Supaya bisa bebas bergerak, Ia jepitkan juntaian jilbab putihnya, yang sekarang sudah tidak terlihat putih lagi, dibelakang lehernya. Kulit mukanya yang sawo matang nampak mengkilat, akibat perpaduan antara peluh dan sisa cahaya matahari hari ini. Sementara kedua tangannya sibuk mengatur lalu lintas yang jelas sulit diatur.
Ia perempuan yang hampir setiap sore kutemukan dipersimpangan jalan ini ketika aku pulang bekerja. Seingatku, bajunya selalu itu, warna jilbabnya juga begitu, ekspresi mukanya juga tak jauh beda, tersenyum ceria. Tapi aku tak pernah melihat Ia berkata, sepatahpun. Layaknya orang yang mengatur jalan, seharusnya ia menggunakan suaranya untuk mempermudah apa yang ia lakukan, tapi nyatanya tidak.
Senja sudah hilang sedari tadi, sudah tidak adalagi suara klakson yang biadab, sekarang yang tertinggal hanya suara perutku yang protes minta ingin segera ditanggulangi. Aku mampir di warteg favoritku, selain karena murah, alasan terbesarku memilih warung ini karena bahasanya mirip dengan bahasa ibuku, selain terasa nyaman, juga untuk mengobati rasa kangenku pada kampung halaman.
Aku kaget, Ia perempuan yang ku bicarakan sedari tadi, sudah ada didepan mataku. Tangannya sibuk menunjuk-nunjuk lauk yang akan dibelinya, tempe, sayur kacang, jengkol, apalagi tadi, ah.. sudahlah aku lupa. Kemudian Ia menyodorkan beberapa lembar uang kepada pelayan tanpa meninggalkan sepatah katapun. Belakangan baru aku tahu, Ia bisu sejak lahir. Sekilas ia melihat kearahku, tetap dengan mimik muka sore tadi, tersenyum ceria.