Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Jadi kebanggaan bapak

25 September 2011   10:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:38 198 0

“Kamu ini mau jadi apa sih? Ngga pernah nurut orang tua, sekolah sering bolos! Masih mending kalau nilai raport kamu diatas tujuh. Coba liat ini! Liat! Bikin malu bapak sama ibumu saja!”

Plak! Telinga kanan ku berdengung makin lama makin kencang. Pipiku pun perlahan mulai merah dan terasa perih. Tak sadar air mata mulai menetes. Sial! Aku makin lemah di mata bapak.

“Kamu mau jadi jagoan? Mau nongkrong di pasar tiap pagi kayak si Pandu? Baru ditampar sekali saja sudah menangis!”

Aku masih menatap lantai semen rumahku. Tak berani aku mengangkat kepala apalagi sampai melihat wajah bapakku. Kasihan ibu terus-terusan menangis. Kecewakah dia padaku? Oh ibu maafkan aku.

“Sudah pak, sudah…” ibu merengek pada bapak yang masih sangat marah. Untung bapak sangat mencintai ibu. Aku selamat tak dijadikan sate sama bapak.

“Pergi! Masuk kamarmu!” bentak bapak. Aku tergopoh-gopoh memunguti raport, sebuah buku dan tas sekolahku yang berserakan di lantai. Langsung lari masuk ke kamarku. Ketakutan.

***

“Kamu kenapa sayang?”

“Bapakku marah lagi...”

“Kamu ditampar lagi?”

“Iya…”

“Ooohhh, kasihan kamu…”

“Sayang...”

“Iya?”

“Kamu masih tetap cinta aku kan?”

“Hhmmm…gimana yaa?”

“Kamu tidak cinta aku lagi? Kamu punya pacar baru ya?”

“Tuuh kan, bawaannya curiga terus. Ngga dong sayang, aku ngga punya pacar baru. Aku tetap cinta kok sama kamu.”

“Terus, kok jawabnya gitu?”

“Kamu sih, malas-malasan sekolah. Aku kan jadi malu sama bapak ibu dan teman-temanku.”

“Kok malu?”

“Kamu sih ngga pernah sekolah. Aku tuh sering diejekin teman-temanku, masa anak kepala desa pacaran dengan anak tani yang suka mbolos.”

“Gitu ya?”

“Iya gitu…”

***

“Argono! No…!”

“Aaah sial. Kenapa aku harus lewat sini sih!”

“Argono! Sini! Nongkrong dulu…”

“Duh maaf mas Pandu, saya harus buru-buru pulang. Sudah ditunggu bapak nih.”

“Loh, tumben kamu takut sama bapakmu? Biasanya cuek aja pulang sore…”

“Capek aku dimarahin bapak terus.”

“Hahahahahaaaa, bisa kapok juga kamu No. Baguslah, kasihan bapakmu kalo kamu mbandel terus. Bisa modar jantungan tiap hari marahin kamu.”

“Asu …”

***

Aku terburu-buru berlari pulang. Matahari sudah condong sedikit ke barat dari atas kepala. Tetangga-tetanggaku yang petani lagi asik makan siang di joglo tengah sawah. Aku terus berlari di pematang sawah melewati mereka. Kerbau-kerbau lagi asik berendam di sawah yang masih berupa kolam lumpur. Sampai juga di rumah.

Aku berhenti sebentar, bersender pada pohon jambu di pekarangan rumah tetangga sambil mengatur napasku kembali. Bapak dan ibu sedang duduk di dipan bambu depan rumah. Ada seseorang yang lagi ngobrol dengan mereka. Aku tak bisa melihat wajahnya. Ia duduk memunggungi pekarangan rumah. Sesekali tawa bapak meledak diikuti ibu yang tertawa lebih santun. Tampak akrab sekali mereka.

“Assalamualaikum…”

“Walaikumsalam…” sahut bapak, ibu dan tamunya.

“Mas Seno?”

“Iya No, apa kabar kamu?”

“Baik mas. Kapan datang?”

“Kemarin malam...”

“Sana ganti baju terus makan dulu. Nanti lanjutin ngobrolnya…”

“Iya bu…”

Aku senang sekali mas Seno kembali ke kampung sini. Waktu kecil dulu, ia yang sering mengajari aku dan teman-temanku mengaji di masjid tiap sore. Bahkan aku sempat khatam Al Qur’an dan pernah juara adzan saat lomba 17an. Sayangnya waktu mas Seno lulus SMP, ia pindah ke Jombang. “Mau nyantren No…” Katanya padaku waktu itu. Aku dan teman-teman sebayaku tetap belajar ngaji di masjid tiap sore. Tapi kini mbah Sastro yang mengajari kami. Umurnya sudah delapan puluh tahun, tapi galaknya luar biasa. Pantat ku, Mujiono dan Yanto pernah merasakan rotannya gara-gara cekikikan waktu ia sedang menjelaskan makna surat Al Kahfi. Bekasnya baru hilang seminggu kemudian. Aku pernah protes sampai menangis merengek-rengek pada bapak dan ibu. Tapi karena mbah Sastro itu tokoh yang dihormati di kampung. Protesku tak pernah berhasil. Sampai akhirnya ia meninggal dua tahun kemudian karena penyakit paru-paru basah.

***

“Gimana sekolahmu No?”

“Hahaha ya begitulah mas, aku sering dipukulin bapak…”

“Loh, kenapa?”

“Biasa mas, sering bolos, nilai jeblok. Puncaknya pas kenaikan kelas kemarin, bapak marahin aku abis-abisan.”

“Hahaha biasa itu, namanya juga anak muda ya toh?!”

“Kalo dipukulin terus ya sakit juga mas…”

“Hahahahaa”

“Muji ama Yanto mana? Kok ngga keliatan malam ini?”

“Aku udah jarang main sama mereka mas. Sejak mbah Sastro meninggal, aku sering main sama Pandu. Muji ama Yanto sibuk bantuin bapak ibunya di sawah.”

“Pandu, cucunya mbah Sastro?”

“Iya mas…”

“Loh, bukannya dia kuliah di Jakarta ya?”

“Udah balik mas. Waktu mbah Sastro meninggal, dia balik kesini. Terus ngga mau balik lagi ke Jakarta. Malas katanya.”

“Sekarang dia ngapain?”

“Sering nongkrong aja sambil ngojek di pasar kampung.”

“Eh, sudah masuk waktu Isya. Kamu adzan ya, mas mau dengar lagi suara juara adzan 17an waktu itu.”

“Waah, malu mas. Sudah lama banget aku ngga adzan.”

“Ayo, percaya diri. Bikin bangga bapakmu lagi.”

***

“Hey sayang, kamu kemana aja sih? Sudah seminggu aku ngga pernah lihat kamu.”

“Eh iya sayang, maaf aku sibuk. Aku pulang duluan yah.”

“Loh, buru-buru mau kemana sih?”

“Mau ikut ke pengajiannya mas Seno di masjid kecamatan.”

“hati-hati ya…”

“eh, iya…makasih ya. Kamu juga hati-hati pulangnya.”

***

“Ini pak, raportku.” Telapak tanganku keringat dingin menyerahkan raport kelulusan. Bapak masih mengipas-ngipasi dirinya. Kulitnya hitam kemerah-merahan terpanggang matahari. Keringat sebesar biji jagung masih mengucur deras dari dahi dan pundaknya. Kakinya masih belepotan lumpur sawah. Paculnya pun demikian.

“hhmmm” Bapak mengambil raport dari tanganku dan ditaruh disebelah kanannya. Ia masih mengipasi-ngipasi dirinya, aku berdiri mematung.

“Sana, makan siang dulu” perintah bapak.

“Raportnya ngga dilihat pak?”

“Nanti.”

***

“Sini No…masuk. Mas kenalin dengan teman seperjuangan mas. Namanya Rahmat. Dia baru pulang dari Afganistan.”

“Ini Argono yang kamu ceritain itu ya, Seno?”

“Iya, Mat. Anak yang hebat dan gagah kan? Calon incaran bidadari di surga nanti!”

“Jadi, kamu mau bikin bapak dan ibumu bangga kan No?”

“Iya mas, itu cita-cita saya.”

***

“Lastri…”

“Iya sayang…ada apa? Kamu kok murung sih?”

“Aku mau ngomong ama kamu…”

“Ngomong apa? Ini bukannya lagi ngomong? Kamu aneh-aneh aja ah…”

“Aku mau putus sama kamu…”

“Kamu bilang apa tadi, No?”

“Aku mau putus sama kamu.”

***

“No, sudah siap? Kameranya udah nyala nih…”

“Bentar mas Rahmat...aku ngapalin surat wasiatnya dulu nih, biar pas nonton nanti bapak dan ibu bisa terharu dan bangga.”

“Baiklah, jangan lama-lama ya.”

“Aku siap mas!”

“Ayo, satu…dua…tiga…action!”

***

“Astagfirullah…astagfirullah...paakk, anak kita paakk…”

“Tabah ya bu, tabah yaa…”

“Aku ngga terima pak anak kita mati seperti itu paaakk…”

“Aku juga ngga terima bu, tapi kita harus tabah. Kasihan jiwa Argono kalo kita menangis terus.”

”Aku ngga terima paaak….aku ngga terima anak kita jadi pelaku bom bunuh dirii…!!!”

Danny Maulana, Jakarta 25 September 2011

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun