Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Dolkemen yang Nerocos

19 Januari 2014   15:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:41 41 1
Tulisan sok tahu dari pengalaman saya. Jadi tak harus disepakati bersama.

Sore itu Dulkemen sedang menikmati secangkir kopi di teras rumahnya. Dulkipo salah satu temannya tiba-tiba datang dengan wajah sumpek. Nampak jelas ia hendak menjadikan Dulkemen keranjang sampah kesumpekan-nya itu. Sesungguhnya Dulkemen sudah tau bahwa sahabatnya itu akan membanjiri dirinya dengan segala bentuk sambatan. Pasti akan memakan waktu cukup lama, tapi mau bagaimana lagi? orang Dulkemen sudah terlanjur kepergok nyantai sambil minum kopi,--entah sudah menjadi kesepakatan bersama mungkin, orang yang ngopi di depan teras identik dengan tuna sibuk.

"Men jengkel aku Men ...! Aku ndak terima, aku mau menuntut keadilan," ketika duduk Dulkipo langsung membuka omongan. Sementara Dulkemen hanya memandang dengan pandangan datar. Ia tau, tanpa ditimpali jawaban pasti teman kentalnya itu akan tetap melanjutkan ceritanya. Bahkan terkadang Dulkipo saat sedang curhat seperti itu, tak satu dua kali ia keselek air liurnya sendiri hingga terbatuk-batuk.

"Berkali-kali aku nge-add beberapa penulis terkenal, maka berkali-kali itu pula aku ditolak. Padahal aku sudah rela mengecek setiap hari permintaan pertemananku di fesbuk tapi tetap saja tak dihiraukan. Dan betapa kecewanya aku saat tau si Sentot baru kemarin nge-add para penulisnya antalogi 'Cerita Kita di Kota Kata' tapi langsung dikonfirmasi. Lah sementara aku ndak dihiraukan sama sekali hingga saat ini. Padahal aku juga kepingin belajar menulis dan menjadi penulis dari mereka," lanjut Dukipo.

Sejatinya Dulkemen tak berminat menanggapi curhatan Dulkipo. Berhubung yang dibahas shabatnya itu adalah tentang dunia tulis-menulis--yang kebetulan ia gemari. Maka tanpa sadar ia tertarik juga untuk menanggapinya.

"Po, Kipo. Aku saja kalau bukan temanmu di dunia nyata, ndak bakalan kamu dulu aku konfirmasi permintaan pertemananmu kok."

"Loh! kok bisa?" kening Dulkipo mengkerut, matanya nyundeng fokus pada orang yang ada di depannya itu.

"Ya iyalah. Masa' akun fesbuk kok ya namanya 'Dduueell cclalu pingiiien dicaianng' ...!"

"Loh, memangnya kenapa kalo kutulis begitu? orang ndak merugikan siapapun kok. Itu fesbuk juga punyaku sendiri. Yo sak karepku lah."

"Kalo gitu ya jangan salahin penulisnya kalau kamu ndak dikonfirmasi pertemanan."

"Emang hubungannya apa Men sama akun fesbuk?"

"He ... dengar ya, penulis itu sangat menghargai dengan yang namanya tulisan. Mereka akan sangat kontra dengan tulisan yang tidak menghargai eja'an bahasa negaranya sendiri. Jadi jangan pernah berharap diterima permintaan pertemananmu di fesbuk kalau nama akunmu masih alay gitu," Dulkemen memberi jeda kepada pernapasannya untuk menelan udara. Pertanda bahwa akan banyak yang akan ia utarakan kepada teman kentalnya itu.

"Sesungguhnya penulis itu sangat mulia. Mereka adalah para penjaga bahasa. Bahasa bangsa Indonesia. Tak berlebihan jika aku menyebut mereka adalah pahlawan. Tapi ironi memang, sekarang banyak orang-orang ngaku ingin jadi penulis. Tapi kenyataannya mereka bahkan sama sekali ndak mau belajar menghormati dan menghargai bahasa bangsanya sendiri serta cara penulisan yang benar. Sering aku jumpai para penulis dewasa ini menggunakan judul-judul bahasa negara asing dalam tulisannya. Padahal baik isi maupun tema tak ada hubungannya sama sekali dengan bahasa asing tersebut. Bisa jadi mereka kurang merasa percaya diri jika menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa luar dianggap lebih keren. Bukankah bangsa yang maju adalah bangsa yang menghargai bahasa bangsanya sendiri! Belum lagi di dunia maya kini semakin marak penulis memosting tulisan disingkat-singkat sak njeplake tangan, lalu dengan pede-nya meminta dibedah, dikomentari, dikritisi.

"Dan kamu tau alasan mereka kepada para pembaca yang telah merelakan waktunya hingga berkerut kening untuk menilai, berkomentar kepada tulisannya?" Dulkipo sudah mengambil ancang-ancang hendak menjawab pertanyaan Dulkemen, tapi sayang Dulkemen tidak memberikan kesempatan sahabatnya itu untuk menjawab, malah ia jawab sendiri pertanyaan yang ia lontarkan tadi, "satu: sebenarnya mereka tau kalau tulisan mereka itu tidak disiplin EYD. Alasan mereka sengaja tidak taat EYD hanya karena ingin menghemat waktu. Dua: karena saat menulis mereka menggunkan hape, jadi ribet.

"Membaca alasan mereka yang demikian itu rasanya kepingin aku menjepit kepala mereka pekek ketiak, ketiaknya bangkai pesawat. Jika mereka melanggar karena memang benar-benar tidak tau, itu bisa dimaklumi. Tapi, jika mereka melanggar karena sengaja, itu yang tidak bisa diampuni. Toh, sesungguhnya juga bakalan kelihatan kok yang sengaja melanggar dengan yang benar-benar ndak tau.  Belum lagi ada rumor yang mengatakan bahwa bahasa Indonesia nanti akan menjadi bahasa internasional. Akan digunakan sebagai bahasa resmi di negara-negara Asia Tenggara. Lalu mau ditaruh di mana muka bangsa ini? Jika penduduknya sendiri saja ndak paham dan ndak mau belajar paham tentang EYD?"

"Zzz ..., zzz ...," suara dengkur Dulkipo nyaring terdengar.

"Oo ... bocah edan, dikasih penjelasan malah turu!"

Dalam tidurnya Dulkipo bermimpi menyumpal mulut Dulkemen yang sok keminter itu dengan potongan lidah para pejabat korup yang lebih cakap berorasi ketimbang berbukti.

Dulkipo juga bertemu dengan seorang bijak bahasa tempoe doloe dalam mimpinya.

"Bahasa Indonesia itu sejak dulu memang berubah-ubah. Bahasa selalu mengikuti kebutuhan manusia. Tak perlu kau sepaham dengan idealisme temanmu. Baiknya kau lebih bisa menghargai dan lebih bijak dalam menggunakan bahasa Tanah Airmu." Orang bijak itu lalu menghilang. Wajahnya sangat familiar bagi Dulkipo.

NB : Cerita ini terinspirasi dari kisah nyata, jika terjadi kesamaan nama, tempat dan lain-lain itu memang disengaja. :)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun