Kini Ia mulai bersahabat dengan rasa lelah. Raut mukanya seolah mengisyaratkan bahwa ia harus istirahat. Di bawah rindang pepohonan, ia mulai melepaskan sedikit lelahnya sembari mengisap rokok yang kini tinggal setengah. Dua jam sudah ia berkeliling menawarkan dagangannya, namun tak satu pun yang membeli. Mainan dagangannya pun kini sudah semakin usang karena tidak pernah berpindah tangan. Sedangkan istrinya yang sakit sedang menunggunya di rumah. Ia kini hanya tinggal berdua dengan istrinya, di rumah sederhana tidak jauh dari tempat ia biasa mencari secuil harapan. Jika ia lelah, seperti biasa ia duduk di depan Pendopo Eyang Agung, Serua Indah, sambil bercengkrama dengan orang sekitar.
Hampir satu jam ia duduk termangu di depan Pendopo Eyang Agung, namun tak terlihat pembeli yang menghampirinya. Sering ia tidak mendapatkan penghasilan sama sekali. Terkadang ia mengandalkan uang pemberian dari orang untuk menghidupi ia dan istrinya. "Alhamdulilah masih ada orang yang kasihan, biar ga beli mainan tapi mereka ngasih duit. kadang-kadang pasien Eyang Agung juga ngasih duit", tuturnya.
Sudah bertahun-tahun ia menjalani profesi sebagai tukang mainan. Di usianya yang semakin renta, ia ditinggalkan oleh ketiga anaknya yang telah berumahtangga. Tidak pernah sekalipun anaknya datang menengoknya. Belum lama, ia menempati rumah yang ditempatinya kini dengan istrinya. Istrinya lumpuh tidak bisa berjalan. Sebelum kerja, ia membelikan sarapan untuk dia dan istrinya, mengingat sudah tidak adalagi yang mengurus mereka berdua.
“ Di rumah tidak ada air, karena pas beli rumah ini dari pemilik lama, pemilik lama nyopot mesin airnya, jadi udah hampir tiap hari Bapak ga mandi, istri Bapak juga. Apalagi sekarang rumah Bapak mau dibeli lagi, tapi Cuma 10 juta, padahal Bapak belinya 20 juta, ya Bapak ga mau, nanti mau tinggal dimana lagi”, ia berkisah tentang kepedihannya. Besar harapan dari Kakek ini, di masa tuanya anak-anaknya mengunjunginya, dan mengurus ia dan istrinya yang kini tidak lagi muda.