa tidak memiliki kemampuan untuk bradaptasi dengan kemajuan. Lebih-lebih lagi, sekarang ini rakyat Mataram itu pada dasarnya adalah muslim Jawa dan ini sudah jelas, bukan membo-membo lagi, maka  di sinilah tampak kenekatan-kenekatan yang dilakukan JL, yang analisisnya tampai kecut dan dangkal itu.
Saya ingin meangakhiri tulisan ini, dengan keinginan mengajak teman-teman Katholik garis keras, untuk tidak sembrono; karena pengubahan Kraton Mataram Islam Jawa itu berarti sebuah pertarungan panjang. Kami akan mencatatnya itu. Boleh saja kalian anggap saat ini, penghilangan gelar Kalipatullah itu sebagai kekalahan muslim Jawa. Tetapi kami akan mencatatnya ini sebagai momen penting untuk mengobati luka-luka kami, dan merevitalisasi kembali budaya Islam Jawa. Yang tidak Anda fahami, karena tergerus megalomania dibarengi dengan uang melimpah, dicampur dengan kajian-kajian Jawa yang sudah Anda lakukan, seakan-akan Anda yakin akan menang dalam pertarungan ini. Tunggu dulu. Anda itu memulai dari nol. Sementara kami hanya tinggal menyembuhkan luka-luka kecil yang kami derita. Dan sudah jelas, permulaan Anda dari nol mau merekonstruksi Jawa, telah mengorbankan persahatan Anda dengan para muslim Jawa, yang tidak terkira harganya.
Yogyakarta 28 Mei 2015 (Isi di luar tanggungjawab pengupload)